Waralaba yang dikenal dengan sebutan sevel ini tadinya memiliki kekuatan pada konsep. Sevel hadir berbeda di tengah dominasi Alfamart, dan Indomaret serta Circle K. Di mana tidak hanya menjual produk, namun juga memberikan tempat untuk bersantai berupa kursi, meja hingga wifi. Pada 2011 lalu, memang baru 50 gerai yang tersedia, akan tetapi setahun kemudian meningkat menjadi dua kali lipat. Dua tahun kemudian, jumlah gerai sevel di Jakarta dan sekitarnya sudah mencapai 190 gerai.
Cepatnya progres bisnis sevel sempat membuat para kompetitor sulit bernafas. Pemain lama bahkan meniru cara sevel menyediakan fasilitas dengan sangat spesifik. Meskipun namanya berbeda. Ada juga pemain baru, seperti Lawson, Family Mart. Sayangnya ketika mendapatkan perlawanan, sevel hanya diam. Tidak ada sesuatu yang baru dimainkan sevel sejak awal kemunculan di Indonesia. Maka bukan suatu yang aneh bila kemudian lapak sevel disalip oleh kompetitor.
"Awalnya konsep itu milik sevel, tapi ditiru oleh yang lain dan sevel tidak ada perkembangan. Padahal dalam strategi bisnis ketika bisa mendapatkan momentum maka harus terus dikembangkan," jelasnya. Kondisi semakin buruk akibat regulasi pemerintah, salah satunya larangan penjualan alkohol di minimarket. Tertulis dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 6/MAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minol.
Pada sisi lain, ekonomi juga tengah dalam perlambatan. Sehingga kemampuan masyarakat untuk belanja juga berkurang. Kondisi ini yang memunculkan ungkapan banyak orang nongkrong di sevel tapi enggak jajan. Ujungnya, 30 gerai sevel ditutup. Kesalahan lain dari sevel adalah tidak main di luar Jabodetabek. Indomaret, kata Djoko yang meniru konsep sevel melalui nama Indomaret Point justru sekarang lebih berkembang pesat.
"Konsep sevel sudah disamai oleh Indomaret Point. Bahkan lebih bagus karena berani main sampai ke daerah-daerah," terangnya. Bisnis waralaba 7-Eleven alias Sevel di Indonesia diakuisisi oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI). Sevel yang berupakan pemain bisnis ritel asal Amerika Serikat (AS) itu dikabarkan mengalami kerugian bertahun-tahun.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N Mandey, menilai bahwa kerugian yang dialami Sevel adalah hal yang wajar. Saat ini bisnis ritel di Indonesia sedang mengalami masa sulit, bukan hanya Sevel saja yang megap-megap.
"Kami melihat ini adalah suatu keniscayaan, siapapun bisa mengalami hal demikian. Terutama ketika suasana under perform, bisnis ritel sekarang sedang tidak perform, semua jenis retail. Baik inimarket, supermarket, hypermarket, department store, maupun kulakan. Jadi tidak hanya terjadi di 7-Eleven, tapi bisnis ritel secara keseluruhan," kata Roy saat ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Kamis (26/4/2017).
Roy menuturkan, pada 4 bulan pertama tahun 2017 ini industri ritel mengalami penurunan penjualan hingga 15% dibanding periode yang sama tahun lalu. Ada sentimen negatif yang membuat konsumsi masyarakat turun. "Di kuartal pertama ini bisnis ritel mengalami penurunan 10-15 persen dibanding year on year tahun 2016. Kenapa? Ada sentimen masyarakat terhadap situasi yang tumbuh dan berkembang saat ini," ungkapnya.
Meski secara makro perekonomian Indonesia masih bagus, ada faktor-faktor di luar ekonomi yang berdampak pada perilaku konsumen, tidak bisa ditangkap oleh perhitungan-perhitungan statistik. Misalnya kegaduhan politik, paket deregulasi yang belum dirasakan masyarakat, dan sebagainya. Menurut Roy, hal-hal ini ternyata membuat masyarakat mengurangi belanjanya. Inilah yang membuat penjualan di gerai-gerai ritel turun, termasuk di Sevel.
"Secara makro ekonomi kita bagus. Rasio gini turun, kemiskinan turun, ease of doing business makin mudah, inflasi terjaga, apa yang terjadi? Mikronya yang jelek, ada faktor intangible, tidak bisa diukur dengan statistik. Faktor intangible itu yang disebut sentimen. Misalnya sentimen terhadap kegaduhan politik. Itu membuat masyarakat memilih untuk lebih baik menabung, mengalihkan uang yang biasanya dikonsumsi dengan aset seperti emas," paparnya. "Sentimen negatif juga terjadi karena masyarakat secara umum melihat paket-paket deregulasi belum terlaksana. Masyarakat enggak merasakan," Roy mengimbuhkan.
Para pelaku bisnis ritel telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan penjualan. Mulai dari pemberian diskon, promosi, efisiensi, peluncuran produk-produk baru, hingga menjual kepemilikannya kepada investor lain. Langkah inilah yang diambil Sevel. "Ketika under perform, semua hal bisa terjadi. Perlu efisiensi, kreativitas, produk baru, segmen baru, dan hal-hal yang berkaitan dengan produktivitas. Kemudian juga aliansi strategis sampai kerja sama dengan peritel lain, investor lain, sampai dengan akuisisi," ucapnya.
Agar ritel lain tak tertimpa nasib buruk seperti Sevel, Roy meminta pemerintah membuat kebijakan yang dapat meringankan beban peritel di tengah lesunya konsumsi masyarakat, misalnya dengan pemberian diskon tarif listrik. "Tidak bisa hanya peritel saja, pemerintah sebagai regulator juga harus membantu. Misalnya kenapa industri manufaktur bisa diberi diskon tarif listrik, kenapa untuk peritel tidak bisa? Listrik bisa sampai 40 persen biaya. Keberpihakan terhadap pasar modern juga harus ada, bukan hanya pasar tradisional yang harus dimajukan," tutupnya.
Bisnis waralaba 7-Eleven alias di Indonesia diakuisisi oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI). Bisnis asal Amerika Serikat (AS) itu dikabarkan mengalami kerugian bertahun-tahun. Lantas, bagaimana sebenarnya kondisi persaingan bisnis waralaba di Indonesia? Ketua Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), Levita Supit, mengakui kondisi persaingan bisnis waralaba di Indonesia memang cukup tinggi. Namun, hal itu masih dinilai wajar terjadi di dunia bisnis.
"Contohnya seperti Alfamart dan Indomart, posisi mereka selalu berdekatan. Padahal bisnisnya sama. Sekarang pun enggak cuma Alfamart Indomart, sekarang McD dan KFC juga sebelah-sebelahan," katanya. Ia mengatakan, hal itu terjadi karena setiap pelaku bisnis berupaya untuk mengambil pangsa pasar lawan bisnisnya.
"Mereka itu bersebelahan, karena biasanya persaingan tempat, harga, jadi saling mematikan. Tentu yang namanya bisnis, kalau melihat bisnis lain sukses, jenis bisnis lain akan mencoba merebut pasar dari bisnis lain," kata dia. Maka dari itu, Levita mengatakan, setiap pelaku usaha harus memiliki inovasi dalam menjalankan bisnisnya supaya bisa tetap eksis dan bisa berkembang.
"Itu wajar saja ya, namanya juga persaingan. Sehingga mengharuskan mereka lebih kreatif, dan bisnisnya bisa berjalan baik," pungkas Levita. Sevel sendiri bukan jugapetarung yang buruk. Sejak kemunculan di Indonesia,sevel begitu melejit sekitar 2010. Bahkan banyak waralaba yang serupa meniru konsep darisevel, yaitu toko sekaligus tempat bersantai.
Akan tetapi, menurut Levita produk yang ditawarkan cenderung monoton. Sehingga tak mampu mempertahankan pasar yang sudah ada. "Awal-awal dia enggak rugi kok. Dimana-mana kita lihat ramai, sehingga konsep 7-Eleven itu pun di ambil juga oleh pihak lain yang akhirnya mereka bikin kursi (tempat) juga. Orang mengganggap bahwa konsep mereka sukses," terangnya
"Jadi sebenarnya awalnya 7-Eleven itu sukses. Tapi di kemudian hari kenapa mereka bisa rugi mungkin karena mereka kurang kreatif menciptakan produk-produk baru," tukasnya. Menko Perekonomian Darmin Nasution turut menyaksikan perkembangan bisnis ritel di dalam negeri, seperti 7-eleven alias sevel. Darmin pun angkat bicara terkait persoalan yang dihadapi oleh sevel.
Bisnis sevel diketahui tengah menurun. Dalam dua tahun terakhir menderita kerugian yang cukup besar sampai berujung pada akuisisi oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) dari PT Modern Internasional Tbk. Akuisi tersebut menurut Darmin menunjukkan potensi ritel di dalam negeri sangat besar. Meskipun ada beberapa langkah bisnis yang perlu dievaluasi agar tidak turun.
"Sekarang sevel dibeli pula oleh konglomerat. Bisnis ritel modern kita adalah salah satu perkembangan yang paling cepat di dunia. Luar biasa sekali," ungkapnya di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Kamis (27/4/2017). Besarnya potensi merupakan dampak dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa. Apalagi kelas menengah penduduk Indonesia terus tumbuh.
"Intinya adalah ini semua adalah kombinasinya, kita ingin transformasi struktural berjalan dengan kualitas terbaik," terang Darmin.