Mata uang rupiah telah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia sehari-hari. Tapi, tahukah detikers dari mana asal-usul nama rupiah? kok terdengar mirip dengan rupee India? Mata uang negara Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan sudah ada riwayat uang kerajaan di masa kejayaan Hindu-Buddha. Saat itu, mata uang di Nusantara tidak dikenal secara manunggal sebagai rupiah seperti saat ini.
Arti dan Sejarah Nama Rupiah yang Berasal dari Bahasa India
Melansir buku Ekonomi Politik Ketahanan Pangan Berkelanjutan dan Daya Saing Internasional karya Rita dkk., uang kertas dollar sebenarnya adalah sebuah sertifikat. Tapi, demikian juga rupiah. Apabila diperhatikan, rupiah memiliki bunyi yang mirip dengan Rupee, yang merupakan mata uang di India, Nepal, Pakistan, dan Sri Langka.
Di tahun 1860-an ketika Ratu Victoria berkuasa, di India dikenal salah satu mata uang yang disebut satu Rupee atau One Rupee India. Mata uang One Rupee India terbuat dari perak 90 persen seberat 26,95 gram. Sementara, MERL (2005) dalam buku Ekonomi Politik Ketahanan Pangan Berkelanjutan dan Daya Saing Internasional, nama rupiah jika ditelusuri dari bahasa Melayu, adalah berasal dari bahasa Hindi 'rupiya', yang berasal dari bahasa Sansekerta 'rupya', di mana artinya adalah perak yang dibentuk dan ditempa atau wrought silver.
Jadi, nama rupiah berasal dari kata India yaitu rupiya yang berarti perak.
Sejarah Rupiah dan Kapan Indonesia Mulai Mengenal Uang
1. Masa sebelum dan ketika kerajaan Hindu-Buddha
Sebelum masa kerajaan Hindu-Buddha, perdagangan di Nusantara memakai berbagai alat pembayaran yang bisa diterima secara umum. Hal ini sebagai pengganti sistem barter. Demikian dikutip dari laman Bank Indonesia. Saat itu di wilayah Irian menggunakan kulit kerang dengan jenis tertentu. Di wilayah Bengkulu dan Pekalongan memakai manik-manik. Sementara di wilayah Bekasi memakai belincung atau semacam kapak batu.
2. Masa kerajaan Hindu-Buddha
Pada masa ini, di Jawa sudah memakai alat pembayaran dari logam. Mata uang tertua dibuat pada kira-kira abad ke-12, dari emas dan perak. Saat itu, mata uang ini disebut Krisnala atau uang Ma yang merupakan peninggalan kerajaan Jenggala. Sementara, di kerajaan Buton ada uang Kampua yang beredar pada abad ke-9. Kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit sudah punya mata uang sendiri. Mata uang Majapahit adalah Gobog yang dibuat dari tembaga. Mata uang ini diperkirakan beredar di abad 14 sampai 16. Tak hanya dipakai sebagai pembayaran, Gobog Majapahit juga dipakai sebagai benda keramat.
3. Masa kerajaan Islam
Islam berkembang di Nusantara pada abad ke-15. Saat itu beredar mata uang yang dikeluarkan kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Jambi, Banten, Palembang, dan Sumenep. Mata uang yang mereka keluarkan umumnya bertulisan Arab. Yang memiliki keunikan adalah uang Kerajaan Sumenep yang berasal dari uang asing, lalu diberi cap 'Sumenep' dengan aksara Arab.
4. Uang kolonial
VOC yang pernah berkuasa pernah berupaya mengganti semua mata uang asing yang saat itu beredar di Nusantara. Demi menggantikan mata uang Real Spanyol yang populer, maka dicetak mata uang Real Belanda. Di samping itu, ada uang perak Belanda bernama Rijksdaalder yang jadi alat pembayaran standar di Nusantara. Di tahun 1727, VOC mengedarkan Duit, yaitu uang tembaga recehan, untuk menggantikan Cassie Cina. Di tahun 1748, VOC memperkenalkan uang kertas berbentuk surat berharga atau sertifikat. Lalu, pada 1783 VOC mengedarkan uang kertas dengan jaminan perak 100 persen.
5. Hindia Timur saat berada di kekuasaan Inggris
Hindia Timur berada di tangan Inggris pada 1808 sampai 1815. Saat itu, Raffles menarik sekitar 8,5 juta Rijksdaalder dari peredaran demi memperbaiki keuangan. Sebagai gantinya, Real Spanyol kembali diedarkan sebagai standar mata uang perak. Pada 1813, Real Spanyol diganti dengan Ropij Jawa yang dibuat dari bahan emas, perak, dan tembaga serta dicetak di Surabaya.
6. Zaman pemerintah Hindia Timur dan Hindia Belanda
Para Komisaris Jenderal yakni Elout, Buyskes, dan Van der Capellen pada tahun 1817 menerbitkan Gulden Hindia Belanda untuk menggantikan Ropij Jawa.
7. Masa Oktroi I-VIII
Raja Willem I mengajukan usul di tahun 1825 agar dibentuk suatu bank di Jawa. Usulan ini berwujud lahirnya De Javasche Bank pada 1828 dengan landasan hak Oktroi, atau wewenang khusus dari Raja Belanda. De Javasche Bank kemudian diberi mandat mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas bank dengan nilai lima gulden ke atas. Karena percetakan yanga ada jumlahnya terbatas, maka sebagian uang yang beredar di Hindia Belanda kala itu adalah logam Duit, yang diterbitkan VOC pada 1727. Uang logam Duit diberlakukan kembali oleh Van Den Bosch.
8. Masa DJB Wet
De Javasche Bankwet menggantikan Oktroi pada 1892. De Javasche Bank tetap mengeluarkan serta mengedarkan uang kertas lima gulden ke atas. Uang kertas yang pernah dicetak De Javasche Bank adalah seri J. P. Coen, seri bingkai, dan seri Mercurius. Seri wayang adalah seri uang kertas terakhir De Javasche Bank sebelum Belanda menyerah pada Jepang.
9. Zaman pendudukan Jepang
Saat pendudukan Jepang, semua kebijakan keuangan ada di tangan Gunseikanbu atau Pemerintah Militer Pusat. Mereka berusaha mempertahankan nilai gulden dan rupiah Hindia Belanda, contohnya dengan melarang penggunaan mata uang lain. Di samping itu, mereka juga menerbitkan serta mengedarkan mata uang kertas yang dinamakan uang invasi. Emisi pertama memakai bahasa Belanda dan beredar pada 1942. Emisi kedua memuat tulisan 'Pemerintah Dai Nippon' tapi tidak sempat diedarkan. Ketiga memuat tuliasn 'Dai Nippon Teikoku Seihu' yang diedarkan pada 1943.
Pasca Sekutu mendarat di Tanjung Priok, komandan pasukan mereka melarang pemakaian uang Jepang dan mengedarkan uang NICA.
10. Uang awal kemerdekaan RI
Karena kondisi ekonomi yang buruk di awal kemerdekaan, pemerintah RI tak bisa segera mencetak mata uang sendiri. Hal ini juga kurangnya tenaga ahli. Akhirnya, dengan Maklumat 3 Oktober 1945, mata uang yang beredar hingga pendudukan Jepang diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Di hari sebelumnya, pemerintah RI kala itu memberi maklumat juga yang menyatakan uang NICA tidak berlaku.
11. Mata uang ORI
Karena desakan mencetak uang sendiri, maka pemerintah RI menerbitkan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia)yang beredar mulai Oktober 1946. Di samping itu juga pemerintah meminta para pemin=mpin daerah menerbitkan mata uang ORI-Daerah atau ORIDA. Ini karena kekurangan uang tunai akibat terputusnya komunikasi antara pusat dan daerah akibat Agresi Militer Belanda. ORIDA terbit di Sumatra, Banten, Tapanuli, dan Banda Aceh.
12. Uang RIS
Pada 1 MEi 1950, pemerintah Republik Indonesia Serikat menarik ORI dan ORIDA. Mereka mengganti dengan mata uang RIS. Namun, pada Agustus 1950, pemerintahan kembali menjadi NKRI dan uang RIS tidak berlaku lagi.
13. Uang pemerintahan dari Bank Indonesia
Pada Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953, Bank Indonesia punya wewenang mengeluarkan dan mengedarkan uang pecahan lima rupiah ke atas. Sementara pecahan di bawahnya dan uang logam masih wewenang pemerintah Indonesia. Lalu, dengan Undang-Undang No.13/1968 tentang Bank Sentral, BI menjadi pemilik hak tunggal mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dan logam.Ini juga termuat di Undang-Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia dan diamandemen dengan Undang-Undang No.3/2004 tanggal 15 Januari 2004.