Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah mengkaji rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Termasuk, skema pengenaan PPN kepada masyarakat. Kepala Subdit (Kasubdit) Humas Direktorat P2P DJP Ani Natalia menuturkan skema pertama adalah tarif tunggal (single-tariff). Artinya, hanya ada satu tarif yang berlaku untuk pungutan PPN.
Saat ini, sistem PPN di Indonesia masih menganut skema single-tariff, yakni sebesar 10 persen. Ani menuturkan pemerintah masih memiliki ruang kenaikan PPN hingga 15 persen seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
"Dalam UU Nomor 46/2009 tentang PPN, sebenarnya pemerintah sudah diberi wewenang untuk menaikkan tarif PPN sampai dengan 15 persen, namun belum pernah dilakukan," terangnya. Selain skema single-tariff, DJP juga mengkaji PPN skema tarif berganda (multi-tariff) yang memberlakukan perbedaan besaran tarif PPN.
Untuk barang-barang dan jasa yang diperlukan orang banyak dan sifatnya kebutuhan, biasanya dikenai tarif PPN yang lebih rendah dibandingkan dengan barang dan jasa yang sifatnya bukan kebutuhan pokok. Meski belum berlaku di Indonesia, ia menuturkan banyak negara di dunia yang telah menganut sistem PPN multi tarif.
"Terkait PPN multi tarif, juga masih dalam kajian, dan tentunya perubahan tarif dari single-tarif ke multi-tariff harus melalui perubahan UU tentang PPN," terangnya. Ia menjelaskan munculnya wacana kenaikan tarif PPN bertujuan untuk memperkecil defisit APBN akibat pandemi covid-19. Ia menuturkan pengeluaran negara meningkat tajam untuk menangani pandemi, sebaliknya penerimaan pajak turun lantaran ekonomi lesu.
"Pak Dirjen (Dirjen Pajak Suryo Utomo) menjelaskan kalau terkait hal ini (kenaikan tarif PPN) masih dalam kajian," terangnya. Selain itu, ia menegaskan bahwa tarif PPN di Indonesia termasuk kelompok tarif yang rendah di dunia, bahkan lebih rendah dari tarif rata-rata PPN global. Sementara itu, ada sekitar 124 negara yang mengenakan PPN di atas 10 persen. "Sedangkan, secara rata-rata tarif PPN global adalah 15,4 persen," katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan wacana pemerintah menerapkan skema PPN multi tarif berpotensi merugikan konsumen di tingkat akhir. Pasalnya, penjual barang atau jasa cenderung akan menaikkan harga yang membuat barang atau jasa tersebut dikenakan PPN lebih tinggi dan lebih mahal.
"Multi tarif juga tidak selalu menguntungkan konsumen akhir. Kenapa? Karena penjual cenderung akan menaikkan harga dan pada akhirnya harga tersebut dapat mensubstitusi harga barang yang dikenai PPN dengan tarif yang lebih tinggi," ujarnya dalam webinar bertajuk 'PPN 15 Persen, Perlukah di Masa Pandemi', Selasa (11/5).
Masalah lainnya adalah penerapan administrasi yang jauh lebih rumit ketimbang PPN single tarif. "Kemudian juga bagaimana soal kita bisa membedakan transaksi yang terjadi antar berbagai kelas tarif PPN tersebut dan bisa memilih mana yang lebih tepat. Karena tentu akan membingungkan pada level konsumen akhir," jelas Tauhid.
Di samping itu, menurut Tauhid, perbedaan tarif yang signifikan pada jenis barang tertentu berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di sisi produsen dan konsumen. "Nah, ini yang saya kira perlu dibicarakan lebih lanjut soal bagaimana rencana multi tarif ini diterapkan," imbuhnya. Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan butuh waktu cukup lama jika pemerintah ingin menerapkan skema multi tarif PPN. Sebab, pemerintah perlu merevisi undang-undang PPN yang telah ada saat ini.
"Kalau untuk menerapkan single tarif pemerintah tidak perlu repot-repot, hanya perlu menerbitkan PP saja. Naik langsung berapa persen. Dengan multi tarif setahu saya harus ada revisi UU yang lebih memakan waktu. Kecuali DPR oke-oke saja," tuturnya.
Ia juga menyoroti bagaimana efektivitas PPN multi tarif dalam mendorong penerimaan negara sekaligus menjaga daya beli masyarakat. "Bagaimana efektivitasnya jika terjadi layer yang cukup banyak, bagaimana pengawasannya, tingkat kepatuhannya, akan menjadi PR-PR baru lagi ini bagi pemerintah," tandasnya.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah mengkaji rencana kenaikan tarif PPN. Kepala Subdit (Kasubdit) Humas Direktorat P2P DJP Ani Natalia menuturkan skema pertama adalah tarif tunggal (single tarif). Artinya, hanya ada satu tarif yang berlaku untuk pungutan PPN.
Sementara skema lainnya yang tengah dikaji adalah PPN multi tarif. Ani menjelaskan, lewat skema multi tarif, akan terdapat perbedaan besaran tarif PPN. Untuk barang-barang dan jasa yang diperlukan orang banyak dan sifatnya kebutuhan, biasanya dikenai tarif PPN yang lebih rendah dibandingkan dengan barang dan jasa yang sifatnya bukan kebutuhan pokok.
Meski belum berlaku di Indonesia, ia menuturkan banyak negara di dunia yang telah menganut sistem PPN multi tarif. "Terkait PPN multi tarif, juga masih dalam kajian, dan tentunya perubahan tarif dari single tarif ke multi tarif harus melalui perubahan UU tentang PPN," terangnya.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) kontraproduktif alias bertentangan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional yang dicanangkan pemerintah. Ia khawatir kenaikan PPN akan menggerus daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
"Jadi, jelas tidak tepat. Itu kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi dan program yang pemerintah sudah lakukan selama ini untuk mendorong daya beli," ujarnya. Diketahui, pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus dan bantuan sosial (bansos) untuk mendongkrak daya beli masyarakat, mulai dari pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor, bebas pajak rumah, bansos dan bansos tunai, hingga kartu prakerja.
Namun, menurut Faisal, menaikkan PPN justru akan menekan konsumsi masyarakat. "PPN itu pajak yang diberikan dalam setiap transaksi, tidak peduli orang kaya atau miskin, akan kena. Jadi, merata ke semua rakyat, dan ini yang tidak tepat menurut saya," imbuh Faisal. Menurut dia, pemerintah tidak perlu terburu-buru menaikkan PPN. Boleh saja hal itu dilakukan demi mengurangi tekanan defisit anggaran, tetapi misalnya menunggu program pemulihan ekonomi berakhir.
Kalau pun pemerintah ingin menambal pendapatan yang bengkak akibat pandemi covid-19, ia menyarankan penerapan pajak progresif secara perorangan. Misal, menetapkan pajak penghasilan individu yang lebih besar kepada mereka yang memiliki penghasilan tinggi.
"Peluang terbesar untuk menarik pajak itu dari kalangan menengah ke atas, karena mereka pendapatannya meningkat saat sekarang. Justru itu strategi yang harus dilakukan," imbuh dia. Ekonom UI Telisa Falianty mengaku memahami keinginan pemerintah untuk menambal defisit yang melebar akibat membiayai penanganan pandemi.
Tapi, ia menilai masih ada cara lain. Misalnya, meningkatkan pajak digital dan digitalisasi sistem perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan. Apabila pemerintah ngoyo menaikkan PPN, ia khawatir konsekuensinya pemerintah akan dicap tidak konsisten dalam setiap kebijakannya. Setelah memberi insentif PPnBM dan PPh badan yang notabene pro masyarakat menengah atas, kini masyarakat kecil yang dipajaki lewat PPN.
Karenanya, sebaiknya pemerintah mengkaji lebih dalam mengenai wacana itu. "Ini yang kadang terlihat kurang konsisten. Komunikasi kebijakan ke publiknya perlu diperbaiki, masyarakat jadi bingung kok ini PPnBM diturunkan, tapi PPN naik?" ungkapnya.
No comments:
Post a Comment