Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan membawa masalah harga dan ketersediaan minyak goreng ke ranah hukum, termasuk terkait indikasi kartel dalam kenaikan harga komoditas tersebut.
"Berdasarkan berbagai temuan saat ini, Komisi memutuskan pada Rapat Komisi hari Rabu kemarin bahwa permasalahan minyak goreng dilanjutkan ke ranah penegakan hukum di KPPU," kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur, Sabtu (29/1) seperti dikutip dari Antara.
Deswin menjelaskan dalam proses penegakan hukum, fokus awal akan diberikan pada pendalaman berbagai bentuk perilaku yang berpotensi melanggar pasal-pasal tertentu di undang-undang. "Berbagai fakta kelangkaan, potensi penimbunan atau sinyal-sinyal harga atau perilaku di pasar akan menjadi bagian dari pendalaman. Serta turut mengidentifikasi potensi terlapor dalam permasalahan tersebut," katanya.
Sebelumnya, KPPU melihat ada sinyal kartel dari kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan. Pasalnya, perusahaan-perusahaan besar di industri minyak goreng dinilai kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan.
Padahal, berdasarkan data consentration ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, terlihat sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng.
"Ini perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi 'kartel'," kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi beberapa waktu lalu.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus sinyal penetapan harga serempak alias kartel oleh perusahaan minyak goreng dalam negeri. Pasalnya, harga minyak goreng dalam negeri melambung walau setiap produsen minyak goreng di Indonesia memiliki kebun kelapa sawit (CPO) masing-masing.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi menilai kenaikan harga CPO di pasar internasional seharusnya tidak mempengaruhi minyak goreng di Indonesia karena RI adalah pemasok sawit dunia. Di sisi lain, harga pokok produksi (HPP) juga tak berubah.
Oleh karena itu, ia melihat ada indikasi para produsen minyak goreng 'aji mumpung' memanfaatkan kenaikan harga internasional sebagai alasan untuk menaikkan harga minyak goreng di dalam negeri. Namun, ia menyebut KPPU tidak bisa memastikan terjadi kartel karena dugaan harus dibuktikan secara hukum. "Maka saya katakan apakah ada sinyal kartel? Sinyal sih terbaca tapi masalah terbukti atau tidak kartel harus dibuktikan secara hukum," kata Ukay pada konferensi pers daring, Kamis (20/2).
Menurut Ukay, sebetulnya bisa saja ada satu atau dua produsen yang mau memanfaatkan momentum dengan tak menaikkan harga minyak goreng seperti perusahaan lainnya. Sayangnya, hal tersebut tak terjadi dan produsen minyak goreng kompak menjual di atas harga HET, bahkan sempat menembus Rp20 ribu per liter.
Hal tersebut pula yang meyakinkannya akan sinyal kartel dari anomali kenaikan harga minyak goreng walau Indonesia merupakan produsen CPO nomor satu dunia. Ia menduga para perusahaan besar yang menguasai pangsa pasar minyak goreng bisa mengatur kenaikan harga secara bersamaan karena besar daya tawar yang mereka miliki.
"Itu tidak terjadi karena kompak naiknya minyak goreng ini, itu lah yang saya katakan sinyal terjadinya kesepakatan harga," imbuhnya. Ukay menjelaskan bahwa industri minyak goreng di RI memiliki struktur oligopoli. Hal ini tercermin dari rasio konsentrasi (consentration ratio/CR) 2019 di mana empat industri besar menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia.
Walau punya kebun kelapa sawit masing-masing tapi mereka kompak menaikkan harga. Padahal biaya produksi sawit tidak ada kenaikan," jelas dia. Di sisi lain, ia juga menyoroti kewajiban industri minyak goreng harus minimal 20 persen bahan baku dari kebun sendiri. Ia menuturkan regulasi ini membuat para pelaku usaha kecil dan menengah sulit masuk ke industri.
Bila begitu, oligapoli oleh perusahaan besar kian mengakar. Aturan tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan program subsidi minyak goreng yang diberlakukan pemerintah sebesar Rp14 ribu per liter dinilai sia-sia. Pernyataan ini disampaikan Tulus lantaran Indonesia diakui sebagai penghasil minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, tetapi masyarakatnya justru kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga yang terjangkau.
"Ironi ya, negara penghasil CPO terbesar di dunia seharusnya harga minyak gorengnya terjangkau atau bahkan seharusnya jadi yang termurah di dunia. Dalam catatan saya, kebijakan subsidi Rp3,5 triliun dengan 1,2 miliar liter itu sebuah kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti tidak efektif sampai detik ini," ungkapnya, dalam webinar bertajuk Para Syndicate, Jumat (28/1).
Ia menilai bahwa pemerintah tidak bisa memahami kondisi pasar, psikologi konsumen, hingga rantai pasokan minyak goreng dalam negeri. Lebih lanjut, ia justru mengatakan pemerintah melakukan praktik anti persaingan dengan menetapkan harga minyak goreng kemasan secara sepihak.
"Dengan harga sepihak, sebenarnya ini kebijakan anti kompetisi karena seharusnya pemerintah cukup tetapkan HET, tapi penyeragaman harga ini jadi kebijakan anti kompetisi. Justru, saya menduga ada sindikat antar pemerintah dengan pedagang minyak goreng besar menentukan harga," imbuhnya.
Tulus juga menyinggung eksistensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang hingga saat ini belum mengambil tindakan yang serius terhadap kenaikan harga minyak goreng yang kentara sejak tahun lalu.
"Kami juga merasa aneh, dimana seharusnya KPPU itu menjadi wasit kompetisi perdagangan, tapi sampai sekarang tidak ada aksi konkret terkait masalah ini. Ini yang saya kira persoalan hulu belum disentuh pemerintah dan KPPU," terang dia.
Pihaknya mengaku hingga saat ini masih menerima banyak aduan dari masyarakat terkait harga minyak goreng yang masih mahal dan terbatasnya pasokan yang tersedia di sejumlah daerah, baik di pasar tradisional maupun pasar ritel modern.
No comments:
Post a Comment