Konflik Israel dan Hamas semakin memanas. Perseteruan keduanya telah membuat puluhan ribu warga Palestina kehilangan tempat tinggal dan mengungsi. Israel bertekad akan terus menyerang Palestina hingga menghancurkan kemampuan sayap militer Hamas. Angkatan Bersenjata Israel (IDF) pun terus 'memborbardir' jalur Gaza, Palestina, dengan serangan udara meski dunia menyerukan gencatan segera.
Perseteruan sengit Israel dan Palestina telah menewaskan 217 orang dari pihak Palestina, 63 di antaranya anak-anak. Sementara jumlah pihak Israel yang tewas sebanyak 12 orang. Uni Eropa mendesak Israel dan Palestina untuk melakukan gencatan senjata. Artinya, kedua pihak berhenti saling menyerang.
Hal ini didukung oleh 26 negara anggota blok tersebut. Namun, satu negara di Uni Eropa, yakni Hongaria menolak seruan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Konflik ini amat disayangkan banyak pihak. Masalahnya, perseteruan Israel dan Hamas akan semakin menekan perekonomian keduanya di masa krisis pandemi covid-19.
Tanpa konflik saja, Israel dan Palestina harus 'jungkir balik' membangkitkan ekonomi agar kembali seperti sebelum pandemi. Kini, dengan ditambah konflik, proses pemulihan ekonomi di Israel dan Palestina pun akan semakin sulit dilakukan.
Lantas, bagaimana sebenarnya gambaran ekonomi Israel dan Palestina?
Ekonomi Israel minus 2,4 persen pada 2020. Sektor utama yang menggerakkan ekonomi Israel adalah teknologi.
Dari segi indikatornya, konsumsi masyarakat berhasil naik 2,9 persen. Namun, investasi pada aset tetap turun 4,8 persen dan investasi secara keseluruhan minus 1,5 persen. Lalu, ekspor barang dan jasa tumbuh 0,6 persen pada 2020. Rinciannya, ekspor barang naik 4,8 persen, sedangkan ekspor jasa turun 4,1 persen.
Tingkat pengangguran di Israel sempat tembus 36,1 persen pada April 2020 atau ketika lockdown diberlakukan. Setelah itu, sebagian dari mereka mendapatkan pekerjaan kembali usai pemerintah Israel mulai melonggarkan kebijakan lockdown.
Namun, tingkat pengangguran kembali naik pada Oktober 2020 atau saat Israel kembali memperketat kebijakan lockdown untuk menekan kasus penularan covid-19. Rata-rata, tingkat pengangguran Israel sepanjang 2020 mencapai 15,3 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 2019 yang hanya 3,8 persen.
Sementara, berdasarkan laporan Bank Dunia bertajuk Palestinian Territories Economy Update-April 2021, ekonomi Palestina tercatat minus 11,5 persen sepanjang 2020. Jika dibandingkan dengan Israel, artinya kontraksi ekonomi Palestina lebih parah di tengah pandemi covid-19.
Mayoritas indikator ekonomi Palestina terlihat minus. Rinciannya, pertumbuhan investasi minus 31,8 persen, konsumsi masyarakat minus 11 persen, ekspor minus 9,6 persen, impor minus 12 persen. Hanya belanja pemerintah yang terlihat positif pada 2020 lalu. Tercatat, belanja pemerintah Palestina tumbuh 8,2 persen.
Bank Dunia menyatakan 22 persen orang Palestina hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara, tingkat pengangguran di negara tersebut sebesar 23,4 persen pada akhir kuartal IV 2020. Lembaga tersebut memproyeksi ekonomi Palestina tumbuh 3,5 persen pada 2021. Konsumsi masyarakat diramalkan tumbuh positif 2,4 persen, belanja pemerintah tumbuh 6,5 persen, investasi tumbuh 8,4 persen, ekspor tumbuh 3,8 persen, dan impor tumbuh 5 persen.
Ekonomi Palestina diprediksi terus positif hingga 2023 mendatang. Rinciannya, pada 2022 tumbuh 3,2 persen dan 3 persen pada 2023. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan porsi ekonomi Israel mayoritas didorong oleh sektor jasa, yakni 69,5 persen. Sisanya, ekonomi Israel bergantung dengan industri pengolahan sebesar 26,5 persen, dan pertanian 2,4 persen.
Sementara, ekonomi Palestina bergantung dengan sektor jasa, yakni mencapai 71,1 persen. Lalu, industri pengolahan berkontribusi sebesar 23,4 persen dan pertanian 5,5 persen. Jika Palestina dan Israel dibandingkan, Bhima menganggap Israel menang telak. Pasalnya, produk domestik bruto (PDB) per kapita Israel sudah lebih dari US$40 ribu, sedangkan PDB per kapita Palestina masih sekitar US$3.000.
"(Jika terjadi konflik terus) ini akan membuat ekonomi Palestina dan Israel semakin jauh. Apalagi karena konflik ini kerusakan di Israel jauh lebih kecil daripada di Palestina," ungkap Bhima. Ketika tensi ketegangan antara Israel dan Palestina menurun dan kembali 'adem ayem', pemulihan di Palestina otomatis akan lebih lama ketimbang Israel. Bhima berpendapat Palestina harus dibantu oleh negara lain untuk membangkitkan ekonominya.
"Kalau Israel kerusakan fisik jauh lebih kecil dari yang ada di Palestina. Israel bisa normalisasi ekspor dan impor langsung," ucap Bhima. Bhima menyatakan konflik Israel dan Palestina tak hanya merugikan kedua negara tersebut, tapi juga kawasan Timur Tengah. Bila perseteruan keduanya semakin parah, ia khawatir beberapa negara lain di Timur Tengah ikut campur dan membuat konflik di kawasan itu semakin panas.
"Dikhawatirkan berlanjutnya konflik dalam rangka full scale war atau perang total akan menarik negara-negara di Timur Tengah terlibat dalam konflik lebih dalam," terang Bhima. Konflik ini, sambungnya, juga menjadi sebuah tes bagi kepemimpinan Presiden AS Joe Biden. Sebab, AS disebut-sebut sebagai negara yang memasok senjata untuk Israel.
"Apakah kebijakan luar negeri AS akan berubah, ini yang jadi pertanyaan utama bagi pelaku usaha. Masih banyak ketidakpastian khususnya terkait langkah negara AS, China dan Rusia yang akan mempengaruhi ekspektasi investasi dan ekspor ke Timur Tengah," jelas Bhima.
Sementara, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan konflik Israel dan Palestina belum akan mengganggu pemulihan ekonomi global pasca dihantam pandemi covid-19. Hal ini lantaran skala konflik dua negara tersebut terbilang kecil.
"Kalau melihat secara historis tidak terlalu mengganggu ekonomi global karena skala kecil," terang Fithra. Kendati begitu, bukan berarti dunia boleh diam saja melihat konflik Israel dan Palestina. PBB dan semua negara harus kompak menyuarakan gencatan senjata untuk Israel dan Palestina.
"Ini bukan hanya untuk ikatan emosional, tapi juga kepentingan politik internal dan ekonomi ini penting ke depan. Ada kekhawatiran dampak langsung, apalagi ini di masa pandemi," jelas Fithra. Khusus untuk Indonesia, Fithra menilai tak ada dampak langsung atas pertikaian Israel dan Palestina. Pasalnya, tak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel dan Palestina.
"Ada beberapa ekspor ke Israel, tapi tidak signifikan. Bukan mitra strategis," terang Fithra.
Di sisi lain, Bhima berpendapat Indonesia sebaiknya berhenti melakukan ekspor ke Israel. Hal ini sebagai bentuk dukungan agar Israel berhenti serangannya ke Palestina. "Dengan menghentikan total perdagangan ke Israel, pemerintah telah ambil bagian dalam menekan Israel agar tidak memperburuk konflik ke Palestina," kata Bhima.
Berdasarkan data yang ia punya, nilai perdagangan antara Indonesia dengan Israel sebesar US$50,6 juta dengan total ekspor sebesar US$47,5 juta. Jumlah ekspor itu lebih besar dari Iran yang sebesar US$26,9 juta dan Kuba US$3,7 juta. "Dari sisi ekspor, produk yang banyak dikirim ke Israel adalah CPO dan produk turunannya, kakao, alas kaki, karet, kimia organik, dan pakaian jadi," jelas Bhima.
Sementara, Bhima beranggapan Indonesia akan terkena 'getah' dari konflik Israel dan Palestina. Dampak ini terjadi secara tak langsung. Ia menjelaskan konflik Israel dan Palestina berpotensi membuat harga minyak mentah dunia menguat. Pasar khawatir perseteruan keduanya akan berlanjut dalam beberapa waktu ke depan.