Friday, August 13, 2021

Perekonomian Indonesia Babak Belur Karena Salah Menangani Pandemi

 Peringatan kemerdekaan RI ke-76 tahun pada 2021 masih diwarnai masalah. Salah satunya, Indonesia belum bisa melepaskan diri dari 'jajahan' pandemi corona. Selama 18 bulan lamanya, virus corona 'menjajah' Indonesia. Penjajahan tak hanya dilakukan dari sisi kesehatan tapi juga ekonomi.

Pandemi berhasil membuat perekonomian Indonesia terguncang. Semua indikator yang mencerminkan kondisi ekonomi makro, mulai dari pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga, inflasi, pengangguran, tingkat kemiskinan, hingga Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur anjlok.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan perekonomian pada dasarnya bergantung dari mobilitas penduduk. Sementara, demi menekan penularan virus corona, pemerintah membatasi mobilitas masyarakat, sehingga tak ayal ekonomi terdampak.

Masyarakat juga terpengaruh, sehingga otomatis ekonomi mengalami shock," ujarnya.  Redaksi mengulas kembali kondisi ekonomi makro selama pandemi dari beberapa indikator. Secara garis besar, ekonomi jatuh paling dalam pada kuartal II 2020, bertepatan dengan kemunculan awal pandemi di Indonesia. Selanjutnya, semua indikator pulih secara perlahan hingga kuartal II 2021 ini. Namun, Tauhid melihat ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2021 karena PPKM darurat sejak 3 Juli 2021 lalu.

Pertumbuhan Ekonomi

Temuan virus corona pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020. Tak butuh waktu lama, pandemi menghambat ekonomi pada kuartal I/2020, sehingga hanya tumbuh 2,97 persen (yoy). Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, ekonomi melesat 5,07 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2020 merupakan posisi yang terendah sejak 2001, atau sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. "Bisa kita lihat, tampaknya tidak ada yang kebal dengan covid-19. Jadi covid-19 tidak kenal negara maju berkembang semua kena dampaknya tak terkecuali Indonesia," ujar Kepala BPS saat itu, Suhariyanto.

Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran kompak lesu. Konsumsi rumah tangga sebagai komponen dengan sumbangan terbesar pada PDB (58,14 persen), hanya tumbuh 2,84 persen, anjlok dari 5,02 persen di kuartal I 2019.

Struktur PDB menurut lapangan usaha, mayoritas melambat. Dari 17 sektor lapangan usaha, hanya tiga yang menguat meliputi jasa keuangan dan asuransi, informasi dan komunikasi, jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Perlambatan itu hanya sinyal awal. Pada kuartal selanjutnya, pertumbuhan ekonomi 'berdarah' hingga minus 5,32 persen. Ini merupakan kejatuhan paling dalam selama pandemi. Angka ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019, yakni 5,05 persen.

"Pandemi menimbulkan efek domino dari kesehatan menjadi masalah sosial dan ekonomi. Dampaknya menghantam lapisan masyarakat di rumah tangga sampai korporasi," jelas Suhariyanto saat pengumuman Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2020. Kontraksi ekonomi memang tidak bisa dihindari lantaran pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 10 April 2020. Pengetatan pembatasan diperpanjang beberapa kali hingga akhirnya dilonggarkan menjadi PSBB transisi pada awal Juni 2020.

Semua kelompok pengeluaran mengalami kontraksi. Konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar pada PDB (57,85 persen) minus 5,51 persen (yoy), berbanding terbalik dengan kuartal II 2019 yang tumbuh 5,18 persen. Sebanyak 10 dari 17 lapangan usaha tercatat minus. Tiga sektor yang terjerembab paling dalam yakni transportasi dan pergudangan minus 30,84 persen (yoy), akomodasi dan makan minum minus 22,02 persen, dan jasa lainnya 12,6 persen.

Melangkah ke kuartal III/2020, RI resmi masuk jurang resesi ekonomi. Kondisi resesi ditandai dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Indonesia mengalami resesi ekonomi bersama sejumlah negara lain di dunia seperti AS, Jerman, Italia, Perancis, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan lainnya.

Pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 kembali minus 3,49 persen, meski membaik dari tiga bulan sebelumnya. Penopang pemulihan ekonomi sepanjang Juli-Agustus adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh 9,76 persen. Seperti diketahui, pemerintah menggelontorkan bantuan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bagi masyarakat kurang mampu hingga dunia usaha. Sementara, konsumsi rumah tangga masih kontraksi, 4,04 persen, membaik dari kuartal II, yakni minus 5,51 persen.

Menutup 2020, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi 2,07 persen. Angka ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 yakni 5,02 persen. Berdasarkan catatan BPS, ini merupakan pertama kalinya Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi setelah krisis moneter 1998.

Konsumsi rumah tangga belum pulih sepenuhnya karena masih minus 2,63 persen. Berbanding terbalik dengan capaian selama 2019 yakni tumbuh 5,04 persen. Selanjutnya, kontraksi pertumbuhan ekonomi berhasil ditekan ketika memasuki 2021. Hal ini sejalan dengan penurunan jumlah kasus covid-19 serta pelonggaran pembatasan sosial.

Pada awal tahun, pemerintah mengganti PSBB dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bedanya, PPKM menyasar pada pembatasan kegiatan masyarakat secara terbatas berbasis pada kota dan kabupaten, bukan pada lingkup provinsi. Dengan demikian, daerah yang berada di zona hijau bisa beraktivitas lebih longgar sehingga mendorong pemulihan ekonomi.

Pada kuartal I 2021, pertumbuhan ekonomi tercatat minus 0,74 persen. Konsumsi rumah tangga yang menyumbang 56,93 persen PDB belum pulih, sehingga tercatat negatif 2,23 persen. Sebanyak 11 sektor masih 'berdarah', namun membaik ketimbang kondisi 2020. Sementara, enam sektor berhasil tumbuh positif dipimpin kenaikan sektor informasi dan komunikasi 8,72 persen.

Pada kuartal II 2021, pertumbuhan ekonomi berhasil balik arah dengan mencatatkan pertumbuhan 7,07 persen. Raihan ini sekaligus menandai RI lepas dari jerat resesi ekonomi. Konsumsi rumah tangga dengan kontribusi 55,07 persen terhadap PDB, tumbuh 5,93 persen. BPS merekam sejumlah fenomena yakni kenaikan penjualan eceran 11,62 persen serta penjualan wholesale mobil dan motor melesat masing-masing 904,32 persen dan 268,64 persen. Pelonggaran pembatasan juga mengerek penumpang transportasi kereta api 114,18 persen, laut 173,56 persen, dan udara 456,51 persen.

Semua sektor tumbuh positif, dipimpin lonjakan sektor transportasi dan pergudangan sebesar 25,10 persen. Disusul, akomodasi dan makan minum sebesar 21,58 persen, jasa lainnya 11,97 persen dan jasa kesehatan 11,62 persen.

Namun, Tauhid menilai lonjakan pertumbuhan ekonomi itu hanya semu, karena berangkat dari basis rendah yakni minus 5,32 persen pada periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kembali melambat di kuartal III 2021 karena terjadi lonjakan kasus akibat varian delta.

"Masyarakat kelompok menengah atas dengan varian delta justru akan mengurangi aktivitas belanja, terutama untuk konsumsi. Ini yang akan membuat pertumbuhan ekonomi tidak stabil di angka 5 persen dalam jangka panjang. Tetap akan ada pertumbuhan ekonomi tapi tidak stabil, dia akan mudah sekali up and down," tuturnya.

No comments:

Post a Comment