Mata uang lira kian anjlok pada Senin (20/12). Kejatuhan terjadi usai Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengutip ajaran Islam guna membenarkan keputusannya tak menaikkan suku bunga atau riba demi menstabilkan mata uang.
Erdogan membuat bank sentral Turki menurunkan biaya pinjaman secara tajam meski tingkat inflasi tahunan negara itu melonjak lebih dari 20 persen. Para ekonom memproyeksikan kebijakan tersebut bakal mengantarkan inflasi mencapai 30 persen atau lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
Meski demikian, Erdogan tak goyah. Ia mengatakan bahwa keyakinannya sebagai seorang Muslim mencegahnya mendukung kenaikan suku bunga atau riba.
"Mereka mengeluh kami terus menurunkan suku bunga. Jangan berharap apa-apa lagi dari saya. Sebagai seorang Muslim, saya akan terus melakukan apa yang diperintahkan agama kami. Ini adalah perintah-Nya," ujar Erdogan seperti dikutip dari AFP, Senin (20/12).
Erdogan sebelumnya mengutip Alquran dalam menjelaskan mengapa dia percaya riba menyebabkan inflasi, bukan sebaliknya.
Sebagai informasi, suku bunga yang tinggi menjadi hambatan bagi aktivitas dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Tapi, bank sentral biasanya menaikkan suku bunga guna mengendalikan inflasi yang tidak terkendali.
Akibat absennya fungsi pengendali moneter bank sentral, lira Turki kini kehilangan hampir setengah nilainya terhadap dolar AS dalam tiga bulan terakhir. Pada Senin (20/12) sore waktu setempat, lira turun lebih dari enam persen terhadap dolar AS. Pada awal Januari, US$1 bisa dipakai untuk membeli 7,4 lira. Namun saat ini, US$1 setara dengan 17,5 lira.
"Anda tidak dapat menjalankan ekonomi modern yang terintegrasi ke dalam ekonomi global atas dasar ini. Bahkan Arab Saudi tidak mencoba manajemen makro (ekonomi) yang sepenuhnya sesuai dengan syariah," kata Ekonom Timothy Ash dari BlueBay Asset Management.
Bank sentral Turki telah menurunkan empat kali suku bunga berturut-turut untuk menurunkan acuan suku bunga dari 19 persen menjadi 14 persen.
Para diplomat menduga kepemimpinan kuat yang 'menghalalkan' segala cara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bakal memperpanjang kekuasaan Erdogan dalam pemilu yang dijadwalkan pada pertengahan 2023.
Erdogan bulan lalu meluncurkan 'perang ekonomi independen yang bertujuan untuk memutuskan ketergantungan Turki pada investasi asing dan biaya impor yang berfluktuasi, seperti minyak dan gas alam. Tetapi kebijakan tersebut menghadapi perlawanan dari para taipan bisnis yang sebagian besar mendukung Erdogan selama 19 tahun pemerintahannya.
Asosiasi Bisnis dan Industri Turki (TUSIAD) akhirnya mengeluarkan teguran keras terhadap Erdogan, sesuatu yang tak biasanya dilakukan. "Pilihan kebijakan yang diterapkan di sini tidak hanya menciptakan masalah ekonomi baru untuk bisnis, tetapi untuk semua warga kita," kata lobi bisnis besar itu.
Mereka mendesak Pemerintah Turki untuk meninjau 'kerusakan' ekonomi Turki dan segera menerapkan prinsip ekonomi dalam kerangka ekonomi pasar bebas. Menanggapi itu, Erdogan malah menyerang TUSIAD secara langsung dalam komentarnya yang disiarkan di televisi.
"Anda hanya memiliki satu pekerjaan: untuk memastikan investasi, produksi, lapangan kerja, dan pertumbuhan," ujarnya.
No comments:
Post a Comment