Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, China tengah mengalami inflasi. Badan Statistik Nasional China menyatakan, inflasi pada Oktober 2021 Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI) melonjak 13,5%. Hal itulah yang menandakan inflasi di China tertinggi sejak 26 tahun lalu.
Lantas, apakah Indonesia akan ikut terkena inflasi tersebut? Pengamat Ekonomi dari Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengungkapkan RI juga akan terkena akibatnya. Menurutnya hal itu sulit dicegah.
"Pertama biaya produksi akan naik akibat kenaikan harga bahan bakar dan kedua dari impor bahan setengah jadi dari China. Indonesia masih mengandalkan banyak bahan setengah jadi dari China yang sekarang mengalami kenaikan cukup tajam," katanya kepada detikcom, Sabtu (13/11/2021).
Menurutnya, sudah diperkirakan sejak lama inflasi akan meningkat, bukan saja di China tapi juga di dunia. "Inflasi AS juga naik pesat, yang mana sebenarnya sudah diperkirakan sejak lama. Di China, cuaca buruk menambah masalah dan inflasi meningkat. Yang lebih dikhawatirkan adalah Kenaikan indeks harga produsen yang mana tidak tercermin di inflasi," tambahnya.
Dia menyebut, salah satu pemicu utama melonjaknya inflasi dunia adalah kenaikan harga bahan bakar yang cukup tinggi seperti BBM dan batu bara. Hal itu membuat biaya produksi naik. Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira juga menyatakan, inflasi di China dapat berpengaruh pada ekonomi RI dalam jangka pendek. Katanya, hal itu sudah menjadi rahasia umum. Karena jual beli barang di Indonesia sebagian merupakan hasil impor dari China.
"Inflasi di China bisa memiliki transmisi ke ekonomi di Indonesia dalam jangka pendek. Mahalnya harga kebutuhan pokok, bahan baku dan harga energi akan mempengaruhi harga jual barang-barang impor asal China," kata Bhima. Menurutnya, sedikit saja perubahan harga di tingkat produsen China maka harga yang akan sampai di tingkat konsumen Indonesia otomatis akan lebih mahal.
"Barang barang elektronik, pakaian jadi dan makanan jadi salah satu yang sensitif terhadap gangguan biaya produksi di China. Itu baru dari sisi barang impor ya," ujarnya. Kemudian, dampak yang lebih buruk bisa saja terjadi jika inflasi China mempengaruhi harga komoditas di Indonesia. Misalnya untuk komoditas seperti Gandum dan Jagung.
"Harga gandum dilansir dari Tradingeconomics terpantau naik 9,5% dibanding bulan lalu. Disusul jagung yang naik 8,5% pada periode yang sama bisa mempengaruhi harga pakan ternak. Masalah bertambah kompleks karena ada ancaman La Nina yang membuat produksi pangan dalam negeri menurun," pungkasnya.
Badan Statistik Nasional China menyatakan, data terbaru inflasi pada Oktober 2021 terlihat dari Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI) melonjak hingga 13,5%. Hal itulah yang menandakan inflasi di China tertinggi sejak 26 tahun lalu.
"Pada bulan Oktober, kenaikan PPI meluas karena kombinasi faktor global yang diimpor dan ketatnya pasokan energi dan bahan baku domestik utama," kata ahli statistik senior NBS Dong Lijuan dalam sebuah pernyataan, dikutip dari AFP, Sabtu (13/11/2021).
China juga menghadapi berbagai krisis yang berkaitan dengan inflasi. Tak hanya kasus COVID-19 yang kembali merajalela, negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu juga tengah menghadapi krisis properti, harga sayuran yang melambung tinggi, krisis energi hingga panic buying.
Dong Lijuan mengatakan, kenaikan harga sayuran hingga 16% pada Oktober lalu disebabkan karena curah hujan yang tinggi dan naiknya biaya transportasi. Dia mengatakan, cuaca ekstrem telah merusak tanaman dan pihak berwenang telah mengakui bahwa biaya transit lintas wilayah dapat meningkat imbas dari pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyebaran COVID-19 di China.
Harga bensin dan solar, kata Dong, naik lebih dari 30%. Krisis energi yang saat ini melanda berbagai negara juga merupakan kontributor utama kenaikan inflasi harga produsen, karena biaya penambangan dan pemrosesan batubara telah meningkat.
CNN Business pun melaporkan, biaya barang yang keluar dari pabrik-pabrik China pun melonjak drastis hingga mencetak rekor baru. "Kami khawatir tentang peralihan dari harga produsen ke harga konsumen," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom Pinpoint Asset Management yang berbasis di Hong Kong.
"Perusahaan berhasil menggunakan persediaan input mereka sebagai penyangga untuk menghindari beban biaya yang lebih tinggi kepada pelanggan mereka sebelumnya, tetapi (sekarang) persediaan mereka telah habis," sambungnya.
Meningkatnya inflasi China memicu kekhawatiran global. Inflasi produsen dengan harga yang melonjak akan mendorong tekanan inflasi global. Kepala Strategi Valuta Asing untuk Mizuho Bank mengatakan, hal itu terjadi karena mengingat peran China sebagai pabrik dunia dan termasuk dalam rantai pasokan global. Dia memprediksi kondisi tersebut akan terjadi selama musim dingin.
"Inflasi produsen juga mungkin tetap tinggi untuk sementara, kemungkinan sepanjang musim dingin," tuturnya. Dia menambahkan, harga energi juga dapat terus meningkat. Selain itu, pihaknya memperkirakan inflasi konsumen pun dapat terus merangkak naik
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan China pada pekan lalu mengeluarkan pemberitahuan agar pemerintah daerah mendorong masyarakat 'menimbun' makanan dan kebutuhan sehari-hari karena cuaca buruk, kekurangan energi, dan pembatasan COVID-19 mengancam akan mengganggu pasokan.
Peringatan tiba-tiba itu memicu panic buying di supermarket hingga e-commerce Alibaba. Pihak berwenang mengaitkan kenaikan inflasi konsumen ini dengan melonjaknya biaya sayuran dan gas.
China sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia tengah menghadapi inflasi yang disebabkan kenaikan harga sayuran, makanan eceran, krisis properti dan krisis energi. Inflasi yang terjadi di China merupakan tertinggi sejak 26 tahun lalu dan terus meningkat selama empat bulan terakhir.
Direktur Center of Economic and Law Studeis Bhima Yudhistira menyatakan, inflasi di China dapat berpengaruh pada ekonomi Indonesia dalam jangka pendek. Sudah menjadi rahasia umum, jual beli barang di Indonesia sebagian merupakan hasil impor dari China.
"Inflasi di China bisa memiliki transmisi ke ekonomi di Indonesia dalam jangka pendek. Mahalnya harga kebutuhan pokok, bahan baku dan harga energi akan mempengaruhi harga jual barang-barang impor asal China," kata Bhima.
Menurutnya, sedikit saja perubahan harga di tingkat produsen China maka harga yang akan sampai di tingkat konsumen Indonesia otomatis akan lebih mahal. "Barang barang elektronik, pakaian jadi dan makanan jadi salah satu yang sensitif terhadap gangguan biaya produksi di China. Itu baru dari sisi barang impor ya," ujarnya.
Dia melanjutkan, dampak yang lebih buruk bisa saja terjadi jika inflasi China mempengaruhi harga komoditas di Indonesia. Misalnya untuk komoditas seperti Gandum dan Jagung. "Harga gandum dilansir dari Tradingeconomics terpantau naik 9,5% dibanding bulan lalu. Disusul jagung yang naik 8,5% pada periode yang sama bisa mempengaruhi harga pakan ternak. Masalah bertambah kompleks karena ada ancaman La Nina yang membuat produksi pangan dalam negeri menurun," jelasnya.
Pihaknya menyarankan, agar pemerintah segera mengambil tindakan dengan memastikan stok pangan dalam negeri tercukupi. Sedangkan di sisi pengusaha, ia menyarankan untuk mulai mengamankan bahan baku atau mencari alternatif lain. "Jadi pemerintah harus siap sedia ya amankan stok pangan. Untuk pengusaha diminta amankan bahan baku atau cari alternatif yang lebih murah," katanya.
Ekonom Senior Indef Dradjad Wibawa menambahkan, China bisa 'mengekspor' inflasi ke seluruh dunia termasuk Indonesia karena perannya sebagai rantai pasok terbesar. Senada dengan Bhima, dia juga menilai harga-harga akan ikut terkerek naik.
"Apalagi, Indonesia masih defisit perdagangan dengan China. Efeknya Indonesia berisiko nebgalamu peningkatan inflasi dan harga-harga akan naik," ujarnya. Dia juga menuturkan, inflasi tersebut dapat berkaitan dengan investasi dan modal kerja di Indonesia. Meski begitu, perlu dikaji lebih mendalam terkait seberapa besar pengaruhnya dalam biaya modal.
"Indonesia sekarang semakin banyak memakai pembiayaan dari China. Inflasi di China bisa menaikkan cost of money dalam pembiayaan investasi dan modal kerja di Indonesia. Saya belum tahu seberapa besar, tapi yang jelas membuat biaya modal di Indonesia lebih mahal," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Badan Statistik Nasional China mencatat data terbaru inflasi di Oktober 2021 terpantau dari Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI) melonjak 13,5%. "Pada bulan Oktober, kenaikan PPI meluas karena kombinasi faktor global yang diimpor dan ketatnya pasokan energi dan bahan baku domestik utama," kata ahli statistik senior NBS Dong Lijuan dalam sebuah pernyataan, dikutip dari AFP.
Dong menambahkan, 36 dari 40 sektor industri yang disurvei mengalami kenaikan harga termasuk lonjakan harga pertambangan batubara dan ekstraksi minyak serta gas alam. Selain itu, Indeks Harga Konsumen atau Consumer Price Index (CPI), ukuran utama inflasi ritel, meningkat 1,5% pada Oktober atau naik 0,7% pada September. "Ini karena efek gabungan dari cuaca yang tidak biasa, ketidaksesuaian permintaan dan pasokan produk tertentu, serta kenaikan biaya modal," kata Dong.
No comments:
Post a Comment