Friday, August 13, 2021

Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi Semu Berbasis Hutang

 Indonesia resmi memasuki usia ke-76 tahun Selasa (17/8) depan. Artinya, Indonesia sudah merdeka selama lebih dari 7 dekade. Meski sudah merdeka, Indonesia masih 'terjajah' dari sisi keuangan negara. Pasalnya, utang selalu naik setiap tahun dan kian menumpuk dalam setahun terakhir akibat pandemi corona.

Memang, kalau dilihat, belenggu jajahan utang sudah dialami sejak sejak awal kemerdekaan. Tapi, utang melesat tajam dalam 10 tahun terakhir. Pada periode itu, utang Indonesia naik sekitar Rp4.000 triliun. Mengutip data Kementerian Keuangan, utang negara sudah tembus Rp6.554,56 triliun per Juni 2021.

Utang tersebut melonjak Rp4.746 triliun lebih bila dibandingkan 2011 lalu yang masihRp1.808,95 triliun. Jika dihitung secara kasar, rata-rata utang Indonesia naik ratusan triliun setiap tahun. Misalnya dari Rp3.995 triliun pada 2017 menjadi Rp4.418 triliun pada 2018.

Lalu, utang naik lagi menjadi Rp4.779 triliun pada 2019. Selanjutnya, jumlah utang melonjak Rp1.295 triliun menjadi Rp6.074 triliun pada 2020. Lonjakan utang  belakangan ini terjadi karena pemerintah butuh banyak dana dalam menangani pandemi covid-19. Kenaikan pun terus terjadi hingga Juni 2021.

Karena pandemi itu, rasio utang negara terhadap produk domestik bruto (PDB) pun tembus 41,35 persen pada Juni 2021. Angkanya semakin mendekati batas aman rasio utang sebesar 60 terhadap PDB.

Aturan terkait utang negara ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Salah satu komponen utang yang naik adalah utang luar negeri (ULN) Indonesia. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan ULN pemerintah naik 5,9 persen menjadi US$203,4 miliar per Mei 2021.

Utang beberapanya didapat dari lembaga internasional, salah satunya Bank Dunia (World Bank). Berdasarkan catatan, Bank Dunia mengucurkan total utang hingga US$1,7 miliar pada Juni 2021 lalu. Itu baru utang negara. Belum ditambah utang swasta. Merujuk data BI, ULN swasta tercatat US$208,69 miliar per Mei 2021.

Dulu Pahlawan Devisa, Kini Mengais Rupiah

Angka itu terdiri dari utang dari lembaga keuangan sebesar US$43,13 miliar dan lembaga non keuangan sebesar Rp165,56 miliar. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang memang merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Utang diperlukan untuk menjaga stabilitas perekonomian. Di masa covid, utang juga dihimpun untuk menyelamatkan masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi akibat pandemi itu. Ia menambahkan sejatinya utang tidak hanya menjerat Indonesia. Bahkan katanya, utang juga dihimpun negara Islam.

Untuk Indonesia, ia menjamin supaya utang tidak menimbulkan masalah, pemerintah akan selalu berupaya untuk melakukan manajemen dengan baik. "Kalau teman-teman yang suka pakai (contoh) negara Islam. Mau (Arab) Saudi, UAE, Qatar, Maroko, Pakistan, Afghanistan, Kazakhstan, you name it," ujar Ani, sapaan akrabnya saat siaran langsung di akun Instagram pribadinya pada pertengahan 2020 lalu.

Merdeka 76 Tahun Tapi 'Jungkir Balik' Cari Kerja

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan tak masalah utang naik jika digunakan untuk penanganan pandemi covid-19. Namun, kenyataannya pemerintah juga menggunakan utang untuk pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan ibu kota negara baru. Hal ini membuat penggunaan utang menjadi tak optimal.

Padahal, pemerintah bisa saja menekan utang jika mau menunda dulu proyek infrastruktur. "Maka sebenarnya sangat dipertanyakan penggunaan utang saat ini yang menurut saya masih ada yang digunakan ke infrastruktur. Pembangunan ibu kota negara baru, kereta api cepat dan sebagainya yang saya rasa saat ini lebih penting untuk penanganan pandemi," ungkap Nailul kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (7/8).

Babak Belur Ekonomi Dihajar 1,5 Tahun Pandemi

Selain itu, pemerintah seharusnya juga bisa menekan utang karena masih memiliki sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). Sisa dana itu bisa digunakan untuk menutup sebagian kebutuhan pemerintah dalam penanganan pandemi. "Kalau SILPA tinggi tapi kita utang, kan berarti proses penganggaran dan penyerapan APBN kacau. Negara utang di saat sebenarnya masih punya uang. Dampaknya pembayaran bunga lebih tinggi di saat sebenarnya kita tidak perlu utang," papar Nailul.

Tercatat, terdapat SILPA sebesar Rp90 triliun per Mei 2021. Jumlahnya turun dari posisi Mei 2020 yang mencapai Rp178,5 triliun. Ia pun mengingatkan pemerintah bahwa rasio utang sudah mau mendekati ambang batas aman, yakni 60 persen terhadap PDB. Hal ini akan menjadi masalah baru bagi pemerintah jika rasio tembus 60 persen.

"Pasti akan berbahaya jika semakin mendekati 60 persen dan penerimaan negara belum pulih sepenuhnya. Pasti akan menjadi masalah yang serius," terang Nailul. Jadi, kuncinya cuma satu, yakni menggeser (refocusing) anggaran untuk penanganan pandemi covid-19. Beberapa kebutuhan yang tak mendesak bisa ditahan untuk sementara waktu.

"Refocusing anggaran, infrastruktur jangan dulu dikebut, perjalanan dinas dan sebagainya ditahan dulu. Jadi pemerintah memang harus bisa menahan hawa nafsu untuk mengeluarkan uang sembarangan," jelas Nailul. Secara keseluruhan, Nailul memandang sebenarnya negara sah-sah saja jika mau berutang asalkan tetap hati-hati. Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan dana untuk membayar utang tepat waktu.

"Pembayaran juga bisa dianggarkan tanpa utang lagi. Jadi masalah kesiapan, penggunaan, dan alokasi harus matang," katanya.


No comments:

Post a Comment