Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) buka suara perihal aturan batas tarif angkutan yang disediakan oleh layanan taksi darin (online) di Indonesia. Menurut Hipmi, seharusnya pemerintah melalui Kementerian Perhubungan tidak perlu mengeluarkan aturan yang membatasi besaran tarif. Aturan tersebut justru dinilai mempersulit industri kreatif berkembang di Indonesia.
"Kita khawatir, revisi ini hanya akan menjadi pintu masuk pihak-pihak tertentu yang bisnisnya konvensional untuk memberangus inovasi di industri kreatif," ujar Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan BPP Hipmi Anggawira dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/4).
Menurut Anggawira, sebaiknya Kemenhub tidak perlu menetapkan tarif batas bawah taksi online lewat revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Perubahan PM Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Dalam beleid tersebut tertuang setidaknya 11 Poin aturan taksi online yang mengalami revisi diantaranya penetapan tarif batas bawah dan tarif batas atas. Anggawira menilai tarif tersebut sebaiknya diserahkan saja ke mekanisme pasar. Sebab dengan persaingan tersebut, justru konsumen yakni masyarakat luas juga yang diuntungkan.
"Pandangan Hipmi jelas. Tarif transportasi, utamanya online itu, tidak perlu diatur-aturlah. Serahkan saja ke mekanisme pasar. Mereka yang tidak kompetitif dan tidak mau melakukan inovasi dan menolak model bisnis terbaru ya memang harus tersingkir. Ini kan sudah eranya persaingan terbuka," ujar Anggawira.
Anggawira mengatakan, meski tarifnya sangat terjangkau, pelayanan angkutan online sejauh ini sangat bagus dan nyaman. "Sebab itu, pengaturan ini akan menjadi disinsentif bagi taksi online," jelasnya. Dia mengatakan, inovasi yang menguntungkan dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional semestinya didukung. "Kita tidak tolak pengaturan tapi jangan sampai dibikin sulit dan dihambat, lalu melemahkan daya saing angkutan nasional kita," ungkap Anggawira.
Anggawira mengingatkan, 11 poin penting aturan taksi online yang direvisi oleh pemerintah semangatnya untuk justru mempersulit dan meningkatkan biaya investasi serta biaya operasional taksi online. "Misalnya ada kewajiban memiliki pool, bengkel, STNK atas nama perusahaan dan sebagainya. Ini jelas-jelas semangatnya mempersulit dan mau menyamakan dengan taksi konvensional," terangnya.
"Kita khawatir sektor lain juga diberangus juga dengan regulasi nanti oleh pelaku usaha konvensional misalnya finansial teknologi, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Kreatifitas anak-anak muda jadi mati," tegas Anggawira. Sebab itu, Hipmi meminta Kemenhub tidak perlu melakukan revisi aturan yang sifatnya memberangus industri kreatif. "Apalagi bisnis-bisnis online atau daring ini banyak melibatkan anak-anak muda. Tentu ini merisaukan anak-anak muda. Mereka takut berkreasi sebab regulasi ke depan bisa memberangus mereka. Kita minta Kemenhub kaji ulang, serahkan saja ke pasar," pungkasnya.
Polemik transportasi berbasis aplikasi daring memasuki era baru. Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 sebagai payung hukum bagi layanan tersebut yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi akan diberlakukan per 1 April 2017 nanti. Transportasi daring dianggap menggerus pendapatan moda transportasi konvensional yang tidak inovatif dan tidak efisien sehingga menimbulkan berbagai penolakan. Pelaku transportasi konvensional menuntut pemerintah juga mengatur transportasi daring demi keadilan dan kesetaraan dalam bisnis transportasi.
Dari tinjauan utilitarianisme, keberadaan transportasi daring sebenarnya mampu meningkatkan utilitas sosial-ekonomi di masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Deloitte pada 2015 menunjukkan bahwa keberadaan transportasi berbasis aplikasi online telah memangkas biaya transaksi (transactional cost) serta memangkas ekonomi biaya tinggi dan secara tidak langsung ikut mendukung program presiden dalam menghapus hambatan dalam berbisnis.
Pengguna diuntungkan dengan tidak dibebani biaya-biaya yang sebenarnya tidak berhubungan dengan penggunaan jasa secara langsung, biaya operasional bengkel dan pangkalan misalnya maupun tingginya margin laba yang diambil oleh perusahaan taksi konvensional. Pengemudi pun diuntungkan dengan penghematan BBM karena tidak perlu berputar-putar mencari penumpang.
Selain itu, masih dari penelitian yang sama, transportasi daring terbukti menurunkan waktu tunggu yang diperlukan pengguna jasa transportasi menjadi 4,46 menit. Dibandingkan waktu tunggu untuk transportasi konvensional sebesar 7,79 menit.
Transportasi daring mengurangi asimetris informasi antara pengemudi dengan pengguna layanan. Penggunaan peta digital sebagai acuan penentuan tarif dengan berdasarkan estimasi jarak, memberikan kepastian bagi pengguna layanan. Dengan demikian, ini memperkecil peluang moral hazard pengemudi.
Manfaat sosial-ekonomi dari transportasi daring ini semakin terasa dengan fakta bahwa bisnis ini turut membantu menyerap tenaga kerja. Sampai awal 2017, jumlah mitra yang bergabung dengan Go-Jek saja (belum ditambah Grab dan Uber) telah mencapai angka 250 ribu orang di seluruh Indonesia. Belum lagi ditambah kenaikan dari utilitas kendaraan. Kendaraan yang selama ini menganggur dapat dimaksimalkan utilitasnya oleh pemilik kendaraan dengan dioperasikan sebagai transportasi daring. Kenaikan pendapatan (dan daya beli) pemilik kendaraan nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dengan segala kemudahan yang ditawarkan, ini tentunya membuat konsumen beralih dari transportasi konvensional ke transportasi daring. Hal tersebut kemudian menimbulkan kesenjangan dalam bisnis transportasi. Pemerintah lalu menerbitkan Permenhub Nomor 32 Tahun 2016. Sayangnya, aturan itu dianggap tidak lebih dari sekadar usaha mengkonvensionalkan transportasi online. Meski telah dilakukan dua kali uji publik, peraturan ini masih menimbulkan kontroversi. Beberapa poin dalam aturan yang diteken Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi justru dianggap kontraproduktif dan semata-mata menguntungkan perusahaan transportasi konvensional.
Poin-poin tersebut di antaranya, pertama, keharusan penggunaan nama perusahaan pada surat tanda nomor kendaraan (STNK) kendaraan yang dioperasikan. Poin ini tidak relevan dengan bisnis transportasi daring. Dalam transportasi daring, perusahaan dalam hal ini provider hanya berperan sebagai penghubung antara pemilik kendaraan dengan pengguna. Risiko kendaraan berikut perawatannya tetap berada pada pemilik kendaraan.
Balik nama kendaraan kepada provider tidaklah relevan karena konsep ride sharing yang ditawarkan oleh bisnis ini, sesuai namanya berbagi tumpangan, hanya sekedar mempertemukan antara pemilik kendaraan sebagai pemberi tumpangan dengan pengguna layanan sebagai penumpang. Kedua, terkait penerapan kuota kendaraan. Tampak jelas pada poin ini, pemerintah mempengaruhi pasar transportasi dari sisi penawaran. Alasannya untuk menjaga keseimbangan permintaan dan ketersediaan dari layanan transportasi daring dengan transportasi konvensional. Padahal, pasar sebenarnya akan jauh lebih efisien tanpa adanya pengaruh pada penawaran maupun permintaan.
Kebijakan pembatasan kuota ini, justru terlihat sebagai usaha pemerintah untuk mempertahankan “kelangkaan” transportasi. Dampak kelangkaan tersebut adalah harga yang relatif tinggi dibandingkan jika permintaan dan penawaran menemukan keseimbangannya sendiri tanpa intervensi. Dari sisi tenaga kerja, pembatasan kuota akan berakibat pada terbatasnya jumlah tenaga kerja yang diserap. Konsumen tentunya dirugikan dengan kelangkaan ini terkait dengan waktu tunggu layanan yang pasti akan bertambah.
Ketiga, terkait penentuan harga atas-bawah yang diatur dengan peraturan daerah setempat. Transportasi daring diwajibkan menerapkan harga pada rentang yang sama dengan transportasi konvensional. Padahal jelas kedua jenis bisnis ini memiliki proses bisnis yang berbeda. Perusahaan transportasi konvensional perlu membuat pangkalan, biaya perawatan, dan operasional kantor lainnya sehingga biaya-biaya tersebut nantinya ikut ditanggung oleh konsumen. Sebaliknya, layanan transportasi online jauh lebih efisien karena konsumen tidak diperlukan biaya-biaya tambahan tersebut.
Kebijakan penentuan harga dengan peraturan daerah cenderung menguntungkan perusahaan transportasi konvensional karena dalam proses penetapan tarif angkutan peranan perusahaan lebih besar daripada konsumen dan pemerintah daerah. Dan lagi-lagi, yang dirugikan adalah konsumen yang diharuskan membayar dengan tarif lebih tinggi dibandingkan harga yang ditawarkan oleh transportasi daring selama ini.
Memang benar, di era pasar bebas seperti sekarang, pemerintah perlu turut campur untuk menanggulangi kesenjangan dan menciptakan keadilan. Namun, kebijakan tersebut seharusnya tidak melulu harus memperlakukan segala sesuatu secara sama, untuk dua hal yang sebenarnya berbeda. Sudah sepatutnya kebijakan yang dibuat lebih berorientasi kepada yang memberikan kontribusi lebih banyak ke masyarakat.
Hal ini senada dengan kajian utilitarianisme, inovasi transportasi daring yang kehadirannya lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan biaya sosial ekonomi harus didukung. Yang seharusnya dilakukan adalah memperluas manfaatnya bukan malah mengekangnya. Integrasi transportasi konvensional dengan transportasi daring dapat dilakukan untuk memperluas manfaat sekaligus menutup kerugian yang timbul.
Kolaborasi yang dilakukan oleh Blue Bird dengan Go-Jek serta Express dengan Uber dapat dijadikan contoh sukses pada jenis angkutan taksi. Blue Bird dan Express menjadi mitra Go-Jek dan Uber dalam menyediakan kendaraan sekaligus pengemudi. Utilitas kendaraan dan tenaga kerja yang dimiliki taksi konvensional meningkat karena pada saat idle dapat dihubungkan dengan calon pengguna layanan yang memesan melalui aplikasi. Dengan sistem ini, semua pihak diuntungkan. Konsumen memperoleh layanan dengan cepat karena supply yang melimpah, Go-Jek dan Uber mendapatkan tambahan armada dalam skala yang besar, perusahaan taksi dan pengemudi tentunya memperoleh peningkatan pendapatan.
Keberhasilan sistem ini ditunjukkan dengan kenaikan harga saham kedua perusahaan tersebut. Sejak bergabung dengan Go-Jek pada awal Februari 2017, harga saham Blue Bird cenderung naik. Jika harga pada akhir Januari 2017 berkisar di angka 2.780, harga tersebut meroket hingga menembus angka 4.000 pada Maret.
Meskipun mungkin ada banyak faktor yang mempengaruhinya, tidak bisa dipungkiri kolaborasi dengan Go-Jek merupakan salah satu faktor dominan dalam peningkatan proyeksi pasar dan keyakinan analis keuangan atas kinerja keuangan Blue Bird di masa depan. Pemerintah dapat melakukan mediasi dan imbauan kolaborasi seperti di atas pada skala yang lebih besar. Perusahaan-perusahaan taksi di level daerah dianjurkan untuk menjadi mitra seiring invasi layanan transportasi daring ke daerah, alih-alih melakukan demonstrasi penolakan. Pendekatan yang sama dapat pula diterapkan untuk ojek pangkalan.
Untuk transportasi konvensional jenis angkot dan bis umum, perlu dicermati bahwa penurunan penggunaannya oleh masyarakat bukan semata-mata diakibatkan dengan adanya transportasi daring tetapi juga dari buruknya pelayanan yang diberikan. Faktor ketidakprofesionalan, keamanan, dan kenyamanan masih menjadi masalah besar yang menyebabkan keengganan konsumen dalam menggunakan jenis transportasi tersebut. Padahal dengan jangkauan jarak yang lebih jauh, tarif yang dikenakan jauh lebih murah dibandingkan transportasi daring.
Masih banyaknya kejahatan di angkutan umum, supir yang ugal-ugalan, armada yang tidak layak, serta kebiasaan “ngetem” memerlukan pembenahan yang lebih sistimatis. Solusinya dengan akuisisi operator angkot oleh perusahaan daerah sekelas BUMD yang khusus mengurusi transportasi. Dengan membentuk perusahaan atau konsorsium di tingkat daerah, pengelolaan angkutan umum akan lebih terfokus dan profesional serta lebih memahami kebutuhan daerah setempat. Pemodalannya dapat diambilkan dari penyertaan modal oleh perusahaan-perusahaan setempat karena problem transportasi erat kaitannya dengan kemajuan suatu daerah.
No comments:
Post a Comment