Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan Indonesia mengajukan usul soal pemberlakuan sistem perpajakan gender dalam pertemuan tahunan negara-negara G20 di Bali. Sistem perpajakan ini diklaim akan menguntungkan, khususnya bagi kaum wanita.
"Kami juga usulkan terkait perpajakan dengan gender, secara eksplisit memang belum dibahas namun secara kerangka tax and gender ini memberikan porsi yang lebih menguntungkan bagi wanita," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra dalam konferensi pers G20, Jumat (10/12).
Wempi menjelaskan keuntungan yang dimaksud ialah wanita dapat terjun ke pasar ketenagakerjaan dengan mendapat berbagai fasilitas yang disediakan dari perpajakan. Tidak hanya itu, salah satu contoh teknis keuntungan yang bisa diambil dari sistem perpajakan gender ini adalah maternity leave atau cuti kelahiran bagi wanita.
"Inti dari ketentuan ini secara umum adalah memberikan kebijakan afirmasi bagi gender, contoh teknisnya maternity leave agar wanita mendapatkan fasilitas perpajakan untuk memasuki lapangan kerja yang lebih banyak," ucapnya. Walau masih menjadi isu perpajakan yang baru, tax and gender sudah diusulkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) kepada Indonesia sebagai presiden G20 2022.
Ia menilai isu perpajakan gender disambut baik oleh delegasi dan anggota G20, sehingga pembahasan ini akan dibedah di level working group atau kelompok kerja. "Mungkin akan dilaporkan pada saat pertemuan di bulan Februari 2022," ujar Wempi.
Dalam G20 Indonesia, isu ini akan dibahas dalam kerangka sistem perpajakan internasional. Tidak hanya itu, Bank Indonesia menyebut negara-negara G20 tengah memperjuangkan kenaikan kuota dalam sistem voting yang berlaku di Dana Moneter Internasional (IMF). Pasalnya, sistem voting saat ini dinilai tidak merepresentasikan kondisi ekonomi global yang ada.
"Kalo negara besar akan setor (iuran) lebih besar jadi punya voting power lebih besar, negara kecil sebaliknya. Kalo posisi sekarang, belum refleksikan voting power yang cerminkan skala ekonomi negara tersebut," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo dalam konferensi pers G20.
Ia mengibaratkan iuran negara ke IMF dengan iuran yang ada di koperasi. Apabila dana yang dibutuhkan koperasi sebesar Rp100, maka 10 anggota yang ada harus menyetorkan dana sebesar Rp10.
Dengan demikian, seluruh anggota memiliki kekuatan voting yang sama dan memiliki kemampuan meminjam yang sama kepada koperasi sebesar Rp10. Namun apa yang terjadi saat ini, negara besar lebih banyak menyetorkan iuran ke IMF, sehingga memiliki kekuatan voting yang lebih besar.
Budi mengatakan isu ini sudah menjadi komoditas lama yang kerap kali diperdebatkan dalam pertemuan negara-negara G20. Namun tidak menemui titik terang dan sering berakhir buntu. Kebuntuan terjadi dikala negara berkembang menginginkan kuota voting dinaikkan, namun negara maju tak mau mengalah, sebab posisinya harus dikorbankan dan dibagi ke negara berkembang.
Oleh karena itu, dalam pertemuan tahunan di Bali, isu ini dinilai penting untuk dibahas kembali agar sistem voting di IMF lebih sesuai dengan kondisi ekonomi global saat ini. "Diminta agar kuotanya dinaikkan, tetapi kenaikannya diminta untuk dibagi secara skala ekonomi yang representatif," ujarnya.
Selain itu, mata uang digital juga menjadi agenda prioritas dalam G20. "Juga dibahas nanti adalah terkait mata uang digital bank sentral. Ini yang juga sedang dibahas dalam topik prioritas kita," ujar Budi.
Aspek mata uang digital atau central bank digital currency (CBDC) yang akan dibahas ialah dampak ke makro ekonomi dan kebijakan moneter. Kemudian, faktor-faktor yang menjadi alasan mata uang digital harus dikeluarkan juga menjadi pembahasan penting.
No comments:
Post a Comment