Seiring dengan pemindahan ibu kota negara (IKN) baru ke Kalimantan Timur, harga tanah kian meroket. Fenomena ini mulai terasa di kawasan Sepaku, Penajam Paser Utara yang bakal jadi area ibu kota baru.
Sekretaris Kecamatan Sepaku Adi Kustaman mengatakan sejak pengumuman perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur 2019 silam, harga tanah di Sepaku mulai menanjak. Sampai saat ini kenaikan harga tanah kira-kira sudah terpantau 5-10 kali lipat dibandingkan sebelum adanya pengumuman perpindahan ibu kota baru.
"Paska pengumuman di 2019, Agustus waktu itu, diumumkan Pak Jokowi sebagian Penajam dan Kukar Kaltim sebagai ibu kota negara, itu ya sudah mulai kenaikan. Langsung saat itu juga. Kenaikannya ini dari 5 sampai 10 kali lipat," kata Adi kepada detikcom, Selasa (18/1/2022).
Fakta itu tidak sembarang diungkapkan olehnya. Pasalnya menurut Adi, ada data transaksi dan dokumen pertanahan yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan. Belum lagi ada beberapa kabar-kabar tawaran tanah yang dia dengar dari masyarakat.
Camat Sepaku Risman Abdul juga membenarkan hal tersebut. Dia bilang saat ini harga tanah di Sepaku sudah menyentuh Rp 250 ribu per meter, padahal dulu cuma Rp 50 ribu. Kalau satu hektarenya bisa mencapai Rp 2,5 miliar. Itu untuk harga tanah yang letaknya dekat dengan jalan utama.
"Nah kalau di pinggir jalan itu lebih tinggi lagi, dulu hanya Rp 50 ribu per-meter, kalau sekarang Rp 250 ribu per meter, jadi kalau satu hektare bisa sekitar Rp 2,5 miliar," kata Risman. Sementara itu, bila merujuk penuturan Adi, untuk lahan kawasan perkebunan di Sepaku harganya naik menjadi Rp 300-500 jutaan per hektare. Bahkan menurutnya masih ada yang harganya di atas itu. Padahal dulunya cuma Rp 75-100 jutaan saja.
"Sebelum pengumuman itu, tanah itu ya kayak perkebunan dan produktif itu cuma 75-100 juta saja per hektare. Kami di sini nggak bicara per meter, bicara hektare-an. Nah sekarang ini, kemarin aja sebelum disahkan UU hari ini, itu sudah sampai Rp 300-500 juta, beberapa ada yang di atas itu juga," ungkap Adi.
Adi percaya kenaikan harga tanah itu tidak akan berhenti sampai saat ini, bahkan akan makin besar jumlahnya di kemudian hari seiring dengan semakin nyatanya rencana perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Maka dari itu, tren yang terjadi di tengah masyarakat adalah menahan tanahnya untuk dijual meskipun sudah ada tawaran yang masuk. Menurut Adi, masyarakat ingin menunggu kepastian lebih lanjut soal perpindahan ibu kota dan juga kenaikan harga lebih banyak di kemudian hari.
"Saya dengar kabar langsung juga pada menahan memang, mungkin menunggu benar-benar tinggi harganya dan ada kepastian (IKN baru) baru melepas," jelas Adi.
Tanah di Sepaku juga mulai diburu pengembang besar. Para pengembang mulai mengincar tanah untuk 'disulap' seiring dengan berpindahnya ibu kota ke Kalimantan Timur. Adi mengakui kantornya sudah mulai menerima utusan-utusan dari para pengembang. "Pengembang-pengembang besar itu mulai banyak sekali, dia mulai penjajakan. Datang ke kami. Tapi kan mereka dalam jumlah besar, artinya ya kan masuknya investasi besar. Saya arahkan lah dia ke pemerintah daerah aja," ungkap Adi.
Adi mengatakan kebanyakan pengembang-pengembang ini mencari area luas untuk disulap jadi kawasan perumahan. Dia bilang para pengembang butuh tanah mencapai ratusan hektare.
Sayangnya, Adi menutup informasi soal siapa saja pengembang yang sudah datang dan melakukan penjajakan investasi di Sepaku. "Mereka kebanyakan cari buat perumahan, sudah banyak sekali pengembang-pengembang properti itu ke sini. Dia mau jumlah besar seratus dua ratus hektare ya," ungkap Adi.
Sengketa Tanah
Di balik cemerlangnya prospek tanah di Sepaku, nyatanya sengketa tanah mulai bermunculan seiring dengan rencana pemindahan ibu kota. Adi menuturkan ada kisah sengketa tanah yang terjadi di bekas tanah milik transmigran dari Jawa. Ceritanya begini. Ada sebidang tanah yang ditinggalkan oleh penduduk transmigran asal Jawa. Tanah itu ditinggal karena pemiliknya yang lama tak betah alias kangen kampung di tanah rantau sebab lebih baik susah ditanah sendiri daripada sukses di perantauan. Dia pun menerima penawaran untuk menukar sertifikat tanahnya dengan tiket pulang ke Pulau Jawa.
"Contoh kecil kemarin baru terjadi di tanah bekas transmigrasi. Ada dulu kan 70-an itu transmigrasi kan di sini banyak, ada yang tidak betah di sini, dia itu rela aja pulang ke Jawa tapi sertifikat diserahkan diganti tiket. Mungkin dia mikirnya, saya bisa pulang kampung lah," cerita Adi.
Seiring dengan wacana ibu kota baru, keluarga pemilik tanah yang ditinggalkan itu kembali mendatangi Sepaku untuk mengklaim tanahnya. Keluarga ex transmigran itu mencari sertifikat tanah yang sudah ditukar dengan tiket pulang ke Jawa tadi.
Padahal saat itu sertifikat tanahnya sudah diberikan ke orang lain, bahkan tanpa ada transaksi yang jelas pencatatannya. Kini tanahnya pun jadi sengketa. "Nah belakangan setelah ramai IKN, anaknya dia itu datang lagi kemari, nyariin itu sertifikatnya, mau diklaim tanahnya. Lah dulu juga transaksi dilakukan tidak sebagaimana mestinya, tanpa PPAT dan sebagainya. Begini ya susah," papar Adi.
Tidak sampai di situ saja, masalah pertanahan juga terjadi di tengah banyaknya tawaran pembelian tanah. Ada satu cerita masyarakat yang menjual tanahnya ke seseorang. Bidang tanah itu disepakati dibeli dengan harga Rp 500 juta. Pembeli juga sudah membayar uang muka Rp 50 juta.
Sialnya, tahu-tahu tanah itu tidak diteruskan pembayarannya sampai sekarang oleh si pembeli. Si pemilik tanah pun bingung, mau menjual tanahnya ke orang lain namun takut si pembeli itu kembali meneruskan pembayaran tanahnya. Tapi kalau menunggu dengan tidak pasti pun si pemilik tak mendapatkan uangnya.
"Misalkan gini ada orang sudah oke sepakat mau jual tanah, baru di-DP Rp 50 juta. Tempo sebulan dua bulan tiga bulan, kok nggak ada kepastian dari pembelinya. Nih surat perjanjian sudah dipegang, harga dikunci Rp 500 juta, mau dijual lagi takut dia," cerita Adi.
Sengketa tanah bermunculan seiring dengan rencana ibu kota negara (IKN) baru yang mau pindah ke Kalimantan Timur. Fenomena ini terjadi di Sepaku, Penajam Paser Utara, yang digadang-gadang bakal jadi area ibu kota baru.
Sekretaris Kecamatan Sepaku Adi Kustaman menuturkan ada kisah sengketa tanah yang terjadi di bekas tanah milik transmigran dari Jawa. Ceritanya begini, ada sebidang tanah yang ditinggalkan oleh penduduk transmigran asal Jawa awalnya ditinggalkan pemiliknya sejak lama. Tanah itu ditinggal karena pemiliknya yang lama tak betah di tanah rantau, dia menerima sebuah penawaran untuk menukar sertifikat tanahnya dengan tiket pulang ke Pulau Jawa.
"Contoh kecil kemarin baru terjadi di tanah bekas transmigrasi. Ada dulu kan 70-an itu transmigrasi kan di sini banyak, ada yang tidak betah di sini, dia itu rela aja pulang ke Jawa tapi sertifikat diserahkan diganti tiket. Mungkin dia mikirnya, saya bisa pulang kampung lah," kisah Adi.
Seiring dengan wacana ibu kota baru, keluarga pemilik tanah yang ditinggalkan itu kembali mendatangi Sepaku untuk mengklaim tanahnya. Keluarga ex transmigran itu mencari sertifikat tanah yang sudah ditukar dengan tiket pulang ke Jawa tadi. Padahal saat itu sertifikat tanahnya sudah diberikan ke orang lain, bahkan tanpa ada transaksi yang jelas pencatatannya. Kini tanahnya pun jadi sengketa.
"Nah belakangan setelah ramai IKN, anaknya dia itu datang lagi kemari, nyariin itu sertifikatnya, mau diklaim tanahnya. Lah dulu juga transaksi dilakukan tidak sebagaimana mestinya, tanpa PPAT dan sebagainya. Begini ya susah," papar Adi.
Tidak sampai di situ saja, masalah pertanahan juga terjadi di tengah banyaknya tawaran pembelian tanah. Ada satu cerita masyarakat yang menjual tanahnya ke seseorang. Bidang tanah itu disepakati dibeli dengan harga Rp 500 juta. Pembeli juga sudah membayar uang muka Rp 50 juta.
Sialnya, tahu-tahu tanah itu tidak diteruskan pembayarannya sampai sekarang oleh si pembeli. Si pemilik tanah pun bingung, mau menjual tanahnya ke orang lain namun takut si pembeli itu kembali meneruskan pembayaran tanahnya. Tapi kalau menunggu dengan tidak pasti pun si pemilik tak mendapatkan uangnya.
"Misalkan gini ada orang sudah oke sepakat mau jual tanah, baru di-DP Rp 50 juta. Tempo sebulan dua bulan tiga bulan, kok nggak ada kepastian dari pembelinya. Nih surat perjanjian sudah dipegang, harga dikunci Rp 500 juta, mau dijual lagi takut dia," cerita Adi.