Direktur Utama PT Pefindo Biro Kredit Yohanes Abimanyu mengungkapkan beberapa alasan bank tidak meloloskan pengajuan kredit atau pinjaman nasabah meskipun rekam jejak nasabah tersebut terbilang baik.
Pertama, nominal kredit yang diajukan membutuhkan agunan, namun bank melihat nilai agunan yang dibutuhkan terlalu besar. Sementara menurut bank, nasabah dianggap tidak memiliki kemampuan agunan sebesar nilai yang dibutuhkan.
"Kalau bank melihat bahwa agunan (yang dimiliki nasabah) tidak cukup untuk cover kredit dan agunan yang dibutuhkan, ini bisa jadi salah satu alasan kredit tidak bisa disetujui," ungkapnya pada bincang virtual bersama media, Kamis (21/10).
Kedua, nasabah belum pernah mengajukan kredit ke bank. Secara rekam jejak, ia mungkin tidak punya catatan menunggak cicilan atau kredit macet. Tapi, hal ini membuat bank juga tidak punya pengetahuan soal profil risiko nasabah.
"Kalau tidak ada credit scoringnya, bank mungkin perlu waktu untuk melihat profil debiturnya. Bank jadi perlu waktu lebih lama untuk tanya-tanya ini orang karakternya bagaimana, rajin bayar engga, cek dulu ke tempat kerjanya, tetangganya, dan lainnya. Beda dengan yang laporan credit scoring-nya sudah ada, sudah valid, bisa lebih mudah," jelasnya.
Ketiga, bank sengaja menahan penyaluran kredit yang agresif ke nasabah. Menurut Direktur Pefindo Biro Kredit Wahyu Trenggono, alasan ini muncul khususnya di masa pandemi covid-19. Sebab, risiko meningkat, sehingga bank harus lebih hati-hati dalam mengucurkan kredit ke nasabah.
"Dengan kondisi ekonomi saat ini, kemampuan membayar nasabah, dan lainnya, bank agak menahan diri untuk kucurkan kredit secara agresif meski mungkin tidak ada masalah di credit scoring-nya, mereka selektif, ini bisa jadi alasan kenapa catatan bagus, tapi masih ditolak," kata Wahyu.
Tak cuma masyarakat secara individu, Yohanes mengatakan penolakan kredit bank kadang juga terjadi pada UMKM. Padahal, bisnis mereka kadang menjanjikan.
Menurut Yohanes, hal ini terjadi karena data UMKM masih cenderung minim di bank, meski jumlah mereka sangat banyak di Indonesia, yaitu mencapai 65 juta UMKM. Begitu juga dengan sumbangannya ke perekonomian yang sangat besar.
"Padahal data ini faktor penting untuk kita nilai kredit, tapi data UMKM ini sangat tersebar dan belum tersentralisasi sehingga bank masih belum bisa menganalisa," tuturnya.
Karenanya, Yohanes mengatakan nasabah dan masyarakat secara umum perlu memahami credit scoring atau kualitas kredit mereka untuk bisa bernegosiasi kepada bank saat mengajukan kredit. Apalagi, bila credit scoring nasabah sudah baik.
"Maka dari itu, masyarakat harus mulai paham soal pentingnya credit scoring, sehingga kalau credit scoring kurang baik, masyarakat bisa segera perbaiki, kalau sudah baik, bisa untuk meyakinkan bank," imbuh Yohanes.
Selain credit scoring, Yohanes mengatakan ada beberapa hal juga yang perlu diperhatikan nasabah agar pengajuan kredit mudah diterima. Mulai dari riwayat pengajuan kredit, riwayat pembayaran atau pelunasan kredit, dan lainnya.