Laos menghadapi ancaman gagal bayar karena utang yang menumpuk. Tercatat, total pembayaran utang dan bunga bengkak dari US$1,2 miliar atau sekitar Rp17,76 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS) pada 2018 menjadi US$1,4 miliar atau sekitar Rp20,72 triliun tahun ini.
Berdasarkan data Bank Dunia, total utang publik Laos mencapai 88 persen dari PDB Laos yang berkisar US$20 miliar (Rp296 triliun) pada 2021. Sekitar US$14,5 miliar (Rp214,6 triliun) merupakan utang luar negeri.
Mengutip The Star, Kamis (23/6), Menteri Keuangan Laos Bounchom Ubonpaseuth mengungkapkan utang negara terus membengkak untuk membiayai pembangunan negara berpenduduk 7,5 juta orang itu. Namun, ia memastikan negara tidak akan gagal bayar. "Utang banyak terakumulasi menyusul pinjaman besar-besaran untuk pembangunan nasional periode 2010 dan 2016," ujar Ubonpaseut saat berbicara di depan Majelis Nasional pada awal pekan ini.
Pada 2010 lalu, lanjut Ubonpaseuth, pembayaran bunga plus utang luar negeri Laos hanya US$160 juta yang bisa dibayar dari penerimaan domestik. "Selama 47 tahun terakhir, Laos telah meminjam sekitar US$5 miliar untuk investasi pada infrastruktur dan sekitar US$4 miliar investasi pada produk komersial untuk tujuan ekspor. Pinjaman ini diperlukan untuk perkembangan negara kita selama beberapa tahun terakhir," ujarnya.
Ekonomi Laos memang menghadapi krisis selama beberapa waktu terakhir. Hal itu terlihat dari antrean kendaraan di SPBU di Ibu Kota Vientines dan kenaikan sejumlah harga pangan. Kondisi ekonomi Laos memicu kemarahan publik terhadap pemerintah Laos. Kemarahan itu disalurkan warganet lewat komentar pada artikel berjudul "Ekonomi Laos Kollaps" yang diunggah oleh laman Facebook Radio Free Asia bulan ini.
"Jika pemerintah tidak mampu mengelola ekonomi, keluar saja!" ujar satu dari 1.100 komentar pada artikel tersebut seperti dikutip dari Asia Nikkei. Pandemi covid-19 hingga perang antara Rusia dan Ukraina membuat situasi dunia saat ini begitu mengerikan. Krisis datang silih berganti mulai dari kesehatan, energi, pangan hingga keuangan.
Kondisi bahkan bisa membuat suatu negara bangkrut jika fundamental domestik masing-'masing tidak dijaga dengan baik. Terutama kondisi keuangan negara. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ciri suatu negara bisa dikatakan bangkrut adalah saat tidak mampu membayar utang.
Saat ini, salah satunya yang mengalami adalah Sri Lanka yang dinyatakan bangkut karena tidak bisa membayar utang. Hal ini lantaran fundamental negerinya tidak mampu menopang dampak dari global.
Apalagi semua komoditas pangannya impor sehingga saat terjadi kenaikan harga global defisit anggarannya membengkak karena belanja yang meningkat tajam. "Penyebab dari kebangkrutan tersebut berasal dari berbagai hal, mulai dari debt mismatch, nilai tukar melemah signifikan, hingga perubahan iklim politik," ungkapnya.
Josua menyatakan, saat dinyatakan bangkrut maka negara tersebut ada di posisi yang tidak menguntungkan. Sebab, otomatis kepercayaan global akan semakin turun sehingga stabilitas negara akan tersebut kian terpuruk. "Negara pada umumnya mengandalkan pembiayaan melalui surat berharga, maka dampak dari gagal bayar dari suatu negara tidak hanya berdampak pada trust dari negara lainnya, namun juga pemegang obligasi pemerintah di dalam negeri, seperti sektor perbankan ataupun para pelaku bisnis usaha, sehingga dampaknya relatif mengganggu stabilitas ekonomi di dalam negeri juga," papar Josua.
Meski demikian, Josua menyebutkan ada dua cara yang bisa dilakukan suatu negara untuk bangkit dari keterpurukan. Pertama, meminta bantuan lembaga internasional IMF untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dalam jangka pendek. Kedua, negara bangkrut juga bisa menjual aset untuk melunasi utang. Namun, perlu juga dihitung apakah sisa aset yang dimiliki cukup atau tidak memenuhi seluruh pokok dan bunga utang.
"Negara yang sudah terkena dampak default (gagal bayar) masih mampu bangkit namun tidak dalam jangka pendek, terutama karena akan terjadi banyak penyesuaian anggaran yang diperkirakan menahan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut," jelas Josua.
Sementara, Peneliti Indef Nailul Huda menjelaskan gagal bayar utang bukan satu-satunya faktor suatu negara dapat disebut bangkrut. Jika negara tak punya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga bisa dikatakan bangkrut.
"Misalnya tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM, kemudian tidak mampu menyediakan barang dengan harga terjangkau karena masyarakat negara tersebut susah untuk membeli barang karena mahal. Itu bisa menjadi indikator negara tersebut bangkrut," ungkap Nailul. Sebelumnya, Sri Lanka diklaim bangkrut karena gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).
Kondisi ekonomi Sri Lanka semakin memburuk. Bahkan, pemerintah memutuskan untuk menutup sekolah dan menghentikan layanan pemerintahan untuk menghemat cadangan bahan bakar yang hampir habis. Negara berpenduduk 22 juta orang itu mengalami krisis ekonomi terburuk setelah kehabisan devisa untuk membiayai impor sejumlah komoditas termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.