Sunday, April 23, 2017

Sevel Akhirnya Dijual Senilai 1 Triliun Rupiah Pada Charoen Pokphand

Waralaba yang sempat melejit di tanah air, 7-Eleven harus beralih kepemilikan dari PT Modern Sevel Indonesia (MSI) kepada PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang merupakan entitas dari PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk. Hal ini ditandai dengan penandatanganan akusisi oleh kedua belah pihak pada 19 April 2017.

Sevel sepakat dialihkan dengan nilai transaksi sebesar Rp 1 triliun. Nilai transaksi melebihi dari 50% dari nilai ekuitas perseroan per 31 Desember 2016. Transaksi rencananya akan diselesaikan pada tanggal 30 Juni 2017 dengan beberapa syarat persetujuan korporasi lewat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), instansi pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kreditur hingga 7-eleven Inc.

7-Eleven alias sevel adalah waralaba yang bergerak pada segmen bisnis restoran dan convenience store. Peralihan yang cukup mengejutkan, karena terjadi ketika waralaba tersebut tengah dalam situasi menurun. Dituliskan dalam keterbukaan informasi tersebut, bahwa sevel sudah mengalami kerugian pada beberapa tahun akhir karena persaingan pasar yang tinggi serta. Sementara pengembangan bisnis memerlukan modal yang besar.

Sempat ditelusuri perkembangan bisnis tersebut di Jakarta. Ditemukan beberapa gerai tutup. Ada berbagai isu yang sempat menjadi indikasi, seperti larangan penjualan alkohol hingga aktivitas nongkrong enggak jajan.

Corporate Secretary 7-Eleven Tina Novita mengkonfirmasi hal tersebut pada awal tahun. Ia menyebutkan bahwa ada penutupan 30 gerai akibat rugi, seiring dengan biaya operasional yang membengkak tak sesuai pendapatan. Penurunan bisnis terjadi sejak 2015, ketika ekonomi nasional juga memang sedang melemah khususnya pada komponen daya beli masyarakat. Di samping itu ada larangan penjualan minuman beralkohol pada 17 April 2015.

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minol. "Salah satunya minuman beralkohol itu dilarang jadi penjualannya berkurang, penurunan pembelian snack-snack seperti kacang-kacangan juga, dan sebagian karena untuk toko-toko yang performanya turun dia tidak bisa bayar listrik. Supaya kita tidak terlalu rugi banyak, mau tidak mau tutup," ujar Tina.

Tiga puluh gerai 7 eleven tutup sejak awal tahun 2017. Salah satu penyebabnya adalah tidak seimbangnya antara beban operasional dan pemasukan yang diterima. Banyaknya pengunjung yang nongkrong tak berarti banyak barang yang laku dibeli. 7 eleven memang didesain untuk market anak muda yang suka nongkrong. Akan tetapi, masalahnya banyak anak muda yang nongkrong ini hanya jajan sedikit, tetapi menghabiskan waktu yang lumayan lama.

"Karena Sevel sudah disetting sedemikian rupa untuk remaja yang beli satu barang bisa belanja berjam-jam. Memang target market mereka itu di situ tapi apakah target market itu bagus untuk kelangsungan hidup perusahaan, konsep itu yang terjadi," ujar Wakil Ketua Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta.

Kemudian, ada pula faktor beban biaya listrik dari penggunaan AC, wifi, dan biaya sewa tempat yang harus ditanggung pemilik toko ketika pengunjung memakai fasilitas tersebut. Apabila lebih besar pengeluaran daripada pendapatan, maka perusahaan bisa merugi. "Bisa saja antara income orang nongkorong itu dengan biaya yang dikeluarkan tidak imbang. Intinya antara in dan out itu kalau tidak bagus makanya itu mungkin tutup. Tapi kalau in atau omzet bagus ngapain tutup, pengeluaran atau out itu listrik wifi, sewa tempat, imbang tidak," ujarnya.

Ia mengatakan, bisa saja di gerai tersebut terdapat konsumen yang berbelanja. Akan tetapi, tidak menutup cost yang dikeluarkan perusahaan untuk membayar bebannya sehingga bisa saja mengevaluasi untuk menutup atau memindahkan ke lokasi yang lebih strategis. "Kita ini bisa hidup kalau antara in (pemasukan) dan out (pengeluaran) kita seimbang, antara uang masuk dan keluar itu seimbang harus ada profitnya. Nah sekarang itu daya beli tidak bagus-bagus sekali sedangkan cost itu makin tinggi. Itu menyebabkan beberapa teman-teman retailer mengeluhkan hal itu," ujar Tutum.

Selain itu, terdapat perbedaan konsep strategi antara Sevel dengan usaha sejenis lain dan minimarket lainnya. Misalnya pemilihan market di lokasi yang lebih mahal daripada yang lain.  Lalu, ada perbedaan strategi bisnis lainnya antara minimarket dengan usaha konvensional dengan convinience store sperti Sevel.

Misalnya jika minimarket konvensional menyiapkan barang-barang kebutuhan rumah tangga, tetapi Sevel atau sejenisnya memang ditargetkan untuk market anak muda yang suka nongkrong dengan belanja yang sedikit tapi ngongkrong berlama-lama. Barang yang dibeli pun hanya berbelanja untuk keperluan di tempat saja tidak ada yang dibawa pulang.

"Misal ibu-ibu ada tidak yang belanja di Sevel untuk membeli keperluan sehari-hari jadi dia beli ke minimarket, beda target konsumennya. Karena Sevel sudah disetting sedemikian rupa untuk remaja yang beli satu barang bisa belanja berjam-jam. Memang target market mereka itu di situ tapi apakah target market itu bagus untuk kelangsungan hidup perusahaan, konsep itu yang terjadi," ujarnya.

Kemudian, ada pula faktor beban biaya listrik, wifi, dan biaya sewa tempat yang harus ditanggung pemilik toko. Apabila lebih besar pengeluaran daripada pendapatan, maka perusahaan bisa merugi. "Bisa saja antara income orang nongkorong itu dengan biaya yang dikeluarkan tidak imbang. Intinya antara in dan out itu kalau tidak bagus makanya itu mungkin tutup. Tapi kalau in atau omzet bagus ngapain tutup, pengeluaran atau out itu listrik wifi, sewa tempat, imbang tidak," ujarnya.

Ia menyebut bisa saja ada konsumen yang datang tapi tidak menutup biaya yang harus dikeluarkan pemilik toko. Atau bisa saja salah satunya akibat pelarangan minuman beralkohol dijual di tokonya mengurangi omzet penjualan karena selama ini turis atau pembeli mencari minuman beralkohol di konvinion.

"Bisa saja orang lagi bisnis kan. Ada salah satu yang mendorongnya adalah minuman beralkohol itu tidak boleh jual, kan selama ini orang beli minuman beralkohol hanya di convinion itu. Untuk orang nongkrong atau tempat tertentu kan lebih gampang di sana. sekarang turis mau belanja dimana, kebiasaan orang itu kan beli di convinience kalau minuman beralkohol itu walaupun tidak minum di tempat ya di bawa pulang, sekarang kan tidak ada, omzetnya hilang. Nah bisa saja faktor itu," ujarnya.

Sebanyak 30 gerai 7 Eleven ditutup pada awal tahun 2017 ini. Akibatnya, Sevel harus mengurangi sejumlah karyawan yang bekerja di toko yang tutup. "Ada pengurangan karyawan di 30 gerai yang tutup," ujar Corporate Secretary PT Modern Putra Indonesia, Tina Novita,.

Meski begitu, dia tidak menyebutkan berapa jumlah karyawan yang terkena dampak penutupan ini. Menurutnya, setiap toko memiliki jumlah karyawan yang berbeda-beda, hal ini tergantung dari besar atau kecilnya toko yang dibuka. "Tergantung besar kecilnya gerai, ada yang gerai besar, menengah, dan kecil jumlah kecil. Kalau toko yang kecil jumlah karyawan sekitar 5-7 orang, kalau yang besar sekitar 9-12 orang," kata Tina.

Seperti diketahui, Sevel mengalami penurunan pendapatan salah satunya karena pelarangan minuman beralkohol di mini market yang terjadi sejak 2015 lalu. Selain itu faktor perlambatan ekonomi, daya saing yang tinggi, dan daya beli konsumer juga menjadi faktor lain. Daripada perusahaan terus mengalami kerugian karena harus membayar biaya operasional karena listrik, dan sewa tempat akhirnya perusahaan melakukan evaluasi lokasi yang strategis. Beberapa toko yang harus tutup itu karena sewanya akan tutup tahun ini ditambah pertimbangan pendapatan yang tidak mencapai target.

Ada pula toko yang harus pindah lokasi karena sewanya tidak dapat diperpanjang akibat pemiliknya melakukan pengembangan di lokasi itu. Nantinya jika ada perbaikan situasi ekonomi, perusahaan akan mengavaluasi untuk melakukan ekspansi. "Itu merupakan hal yang wajar, resiko bisnis seperti itu, nanti pada saat ekonomi membaik kita akan mengevaluasi untuk melakukan ekspansi," ujar Tina.

No comments:

Post a Comment