Tuesday, January 25, 2022

60 Persen Tenaga Kerja Millenial Tidak Memiliki Skill Dibidang Pekerjaannya

 Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi melihat tren digitalisasi yang terjadi di berbagai sektor, termasuk perbankan, bakal menjadi masalah besar yang akan dihadapi pekerja RI.

Ia menyebut ada masalah serius pengangguran massal akibat ancaman PHK yang dipicu rendahnya kemampuan pekerja RI. Masalah serius ia katakan dengan melihat kualifikasi pendidikan mayoritas pekerja RI yang sekitar 55 persen angkatan tenaga kerjanya merupakan lulusan SMP ke bawah.

Profil ketenagakerjaan tersebut tak sesuai dengan tuntutan zaman yang membutuhkan tenaga kerja ahli yang berketerampilan tinggi di bidang teknologi. Maka itu, tak heran jika terjadi kekosongan talenta (talent gap) di sektor IT hingga 9 juta orang meski tingkat pengangguran Indonesia masih tinggi.

Mengutip riset Mckinsey, diperkirakan 23 juta pekerja di Indonesia yang bakal digantikan oleh teknologi pada 2030. Memang, ia memperkirakan pekerjaan baru yang tercipta bisa mencapai 27 juta-46 juta pekerjaan.

Tapi Tadjuddin pesimis pekerjaan baru tersebut bisa diisi oleh tenaga kerja Indonesia kalau tak dilakukan pembenahan. Pasalnya, ia melihat sekarang saja sudah ramai perusahaan yang mendatangkan pekerja dari luar untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli teknologi. Karena itu, ia menyebut ada tiga jenis pelatihan yang harus segera diambil. Pertama, skilling atau pembekalan keterampilan untuk kelompok yang belum melek digital.

Kedua, reskilling atau menaikkan kompetensi pekerja di sektor sama untuk dapat mengisi pekerjaan baru. Ketiga, upskilling atau mengubah skill pekerja untuk dapat berpindah ke sektor lain. Menurut dia, pemerintah lewat Kementerian Ketenagakerjaan telah membuat program yang mengantisipasi transisi ketenagakerjaan lewat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program akan direalisasikan bulan depan.

JKP didesain untuk membantu pekerja terkena PHK lewat santunan uang, informasi lowongan kerja, serta pelatihan kerja. Namun masalahnya, program hanya menyasar pekerja formal atau mereka yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, sekitar 60 persen tenaga kerja Indonesia ada di sektor informal yang ber-skill rendah.

Maka itu, Tadjuddin mengatakan harus ada program lain dari pemerintah yang mampu melakukan reskilling besar-besaran agar pekerja Indonesia tak ketinggalan. Ia pun mengingatkan pemerintah soal sumber pendanaan untuk pembekalan keterampilan pekerja Indonesia yang jumlahnya tak sedikit.

"Butuh dana besar terutama untuk infrasruktur, alat-alat, komputer, tenaga ahli, itu kan butuh persiapan tidak gampang," jelas dia. Tadjuddin mengatakan untuk bisa menjadi negara maju pada 2045 mendatang seperti yang dicita-citakan, pemerintah harus segera bertindak cepat mencetak tenaga kerja yang 'canggih' karena digitalisasi tak bisa menunggu.

Kalau tidak, konsekuensinya RI bisa gagal jadi negara maju karena salah satu syaratnya adalah memiliki SDM yang berdaya saing tinggi. "Menjadi negara maju harus punya tenaga kerja yang canggih karena industri yang masuk adalah teknologi baru, robot dan sebagainya. Kalau tidak bisa mengisi itu jangan marah kalau orang luar mengisi itu," tutupnya.


No comments:

Post a Comment