PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) telah mengeluarkan laporan keuangannya untuk semester I-2021. Pendapatan meningkat di 6 bulan pertama tahun ini, namun perusahaan masih menderita kerugian. Melansir laporan keuangan perusahaan dalam keterbukaan informasi, Rabu (1/8/2021), di semester I-2021 BUKA mengantongi pendapatan neto Rp 863,62 miliar. Angka itu naik 34,67% dibandingkan periode yang sama di 2020 sebesar Rp 641,28 miliar.
Beban pokok pendapatan Bukalapak meningkat dari Rp 69,47 miliar menjadi Rp 118 miliar. Beban penjualan dan pemasaran juga naik dari Rp 769,13 miliar menjadi 881,73 miliar. Namun beban umum dan administrasi berhasil ditekan dari Rp 850,94 miliar menjadi Rp 659,09 miliar.
Di semester I-2021 Bukalapak juga masih mengalami rugi bersih Rp 766,23 miliar. Meski begitu rugi bersih tersebut mengalami penyusutan dari semester I-2020 sebesar Rp 1 triliun. Dari sisi total aset Bukalapak mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Pada posisi akhir 2020 total aset Bukalapak Rp 2,59 triliun menjadi Rp 4 triliun di akhir Juni 2021.
Meskipun total liabilitas juga ikut naik dari Rp 985,82 miliar di akhir 2020 menjadi Rp 1,02 triliun di akhir Juni 2021.
Setelah PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) berhasil melantai di pasar modal, para e-commerce dan perusahaan teknologi berbasis aplikasi dikabarkan mulai mengantre untuk melakukan IPO di Indonesia. Kabar yang paling baru datang dari Blibli.
Memang euforia saat Bukalapak IPO begitu besar. Namun euforia itu pula yang membuat saham Bukalapak bergejolak. Setelah sempat menguat di beberapa hari awal, saham BUKA terus turun bahkan hingga ke level di bawah harga IPO dan sekarang kembali normal.
Lalu apakah perusahaan sejenis yang akan melakukan IPO akan bernasib sama?
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas meyakini bahwa yang terjadi di saham BUKA beberapa waktu lalu memang tengah dilakukan aksi jual oleh pemegang saham eksisting. Bahkan menurutnya mereka memanfaatkan euforia investor ritel. "Iya asing trus jual sebagai bagian dari exit strategy dalam memanfaatkan minat investor ritel," ucapnya kepada detikcom, Selasa (31/8/2021).
Dia mengatakan, bisa saja hal yang sama kembali terjadi. Sebab dia melihat penurunan saham BUKA sebagian besar akibat keluarnya investor asing. Sehingga banyak yang menduga IPO Bukalapak hanyalah exit strategy dari investor eksisting.
Seperti diketahui saham Blibli sendiri dimiliki oleh GDP Venture, sebuah perusahaan modal ventura punyanya Djarum Group. Meski bukan pihak asing, namun menurutnya bisa saja pemilik saham eksisting hendak keluar atau malah sebaliknya menambah kepemilikan jika valuasinya murah. "Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi. Bisa jadi asing mengambil kesempatan exit strategy atau asing bisa tambah jika penilaiannya calon emiten ini valuasinya murah dan dinilai memiliki prospek," terangnya.
Namun yang pasti menurut Sukarno, dengan jumlah emisi yang besar seperti yang ada di Bukalapak, akan dibutuhkan modal yang besar pula untuk menjaga kenaikan harga sahamnya di pasar nanti. "Ditambah lagi banyak kepentingan atau banyak perbedaan pandangan terkait kapan waktu jual dan beli jadi sangat sulit untuk kita memperkirakan ke depannya," ucapnya.
Sementara SVP Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial lebih melihat dari prospek e-commerce di Indonesia yang masih sangat besar. Mengingat size digital ekonomi Indonesia pada 2025 disebut-sebut bisa tumbuh ke US$ 150 miliar dan transaksi digital tumbuh ke US$ 1,2 triliun untuk wilayah ASEAN.
"Namun itu semua tergantung kepada ekosistem dari perusahaan e-commerce tersebut. GoTo, Bukalapak, Blibli yang sangat luar biasa ekosistemnya dan menghasilkan multiplier ekonomi efek toward Indonesia economy," ucapnya.
Memang perusahaan teknologi seperti itu masih identik dengan bakar uang. Namun jika mereka memiliki amunisi hal itu tetap bisa dilakukan hingga mereka bisa mencapai titik impasnya. "Merger Tokopedia dan Gojek nilainya juga luar biasa, US$ 18 miliar. IPO BUKA juga US$ 1,5 miliar. Dari total kedua transaksi tersebut dan itu jelas-jelas dibelakangnya investor asing kok. So prospek IPO perusahaan berbasis teknologi akan semakin ramai ke depan. Apalagi likuiditas juga masih melimpah ruah," tutupnya.