Perusahaan kosmetik raksasa L'oreal resmi menjual The Body Shop kepada perusahaan kosmetik asal Brazil, Natura Cosmeticos. Penjualan perusahaan kosmetik ritel tersebut mencapai satu miliar euro atau sekitar Rp15 triliun (kurs Rp14.948 per Euro).
Dikutip dari Reuters pada Selasa (27/6), penandatangan perjanjian jual beli tersebut dilakukan setelah manajemen L'oreal memperoleh masukan dari Dewan Pekerja L'Oreal (L'oreal's Works Council). Rencana penjualan Body Shop sendiri sudah diumumkan secara resmi oleh perusahaan sejak 9 Juni lalu.
Penjualan Body Shop dilakukan L'oreal seiring mulai menurunnya bisnis perusahaan tersebut. Body Shop didirikan oleh pengusaha asal Inggris, Anita Roddick dan menjadi pionir bagi produk kosmetik berbahan dasar alami tanpa pengujian pada hewan.
Namun, bisnis Body Shop saat ini mulai tergerus seiring dengan banyak bermunculannya produk sejenis.
Tuesday, June 27, 2017
Saturday, June 24, 2017
Analisa Bisnis Merugi dan Bangkrutnya Sevel 7-Eleven
PT Modern Sevel Indonesia (MSI) telah mengibarkan bendera putih dalam mengelola serta mengembangkan 7-eleven (Sevel) di Indonesia. PT Modern International Tbk (MDRN) selaku induk usaha mengumumkan penutupan seluruh gerai sevel di Indonesia per 30 Juni 2017.
Menurut Akademisi dan Praktisi Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali mengatakan, lebih dikarenakan tidak pahamnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dengan bisnis model yang diterapkan oleh Sevel. Rhenald menceritakan, Sevel masuk ke Indonesia melalui generasi ke-3 Modern Internasional yang mendapat lisensi dengan bisnis model yang baru, yaitu menjadi lokasi berkumpul atau sosialisasi masyarakat.
Sayangnya bisnis modelnya ini tidak dipahami oleh regulator, karena regulator lebih banyak berpihak pada pebisnis lama dan alergi terhadap inovasi seperti yang terjadi pada Low Cost Air Carrier yang dihambat oleh regulator dengan alasan keselamatan demi menjaga Garuda Indonesia dari kerugian masif atau pada Taksi online yang dihambat dengan aturan agar para pemain lama dibisnis ini tidak gulung tikar kerena kurang inovasi dan mengambil laba yang tebal.
Bisnis model yang dikembangkan Sevel juga sempat menjadi pemberitaan halaman depan media di Amerika Serikat, yang pada saat bersamaan juga memberikan dampak kepada ritel-ritel yang sudah eksis lebih dahulu di Indonesia. "Itu tidak dipahami regulator, jadi gagalnya sevel di Indonesia itu pertama itu karena regulator tidak merestui mereka," ungkap dia.
Dia melanjutkan, saat masih segar-segarnya Sevel menginjak di Indonesia, pihak Kementerian Perdagangan langsung melakukan razia dengan mempertanyakan bisnis yang dijalankan ini untuk izin ritel atau restoran. Sebab, aturan di Indonesia sendiri belum ada yang memfasilitasi bisnis model seperti Sevel.
"Ruang geraknya Sevel itu sudah diteror regulasi pada zaman itu. Jadi dia dipersulit, padahal ini tempat anak muda nongkrong, bukanya 24 jam berada di kisaran Ibu Kota dengan cepat dia menciptakan lapangan pekerjaan, karena dia membikin nasgor, sosis, itu sampai mereka punya pusat pasokannya sendiri, dan mempekerjakan sekitar 2.500 karyawan," jelas dia.
Selain tidak pahamnya pemerintah, masalah selanjutnya juga banyaknya organisasi masyarakat (ormas) yang menekan manajemen Sevel untuk memberikan jatah parkiran. "Muncul kelompok ormas yang menekan mereka, karena mereka minta jatah parkir, karena anak muda kumpul banyak, parkirannya menarik," kata dia.
Masalah selanjutnya, kata Rhenald, adanya tindakan yang tidak adil dari pemerintah kepada Sevel atau minimarket lainnya. "Karena supermarket itu diizinkan untuk menjual minuman beralkohol yang di bawah 5% misalnya bir, tiba-tiba dikatakan mereka tidak boleh jual bir, karena bukan supermarket," tutup dia. Ramainya gerai 7-eleven (Sevel) di Indonesia lantaran konsep bisnisnya yang memanjakan anak-anak muda untuk bisa berkumpul, bersosialisasi sambil jajan.
Bisnis konsep yang diterapkan PT Modern Sevel Indonesia (MSI) ini juga menjadi yang pertama diterapkan oleh riteler di Indonesia. Ritel yang sudah lebih eksis hanya sebagai toko berbelanja pada umumnya. Di mana, masyarakat berbelanja lalu kemudian keluar.
"Misalnya, Alfa sama Indomaret itukan orang datang tidak nongkrong, ambil belanja terus keluar, jadi tidak perlu tempat duduk, kalau sevel tempat anak muda nongkrong itu tempatnya sosialisasi, ada minuman, ada kopi, makanan, tapi itu semua hancur sama regulator," kata Akademisi dan Praktisi Bisnis dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali Jakarta, Sabtu (24/6/2017).
Sevel hadir di Indonesia sejak 2009. Kala itu MSI membuka gerai pertama Sevel di Bulungan, Jakarta dengan konsep 'Food Store Destination'. Bisnis model yang diterapkan oleh Sevel ini juga membuat produk turunan menjadi yang paling laku, seperti makanan-makanan ringan, minuman, serta rokok, dan hal ini juga yang membuat sebagian minimarket sulit bersaing.
Pada 2011 lalu, memang baru 50 gerai yang tersedia, akan tetapi setahun kemudian meningkat menjadi dua kali lipat. Dua tahun kemudian, jumlah gerai sevel di Jakarta dan sekitarnya sudah mencapai 190 gerai. Namun, setelah tidak didukung oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam mengembangkan bisnis model anak nongkrong ini membuat PT Modern International Tbk (MDRN) selaku induk usaha mengumumkan akan menutup seluruh gerai sevel di Indonesia per 30 Juni 2017.
"Minimarket itu 60% pendapatannya dari 100% dari situ kalau tempat anak muda berkumpul, tapi Sevel itu mengalami kesulitan karena birokrat dan regulator yang tidak paham tentang bisnis model. Bisnis model itukan pertarungan supermarket itu sekarang lewat bisnis model," ungkap dia.
Aturan pemerintah, menurut Rhenald mengesankan pemerintah menyelamatkan ritel-ritel yang lebih dahulu eksis. Di antaranya, ketika Sevel hadir di Indonesia, Kemendag langsung melakukan razia dengan mempertanyakan bisnis yang dijalankan ini untuk izin ritel atau restoran. Selain itu juga ada larangan penjualan alkohol pada minimarket. "Akhirnya mengesankan selalu begitu," kata Rhenald.
Rhenald mencontohkan, pemerintah juga pernah melakukan atau menyelamatkan bisnis model yang diterapkan oleh perusahaan taksi konvensional, pada saat Gojek dan Grab baru-baru beroperasi di Indonesia. "Kita tahu waktu dulu bagaimana melindungi taksi konvensional, kesannya begitu, dan seterusnya regulator terpaku dengan apa yang tertulis di masa lalu, jadi di masa lalu definisinya ritel itu, tapi itukan berubah terus, wajah industri padahal kan berubah," tambahnya.
Agar tidak ada lagi ritel yang gulung tikar, bahkan terciptanya persaingan usaha yang sehat di sektor ritel. Rhenald meminta kepada pemerintah untuk segera menyesuaikan regulasi dengan perkembangan usaha. Sejumlah 7-Eleven (Sevel) di kawasan Jakarta yang semula masih beroperasi sudah mulai ditutup. Rencananya, seluruh gerai 7-Eleven akan ditutup pada akhir Juni ini.
Salah satu gerai Sevel di kawasan Tendean, Jakarta Selatan sudah mulai mengosongkan tokonya sejak hari ini. Pada dinding kaca toko pun sudah ditempelkan pemberitahuan terkait penutupan operasional toko tersebut. "Mohon maaf, toko tutup operasional." Kursi-kursi dan payung yang biasanya disediakan Sevel di luar toko juga sudah ditumpuk dan siap diangkut ke tempat lain.
"Semalam sudah mulai ditutup, tapi beberapa hari ini memang mulai diangkut barang-barangnya sebagian. Hari ini benar-benar tutup," ujar Juned, yang berprofesi sebagai tukar parkir di gerai 7-Eleven kawasan Tendean, Sabtu (24/6).
Juned mengaku kawatir pendapatannya berkurang lantaran gerai tersebut tutup. Dia pun mengaku masih bingung mengapa gerai Sevel di Tendean tersebut ditutup. Pasalnya, menurut dia, gerai tersebut cukup ramai pengunjung. "Pagi, siang, sore, malam, ya ramai saja, makanya tidak tahu ini kenapa tutup," kata Juned.
Sebelumya, Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya mengaku pihaknya telah memutuskan untuk menutup seluruh gerai 7-Eleven pada akhir bulan ini. Penutupan gerai dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang operasional, terutama setelah batalnya rencana akuisisi gerai tersebut oleh PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
Sevel sebenarnya tercatat sudah mulai menutup gerainya sejak tahun lalu. Tahun lalu, penutupan dilakukan pada sejumlah 25 gerai sevel. Adapun pada kuartal pertama tahun ini, penutupan sudah dilakukan pada 30 gerai. Setelah sempat terkatung-katung, PT Modern Sevel Indonesia akhirnya memutuskan untuk menutup semua gerai 7-eleven (Sevel) pada akhir bulan ini.
Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya menjelaskan, penutupan seluruh gerai tersebut dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Hal tersebut seiring batalnya rencana akuisisi yang semula akan dilakukan Charoen terhadap seluruh usaha waralaba tersebut di Indonesia.
"Hal-hal material yang berkaitan dan timbul sebagai akibat pemberhentian operasional gerai ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan akan diselesaikan secepatnya," ujar Chandra dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, dikutip Jumat (23/6).
Sevel tercatat sudah mulai menutup gerainya sejak tahun lalu. Tahun lalu, penutupan dilakukan pada sebanyak 25 gerai. Adapun pada kuartal pertama tahun ini, penutupan sudah dilakukan pada 30 gerai.
Adapun induk usah Sevel, PT Modern Internasional Tbk (MDRN) dalam publikasinya di Bursa Effek Indonesia tercatat mengalami kerugian sebesar Rp477 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp663 miliar.
Menurut Akademisi dan Praktisi Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali mengatakan, lebih dikarenakan tidak pahamnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dengan bisnis model yang diterapkan oleh Sevel. Rhenald menceritakan, Sevel masuk ke Indonesia melalui generasi ke-3 Modern Internasional yang mendapat lisensi dengan bisnis model yang baru, yaitu menjadi lokasi berkumpul atau sosialisasi masyarakat.
Sayangnya bisnis modelnya ini tidak dipahami oleh regulator, karena regulator lebih banyak berpihak pada pebisnis lama dan alergi terhadap inovasi seperti yang terjadi pada Low Cost Air Carrier yang dihambat oleh regulator dengan alasan keselamatan demi menjaga Garuda Indonesia dari kerugian masif atau pada Taksi online yang dihambat dengan aturan agar para pemain lama dibisnis ini tidak gulung tikar kerena kurang inovasi dan mengambil laba yang tebal.
Bisnis model yang dikembangkan Sevel juga sempat menjadi pemberitaan halaman depan media di Amerika Serikat, yang pada saat bersamaan juga memberikan dampak kepada ritel-ritel yang sudah eksis lebih dahulu di Indonesia. "Itu tidak dipahami regulator, jadi gagalnya sevel di Indonesia itu pertama itu karena regulator tidak merestui mereka," ungkap dia.
Dia melanjutkan, saat masih segar-segarnya Sevel menginjak di Indonesia, pihak Kementerian Perdagangan langsung melakukan razia dengan mempertanyakan bisnis yang dijalankan ini untuk izin ritel atau restoran. Sebab, aturan di Indonesia sendiri belum ada yang memfasilitasi bisnis model seperti Sevel.
"Ruang geraknya Sevel itu sudah diteror regulasi pada zaman itu. Jadi dia dipersulit, padahal ini tempat anak muda nongkrong, bukanya 24 jam berada di kisaran Ibu Kota dengan cepat dia menciptakan lapangan pekerjaan, karena dia membikin nasgor, sosis, itu sampai mereka punya pusat pasokannya sendiri, dan mempekerjakan sekitar 2.500 karyawan," jelas dia.
Selain tidak pahamnya pemerintah, masalah selanjutnya juga banyaknya organisasi masyarakat (ormas) yang menekan manajemen Sevel untuk memberikan jatah parkiran. "Muncul kelompok ormas yang menekan mereka, karena mereka minta jatah parkir, karena anak muda kumpul banyak, parkirannya menarik," kata dia.
Masalah selanjutnya, kata Rhenald, adanya tindakan yang tidak adil dari pemerintah kepada Sevel atau minimarket lainnya. "Karena supermarket itu diizinkan untuk menjual minuman beralkohol yang di bawah 5% misalnya bir, tiba-tiba dikatakan mereka tidak boleh jual bir, karena bukan supermarket," tutup dia. Ramainya gerai 7-eleven (Sevel) di Indonesia lantaran konsep bisnisnya yang memanjakan anak-anak muda untuk bisa berkumpul, bersosialisasi sambil jajan.
Bisnis konsep yang diterapkan PT Modern Sevel Indonesia (MSI) ini juga menjadi yang pertama diterapkan oleh riteler di Indonesia. Ritel yang sudah lebih eksis hanya sebagai toko berbelanja pada umumnya. Di mana, masyarakat berbelanja lalu kemudian keluar.
"Misalnya, Alfa sama Indomaret itukan orang datang tidak nongkrong, ambil belanja terus keluar, jadi tidak perlu tempat duduk, kalau sevel tempat anak muda nongkrong itu tempatnya sosialisasi, ada minuman, ada kopi, makanan, tapi itu semua hancur sama regulator," kata Akademisi dan Praktisi Bisnis dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali Jakarta, Sabtu (24/6/2017).
Sevel hadir di Indonesia sejak 2009. Kala itu MSI membuka gerai pertama Sevel di Bulungan, Jakarta dengan konsep 'Food Store Destination'. Bisnis model yang diterapkan oleh Sevel ini juga membuat produk turunan menjadi yang paling laku, seperti makanan-makanan ringan, minuman, serta rokok, dan hal ini juga yang membuat sebagian minimarket sulit bersaing.
Pada 2011 lalu, memang baru 50 gerai yang tersedia, akan tetapi setahun kemudian meningkat menjadi dua kali lipat. Dua tahun kemudian, jumlah gerai sevel di Jakarta dan sekitarnya sudah mencapai 190 gerai. Namun, setelah tidak didukung oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam mengembangkan bisnis model anak nongkrong ini membuat PT Modern International Tbk (MDRN) selaku induk usaha mengumumkan akan menutup seluruh gerai sevel di Indonesia per 30 Juni 2017.
"Minimarket itu 60% pendapatannya dari 100% dari situ kalau tempat anak muda berkumpul, tapi Sevel itu mengalami kesulitan karena birokrat dan regulator yang tidak paham tentang bisnis model. Bisnis model itukan pertarungan supermarket itu sekarang lewat bisnis model," ungkap dia.
Aturan pemerintah, menurut Rhenald mengesankan pemerintah menyelamatkan ritel-ritel yang lebih dahulu eksis. Di antaranya, ketika Sevel hadir di Indonesia, Kemendag langsung melakukan razia dengan mempertanyakan bisnis yang dijalankan ini untuk izin ritel atau restoran. Selain itu juga ada larangan penjualan alkohol pada minimarket. "Akhirnya mengesankan selalu begitu," kata Rhenald.
Rhenald mencontohkan, pemerintah juga pernah melakukan atau menyelamatkan bisnis model yang diterapkan oleh perusahaan taksi konvensional, pada saat Gojek dan Grab baru-baru beroperasi di Indonesia. "Kita tahu waktu dulu bagaimana melindungi taksi konvensional, kesannya begitu, dan seterusnya regulator terpaku dengan apa yang tertulis di masa lalu, jadi di masa lalu definisinya ritel itu, tapi itukan berubah terus, wajah industri padahal kan berubah," tambahnya.
Agar tidak ada lagi ritel yang gulung tikar, bahkan terciptanya persaingan usaha yang sehat di sektor ritel. Rhenald meminta kepada pemerintah untuk segera menyesuaikan regulasi dengan perkembangan usaha. Sejumlah 7-Eleven (Sevel) di kawasan Jakarta yang semula masih beroperasi sudah mulai ditutup. Rencananya, seluruh gerai 7-Eleven akan ditutup pada akhir Juni ini.
Salah satu gerai Sevel di kawasan Tendean, Jakarta Selatan sudah mulai mengosongkan tokonya sejak hari ini. Pada dinding kaca toko pun sudah ditempelkan pemberitahuan terkait penutupan operasional toko tersebut. "Mohon maaf, toko tutup operasional." Kursi-kursi dan payung yang biasanya disediakan Sevel di luar toko juga sudah ditumpuk dan siap diangkut ke tempat lain.
"Semalam sudah mulai ditutup, tapi beberapa hari ini memang mulai diangkut barang-barangnya sebagian. Hari ini benar-benar tutup," ujar Juned, yang berprofesi sebagai tukar parkir di gerai 7-Eleven kawasan Tendean, Sabtu (24/6).
Juned mengaku kawatir pendapatannya berkurang lantaran gerai tersebut tutup. Dia pun mengaku masih bingung mengapa gerai Sevel di Tendean tersebut ditutup. Pasalnya, menurut dia, gerai tersebut cukup ramai pengunjung. "Pagi, siang, sore, malam, ya ramai saja, makanya tidak tahu ini kenapa tutup," kata Juned.
Sebelumya, Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya mengaku pihaknya telah memutuskan untuk menutup seluruh gerai 7-Eleven pada akhir bulan ini. Penutupan gerai dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang operasional, terutama setelah batalnya rencana akuisisi gerai tersebut oleh PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
Sevel sebenarnya tercatat sudah mulai menutup gerainya sejak tahun lalu. Tahun lalu, penutupan dilakukan pada sejumlah 25 gerai sevel. Adapun pada kuartal pertama tahun ini, penutupan sudah dilakukan pada 30 gerai. Setelah sempat terkatung-katung, PT Modern Sevel Indonesia akhirnya memutuskan untuk menutup semua gerai 7-eleven (Sevel) pada akhir bulan ini.
Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya menjelaskan, penutupan seluruh gerai tersebut dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Hal tersebut seiring batalnya rencana akuisisi yang semula akan dilakukan Charoen terhadap seluruh usaha waralaba tersebut di Indonesia.
"Hal-hal material yang berkaitan dan timbul sebagai akibat pemberhentian operasional gerai ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan akan diselesaikan secepatnya," ujar Chandra dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, dikutip Jumat (23/6).
Sevel tercatat sudah mulai menutup gerainya sejak tahun lalu. Tahun lalu, penutupan dilakukan pada sebanyak 25 gerai. Adapun pada kuartal pertama tahun ini, penutupan sudah dilakukan pada 30 gerai.
Adapun induk usah Sevel, PT Modern Internasional Tbk (MDRN) dalam publikasinya di Bursa Effek Indonesia tercatat mengalami kerugian sebesar Rp477 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp663 miliar.
Friday, June 23, 2017
1605 Karyawan 7-Eleven Sevel Terancam Kehilangan Pekerjaan
PT Modern Sevel Indonesia (MSI) mengibarkan bendera putih dalam mengembangkan 7-Eleven (Sevel) di Indonesia. PT Modern Internasional Tbk (MDRN) selaku induk usaha mengumumkan akan menutup seluruh gerai Sevel di Indonesia per 30 Juni 2017.
Penutupan gerai sevel tentu berpengaruh pada kelangsungan nasib para karyawan yang bekerja di dalamya. Berapa jumlah karyawan yang terancam nganggur akibat penutupan seluruh gerai sevel ini? Berdasarkan laporan keuangan perusahaan tahun 2016 yang sudah diaudit yang dikutip detikFinance, Jumat (23/6/2017), total karyawan yang dipekerjakan perusahaan mencapai 1.605 orang yang terdiri dari berbagai jenjang pendidikan.
Di antaranya, 1.384 orang lulusan SMA, 62 orang lulusan diploma, 145 orang lulusan S1 dan 2 orang lulusan S2. Ada pula, 7 orang yang berpendidikan SMP dan 5 orang berpendidikan SD. Dari 1.605 orang karyawan sevel, 1.194 berstatus karyawan kontrak dan 411 orang berstatus karyawan tetap.
Jumlah karyawan itu tersebar di seluruh gerai Sevel yang tersisa yang dimiliki perusahaan. Hingga Desember 2016 jumlah gerasi Sevel di Indonesia sebanyak 161 gerai. Namun saat itu Sevel juga terhantam dengan kebijakan pemerintah yang melarang penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat tertentu.
Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Padahal saat itu bir dan camilan menjadi salah satu produk yang cukup diminati pengunjung Sevel.
Alhasil perusahaan memutuskan untuk menutup 20 gerai. Lalu pada awal 2017 MSI juga kembali menutup 30 gerai Sevel, alasannya karena gerai yang ditutup tidak dapat mencapai target yang dicanangkan perusahaan.
Awal Maret 2017 lalu, Corporate Secretary Modern Internasional Tina Novita sempat berbincang. Pada kesempatan itu ia bercerita bahwa jumlah karyawan Sevel tergantung dari besar kecilnya gerai. "Kalau toko yang kecil jumlah karyawan sekitar 5-7 orang, kalau yang besar sekitar 9-12 orang," kata Tina kala itu.
Penutupan gerai tersebut juga dilakukan guna mengurangi kerugian akibat beban biaya operasional seperti pajak, listrik dan sewa tempat. Atas dasar itu, MSI melakukan evaluasi ulang atas gerai-gerai yang tidak produktif. Namun, MDRN mengumumkan akan menutup seluruh gerai Sevel. Terhitung per tanggal 30 Juni 2017 seluruh gerai Sevel di bawah manajemen MSI akan berhenti beroperasi.
Penutupan seluruh gerai Sevel sebagai imbas dari batalnya rencana akuisisi seluruh gerai Sevel beserta aset-asetnya oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia yang merupakan anak usaha dari PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN). Pembatalan akuisisi lantaran tidak tercapainya kesepakatan atas pihak-pihak yang berkepentingan.
Penutupan gerai sevel tentu berpengaruh pada kelangsungan nasib para karyawan yang bekerja di dalamya. Berapa jumlah karyawan yang terancam nganggur akibat penutupan seluruh gerai sevel ini? Berdasarkan laporan keuangan perusahaan tahun 2016 yang sudah diaudit yang dikutip detikFinance, Jumat (23/6/2017), total karyawan yang dipekerjakan perusahaan mencapai 1.605 orang yang terdiri dari berbagai jenjang pendidikan.
Di antaranya, 1.384 orang lulusan SMA, 62 orang lulusan diploma, 145 orang lulusan S1 dan 2 orang lulusan S2. Ada pula, 7 orang yang berpendidikan SMP dan 5 orang berpendidikan SD. Dari 1.605 orang karyawan sevel, 1.194 berstatus karyawan kontrak dan 411 orang berstatus karyawan tetap.
Jumlah karyawan itu tersebar di seluruh gerai Sevel yang tersisa yang dimiliki perusahaan. Hingga Desember 2016 jumlah gerasi Sevel di Indonesia sebanyak 161 gerai. Namun saat itu Sevel juga terhantam dengan kebijakan pemerintah yang melarang penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat tertentu.
Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Padahal saat itu bir dan camilan menjadi salah satu produk yang cukup diminati pengunjung Sevel.
Alhasil perusahaan memutuskan untuk menutup 20 gerai. Lalu pada awal 2017 MSI juga kembali menutup 30 gerai Sevel, alasannya karena gerai yang ditutup tidak dapat mencapai target yang dicanangkan perusahaan.
Awal Maret 2017 lalu, Corporate Secretary Modern Internasional Tina Novita sempat berbincang. Pada kesempatan itu ia bercerita bahwa jumlah karyawan Sevel tergantung dari besar kecilnya gerai. "Kalau toko yang kecil jumlah karyawan sekitar 5-7 orang, kalau yang besar sekitar 9-12 orang," kata Tina kala itu.
Penutupan gerai tersebut juga dilakukan guna mengurangi kerugian akibat beban biaya operasional seperti pajak, listrik dan sewa tempat. Atas dasar itu, MSI melakukan evaluasi ulang atas gerai-gerai yang tidak produktif. Namun, MDRN mengumumkan akan menutup seluruh gerai Sevel. Terhitung per tanggal 30 Juni 2017 seluruh gerai Sevel di bawah manajemen MSI akan berhenti beroperasi.
Penutupan seluruh gerai Sevel sebagai imbas dari batalnya rencana akuisisi seluruh gerai Sevel beserta aset-asetnya oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia yang merupakan anak usaha dari PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN). Pembatalan akuisisi lantaran tidak tercapainya kesepakatan atas pihak-pihak yang berkepentingan.
Pengumuman : Seluruh Gerai 7-Eleven Sevel Tutup Bulan Ini ... Harga Saham Jatuh
PT Modern Sevel Indonesia (MSI) akhirnya menyerah. 7-Eleven alias Sevel, waralaba yang namanya sempat melejit di tanah air harus menutup seluruh gerainya akhir bulan ini. Berdasarkan keterbukaan informasi yang dikutip, Jumat (23/6/2017), pihak MSI menyatakan bahwa bisnis yang dijalani 7-Eleven mengalami kerugian bertahun-tahun. "Segmen bisnis ini telah mengalami kerugian di tahun-tahun terakhir sebagai akibat dari kompetisi pasar yang tinggi," tulis pihak MSI dalam keterbukaan.
Pada awal tahun, sempat menelusuri perkembangan bisnis tersebut di Jakarta. Tercatat ada penutupan 30 gerai akibat rugi, seiring dengan biaya operasional yang membengkak tak sesuai pendapatan. Ada berbagai isu yang sempat menjadi indikasi, seperti larangan penjualan alkohol hingga aktivitas 'nongkrong enggak jajan'.
PT Modern Sevel Indonesia (MSI) selaku pemegang master franchise 7-Eleven (Sevel) di Indonesia akan menutup seluruh gerainya di Indonesia. Hal itu diumumkan oleh PT Modern Internasional Tbk (MDRN) melalui keterbukaan informasi yang dilansir, Jumat (23/6/2017).
Direktur Modern Internasional Chandra Wijaya mengumumkan, terhitung per tanggal 30 Juni 2017 seluruh gerai Sevel di bawah manajemen MSI akan berhenti beroperasi. "Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perseroan untuk menunjang kegiatan operasional 7-Eleven," tuturnya.
Chandra melanjutkan, penutupan seluruh gerai Sevel sebagai imbas dari batalnya rencana akuisisi seluruh gerai Sevel beserta aset-asetnya oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia yang merupakan anak usaha dari PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN). Pembatalan tersebut lantaran tidak tercapainya kesepakatan atas pihak-pihak yang berkepentingan.
"Hal-hal material yang berkaitan dan yang timbul sebagai akibat dari pemberhentian operasional gerai 7-Eleven ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan akan diselesaikan secepatnya," tukas Chandra. Sekadar informasi, saham sejak pengumuman pembatalan akuisisi, saham MDRN terus melemah hingga level terendah. Bahkan pada 3 hari yang lalu MDRN harga paling dasar Rp 50 per saham alias gocap dan tidak bergerak hingga perdagangan kemarin.
Setelah sempat terkatung-katung, PT Modern Sevel Indonesia akhirnya memutuskan untuk menutup semua gerai 7-eleven (Sevel) pada akhir bulan ini. Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya menjelaskan, penutupan seluruh gerai tersebut dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Hal tersebut seiring batalnya rencana akuisisi yang semula akan dilakukan Charoen terhadap seluruh usaha waralaba tersebut di Indonesia.
"Hal-hal material yang berkaitan dan timbul sebagai akibat pemberhentian operasional gerai ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan akan diselesaikan secepatnya," ujar Chandra dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, dikutip Jumat (23/6). Sevel tercatat sudah mulai menutup gerainya sejak tahun lalu. Tahun lalu, penutupan dilakukan pada sebanyak 25 gerai. Adapun pada kuartal pertama tahun ini, penutupan sudah dilakukan pada 30 gerai.
Adapun induk usah Sevel, PT Modern Internasional Tbk (MDRN) dalam publikasinya di Bursa Effek Indonesia tercatat mengalami kerugian sebesar Rp477 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp663 miliar.
PT Modern Internasional Tbk (MDRN) masih melanjutkan kinerja kurang cemerlang. Pada periode kuartal I-2017, perseroan masih dihantui kerugian. Melansir dari keterbukaan informasi, induk usaha dari perusahaan pemilik waralaba 7-Eleven di Indonesia itu (PT Modern Sevel Indonesia) tercatat mengalami kerugian sebesar Rp 447,9 miliar.
Angka itu berbanding terbalik dengan kuartal I-2017, di mana MDRN masih bisa membukukan keuntungan sebesar Rp 21,3 miliar. Penjualan bersih perseroan juga mengalami penurunan 37,17% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 220,66 miliar menjadi Rp 138,62 miliar. Beban pokok penjualan menurun dari Rp 142,21 miliar menjadi Rp 100,64 miliar, namun beban operasi membengkak menjadi Rp 368,18 miliar.
Sementara total liabilitas hanya naik tipis dari Rp 1,337 triliun menjadi Rp 1,381 triliun. Angka itu terdiri dari liabilitas jangka panjang sebesar Rp 305,01 miliar dan liabilitas jangka pendek sebesar Rp 1,07 triliun. Adapun total ekuitas menurun 70% dari Rp 645,3 miliar menjadi Rp 187,99 miliar. Sehingga total liabilitas dan ekuitas juga menurun dari Rp 1,98 triliun menjadi Rp 1,57 triliun.
Total aset perseroan saat ini sebesar Rp 1,57 triliun. Angka itu turun 20,8% dari periode yang sama di tahun lalu sebesar Rp 1,98 triliun
Pada awal tahun, sempat menelusuri perkembangan bisnis tersebut di Jakarta. Tercatat ada penutupan 30 gerai akibat rugi, seiring dengan biaya operasional yang membengkak tak sesuai pendapatan. Ada berbagai isu yang sempat menjadi indikasi, seperti larangan penjualan alkohol hingga aktivitas 'nongkrong enggak jajan'.
PT Modern Sevel Indonesia (MSI) selaku pemegang master franchise 7-Eleven (Sevel) di Indonesia akan menutup seluruh gerainya di Indonesia. Hal itu diumumkan oleh PT Modern Internasional Tbk (MDRN) melalui keterbukaan informasi yang dilansir, Jumat (23/6/2017).
Direktur Modern Internasional Chandra Wijaya mengumumkan, terhitung per tanggal 30 Juni 2017 seluruh gerai Sevel di bawah manajemen MSI akan berhenti beroperasi. "Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perseroan untuk menunjang kegiatan operasional 7-Eleven," tuturnya.
Chandra melanjutkan, penutupan seluruh gerai Sevel sebagai imbas dari batalnya rencana akuisisi seluruh gerai Sevel beserta aset-asetnya oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia yang merupakan anak usaha dari PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN). Pembatalan tersebut lantaran tidak tercapainya kesepakatan atas pihak-pihak yang berkepentingan.
"Hal-hal material yang berkaitan dan yang timbul sebagai akibat dari pemberhentian operasional gerai 7-Eleven ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan akan diselesaikan secepatnya," tukas Chandra. Sekadar informasi, saham sejak pengumuman pembatalan akuisisi, saham MDRN terus melemah hingga level terendah. Bahkan pada 3 hari yang lalu MDRN harga paling dasar Rp 50 per saham alias gocap dan tidak bergerak hingga perdagangan kemarin.
Setelah sempat terkatung-katung, PT Modern Sevel Indonesia akhirnya memutuskan untuk menutup semua gerai 7-eleven (Sevel) pada akhir bulan ini. Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya menjelaskan, penutupan seluruh gerai tersebut dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Hal tersebut seiring batalnya rencana akuisisi yang semula akan dilakukan Charoen terhadap seluruh usaha waralaba tersebut di Indonesia.
"Hal-hal material yang berkaitan dan timbul sebagai akibat pemberhentian operasional gerai ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan akan diselesaikan secepatnya," ujar Chandra dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, dikutip Jumat (23/6). Sevel tercatat sudah mulai menutup gerainya sejak tahun lalu. Tahun lalu, penutupan dilakukan pada sebanyak 25 gerai. Adapun pada kuartal pertama tahun ini, penutupan sudah dilakukan pada 30 gerai.
Adapun induk usah Sevel, PT Modern Internasional Tbk (MDRN) dalam publikasinya di Bursa Effek Indonesia tercatat mengalami kerugian sebesar Rp477 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp663 miliar.
PT Modern Internasional Tbk (MDRN) masih melanjutkan kinerja kurang cemerlang. Pada periode kuartal I-2017, perseroan masih dihantui kerugian. Melansir dari keterbukaan informasi, induk usaha dari perusahaan pemilik waralaba 7-Eleven di Indonesia itu (PT Modern Sevel Indonesia) tercatat mengalami kerugian sebesar Rp 447,9 miliar.
Angka itu berbanding terbalik dengan kuartal I-2017, di mana MDRN masih bisa membukukan keuntungan sebesar Rp 21,3 miliar. Penjualan bersih perseroan juga mengalami penurunan 37,17% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 220,66 miliar menjadi Rp 138,62 miliar. Beban pokok penjualan menurun dari Rp 142,21 miliar menjadi Rp 100,64 miliar, namun beban operasi membengkak menjadi Rp 368,18 miliar.
Sementara total liabilitas hanya naik tipis dari Rp 1,337 triliun menjadi Rp 1,381 triliun. Angka itu terdiri dari liabilitas jangka panjang sebesar Rp 305,01 miliar dan liabilitas jangka pendek sebesar Rp 1,07 triliun. Adapun total ekuitas menurun 70% dari Rp 645,3 miliar menjadi Rp 187,99 miliar. Sehingga total liabilitas dan ekuitas juga menurun dari Rp 1,98 triliun menjadi Rp 1,57 triliun.
Total aset perseroan saat ini sebesar Rp 1,57 triliun. Angka itu turun 20,8% dari periode yang sama di tahun lalu sebesar Rp 1,98 triliun
Monday, June 19, 2017
Harga Beras Mahal Karena Margin Keuntungan Yang Diambil Tinggi
Food and Agriculture Organization (FAO) merilis harga beras Indonesia lebih tinggi dibandingkan harga beras internasional. Pada tahun 2016 lalu, harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kilogram (kg), sementara harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg. Harga tersebut mengacu pada harga eceran rata-rata nasional di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan mahalnya harga beras Indonesia tak hanya karena mahalnya ongkos produksi padi petani dalam negeri, melainkan juga karena tingginya margin dalam tata niaga beras.
"Mahal berasnya Indonesia juga karena disparitas harga yang tinggi dari produsen atau petani hingga ke konsumen. Margin di tata niaga tinggi. Bahkan disparitasnya ini bisa hampir 100%. Harga beras yang kita beli di pasar harganya Rp 11.000/kg, di petani bisa hanya Rp 6.000/kg," jelas Enny.
Diungkapkannya, tata niaga beras yang panjang dan kurang efisien ini jadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia. Selain itu di sektor hulu, sambungnya, rendahnya produktivitas rata-rata padi nasional juga membuat harga beras di Indonesia tergolong mahal dibandingkan dengan negara ASEAN lain sesama produsen beras.
"Kedua itu produktivitas lahan kita yang rata-rata nasional 5 sekian ton per hektar. Ini bicara rata-rata se-Indonesia, bukan per spot. Di Jawa memang banyak yang produktivitas sampai 10 ton per hektar, tapi kalau rata-rata nasional itu 5 ton per hektar. Negara lain sudah di atas itu," jelas Enny. Kemudian pengelolaan pasca panen petani padi di Indonesia yang masih sangat tradisional. Penanganan padi pasca dipanen yang masih sangat sederhana, membuat banyak panen padi yang hilang (loss) cukup besar.
"Yang tidak bisa dilupakan itu loss dari pasca panen. Kita kan tahu kalau petani panen jemurnya sederhana, mesin perontoknya seadanya, ini kan mempengaruhi ke jumlah loss padi, kemudian juga ngaruh ke kualitas, dalam hal ini tingkat pecahnya," terang Enny. Indonesia diberkahi dengan tanah subur dan luas. Namun demikian, bukan berarti kondisi ini membuat beras bisa diproduksi lebih murah ketimbang negara-negara ASEAN sesama produsen beras.
Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, menjelaskan kurang efisiennya produksi beras di Indonesia lantaran selama puluhan tahun mengandalkan lahan pertanian di Pulau Jawa. "Jawa ini yang paling subur, infrastrukturnya yang paling siap. Lahannya benar-benar subur karena tanah vulkanik, ini berbeda dengan sekali dengan lahan di luar Jawa. Lebih banyak mengandalkan Jawa," kata Ageng.
Diungkapkannya, pemerintah perlu melakukan relokasi lahan ke luar Jawa yang tanahnya masih luas. Namun demikian, terlebih dahulu perlu disiapkan infrastruktur yang baik sebagaimana di Jawa. "Lahan paling subur memang di Jawa, tapi kelebihan di luar Jawa itu luasannya relatif besar. Di Jawa karena sawahnya kecil-kecil, ongkos produksinya enggak efisien. Investasinya juga besar untuk buka lahan," ujar Ageng.
Di sisi lain, masalah di pertanian padi di luar Jawa tak hanya sekedar masalah lahan, melainkan juga sumber daya manusia, dalam hal ini petani, yang masih sangat terbatas. "Lahan banyak tapi sumber daya manusia atau orang yang pengetahuan tentang padi itu kebanyakan di Jawa. Sumber daya manusia di luar Jawa ini belum banyak yang menguasai soal padi. Beda dengan petani di Jawa yang memang sejak dulu hidup dari padi," terang Ageng.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengumpulkan berbagai indikasi yang menyebabkan harga beras di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara lain, khususnya di kawasan ASEAN. Salah satunya adalah biaya produksi yang tinggi. "Nah ini perlu kita selidiki. Karena penyebabnya pertama, bisa karena ongkos produksi di negara lain lebih rendah dibanding kita. Jadi kita menghasilkan per kg beras berarti lebih mahal dari negara lain," ungkap Ketua KPPU Syarkawi Rauf.
Menurutnya kondisi ini perlu mendapat pembenahan lebih serius dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Padahal menurut Syarkawi, dari sisi produksi beras nasional sendiri, jumlahnya sudah cukup berlimpah. "Nah ini yang harus kita perbaiki dari waktu ke waktu karena ada data yang menunjukkan bahwa harga di Indonesia lebih tinggi dibanding internasional," terangnya.
Sementara itu faktor lain seperti rantai distribusi yang terlalu panjang disadari KPPU juga membuat harga di tingkat pengecer lebih mahal dibandingkan negara lain. Dengan demikian Syarkawi menganggap, upaya ini yang perlu ditiru dari negara lain. "Kedua, jangan-jangan faktor rantai distribusi kita yang terlalu mahal yang membuat harga di end user itu terlalu tinggi dibandingkan negara lain yang lebih efisien dari sisi rantai distribusi," ujarnya.
Sementara dugaan terakhir menurut Syarkawi yakni, adanya pola penjualan beras dari negara lain ke pasar internasional dengan harga yang lebih murah, lantaran kelebihan pasokan stok. "Ketiga, jangan sampai ada pola di negara lain itu mereka kelebihan produksi sehingga dijual ke pasar internasional dengan harga yang lebih murah dibanding harga di dalam negerinya sendiri," terangnya
Dalam urusan beras, Vietnam bisa jadi satu dari sekian banyak negara yang sukses dalam produksi berasnya. Dengan produksi beras tahunan rata-rata di atas 28 juta ton, negara tersebut jadi salah satu pengekspor beras dunia sejak beberapa tahun belakangan. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, menjelaskan di negara tersebut pengembangan lahan untuk sawah padi diatur sangat ketat oleh pemerintah.
Hal ini memungkinkan penanaman padi dilakukan dilahan yang sangat luas dan terkonsentrasi, dengan dukungan infrastruktur yang memadai hingga pasca panen. Di sisi lain, pengusahaan lahan oleh negara meminimalkan alih fungsi lahan oleh petani. "Di Vietnam itu lahan dikuasai negara, sehingga tidak boleh ada perubahan atau konversi. Wajar lahannya tetap luas. Sedang di kita kepemilikan pribadi petani, kepemilikannya kecil, sudah begitu semakin sempit," terang Ageng.
Selain itu, lanjutnya, sebagaimana negara-negara produsen beras lain yang berada di lembah Sungai Mekong, membuat Vietnam memiliki lahan yang sangat cocok untuk tanaman padi dalam skala sangat luas. "Di Mekong itu lahan sangat flat jadi satu, sehingga sangat efisien untuk penggunaan peralatan mekanisasinya, irigasi, ongkos pemasaran, dan sebagainya. Hal itu yang membuat berasnya relatif lebih murah," kata Ageng.
Data FAO, harga beras per Maret 2017 di Vietnam saat ini yakni US$ 0,31/kg atau Rp 4.120 (kurs Rp 13.290). Harga beras di negara Asia Tenggara lain yang berada di lembah Mekong seperti Thailand yakni US$ 0,33/kg, Myanmar US$ 0,28/kg, Kamboja US$ 0,42/kg.
Sementara harga rata-rata beras di Indonesia yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499. Pada tahun lalu, sebagaimana dirilis FAO, harga beras di Indonesia lebih mahal ketimbang rata-rata harga beras global. Harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kg, sementara harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain sesama produsen beras, harga beras di Indonesia relatif lebih mahal. Selain itu, harga makanan paling pokok penduduk di tanah air ini ternyata juga masih lebih mahal ketimbang harga rata-rata beras internasional. Data Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) merilis harga beras di Indonesia dengan harga beras rata-rata internasional di 2016 lalu. Harga beras dalam negeri US$ 1 /kg, sedangkan harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg.
Sebagai pembanding, harga di sejumlah negara penghasil beras ASEAN seperti Kamboja adalah US$ 0,42/kg. Harga beras di Thailand US$ 0,33/kg, Vietnam US$ 0,31/kg. Lalu harga beras di Myanmar bahkan US$ 0,28/kg. Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras dunia seperti India, juga memiliki harga beras yang lebih murah yakni US$ 0,48/kg, Bangladesh US$ 0,46/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg.
Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil beras terbesar ketiga di dunia dengan produksi gabah sebesar 70 juta ton, dengan konversi menjadi beras sekitar 39 juta ton beras, dengan kebutuhan rata-rata beras per bulan 2,67 juta ton. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, mengatakan lebih mahalnya harga beras ketimbang negara produsen lain di ASEAN tersebut lantaran ongkos produksi padi yang tinggi, khususnya karena sempitnya kepemilikan lahan petani.
"Mahal karena komponen ongkos sewa lahan terutama. Itu sangat tinggi, karena banyak petani enggak punya lahan, jadi dia harus sewa, atau punya lahan tapi sedikit. Jatuhnya di ongkos produksi padi yang mahal, jadinya harga jual relatif lebih mahal," jelas Ageng. Diungkapkannya, pola lahan di Indonesia yang sifatnya tersebar dan sempit membuat biaya produksi padi di Indonesia kurang efisien. Selain itu, basis produksi beras di Indonesia juga terlalu bergantung pada Pulau Jawa.
Hal ini berbeda dengan sistem budidaya di negara-negara Lembah Sungai Mekong seperti Thailand, Myanmar, dan Vietnam yang memiliki skala tanam sangat luas dengan kontur tanah yang datar, infrastruktur seperti jalan dan irigasi yang baik, mekanisasi pertanian yang lebih luas, dan pasca panen yang lebih baik. Di Vietnam, bahkan penguasaan tanah dilakukan negara, sehingga pengaturan penanaman padi diatur sangat ketat, terlebih hampir sangat minim terjadinya konversi lahan pertanian sebagaimana yang banyak terjadi di Indonesia.
"Sawah di negara-negara produsen beras besar di ASEAN itu lahannya flat jadi satu. Kita lahannya kecil-kecil, sehingga kurang efisien. Produktivitas memang kita tinggi, tapi ongkos produksinya lebih mahal," ungkap Ageng. "Vietnam itu lahan dikuasai negara, sehingga tidak boleh ada perubahan atau konversi. Wajar lahannya tetap luas. Sedang di kita kepemilikan pribadi petani, kepemilikannya kecil, sudah begitu semakin sempit," tambahnya.
Selain permasalahan lahan, komponen lain yang menciptakan biaya tinggi pada petani-petani di Indonesia yakni penggunaan pupuk yang tinggi. "Tentu kemudian pupuk, karena lahan petani terbatas di Indonesia, untuk mengejar produksi yang tinggi supaya nutup (balik modal), pengunaan pupuknya tinggi," terang Ageng.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan mahalnya harga beras Indonesia tak hanya karena mahalnya ongkos produksi padi petani dalam negeri, melainkan juga karena tingginya marjin dalam tata niaga beras.
"Mahal berasnya Indonesia juga karena disparitas harga yang tinggi dari produsen atau petani hingga ke konsumen. Marjin di tata niaga tinggi. Bahkan disparitasnya ini bisa hampir 100%. Harga beras yang kita beli di pasar harganya Rp 11.000/kg, di petani bisa hanya Rp 6.000/kg," ucap Enny.
Tata niaga perberasan yang panjang dan kurang efisien ini jadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia. Kemudian yakni pengelolaan pasca panen petani padi di Indonesia yang masih sangat tradisional. Penanganan padi pasca dipanen yang masih sangat sederhana, membuat banyak panen padi yang hilang (loss) cukup besar.
"Yang tidak bisa dilupakan itu loss dari pasca panen. Kita kan tahu kalau petani panen jemurnya sederhana, mesin perontoknya seadanya, ini kan mempengaruhi ke jumlah loss padi, kemudian juga pengaruh ke kualitas, dalam hal ini tingkat pecahnya," terang Enny. Namun demikian, beberapa negara lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, Filipina US$ 0,82/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg
Meski punya lahan pertanian yang cukup luas, namun ternyata harga beras di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan negara tetangga sesama produsen beras seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, mengatakan lebih mahalnya harga beras ketimbang negara produsen lain di ASEAN tersebut lantaran ongkos produksi padi yang tinggi, khususnya karena sempitnya kepemilikan lahan petani.
"Mahal karena komponen ongkos sewa lahan terutama. Itu sangat tinggi, karena banyak petani enggak punya lahan, jadi dia harus sewa, atau punya lahan tapi sedikit. Jatuhnya di ongkos produksi padi yang mahal, jadinya harga jual relatif lebih mahal," jelas Ageng. Diungkapkannya, pola lahan di Indonesia yang sifatnya tersebar dan sempit membuat biaya produksi padi di Indonesia kurang efisien.
Sebagai perbandingan, negara-negara yang berada di aliran Sungai Mekong seperti Thailand, Myanmar, atau Vietnam memiliki lahan yang datar dalam skala yang sangat luas. Hal ini membuat sistem pertanian bisa dilakukan dengan efisien, baik dalam hal irigasi dan infrastruktur lainnya.
"Sawah di negara-negara produsen beras besar di ASEAN itu lahannya flat jadi satu. Kita lahannya kecil-kecil, sehingga kurang efisien. Produktivitas memang kita tinggi, tapi ongkos produksinya lebih mahal," kata Ageng. Selain permasalahan lahan, komponen lain yang menciptakan biaya tinggi pada petani-petani di Indonesia yakni penggunaan pupuk yang tinggi. "Tentu kemudian pupuk, karena lahan petani terbatas di Indonesia, untuk mengejar produksi yang tinggi supaya nutup (balik modal), pengunaan pupuknya tinggi," terang Ageng.
Data FAO, harga rata-rata beras di Indonesia per Maret 2017 yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499 (kurs Rp 13.290). Sebagai pembanding, harga beras rata-rata per kg di Kamboja yakni US$ 0,42/kg. Harga beras dari negara lainnya Thailand yakni US$ 0,33/kg, dan kemudian Vietnam US$ 0,31/kg. Harga beras di Myanmar bahkan mencapai US$ 0,28/kg.
Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras di dunia seperti India juga memiliki harga beras yang lebih murah seperti Bangladesh US$ 0,46/kg, beras India US$ 0,48/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg. Namun demikian, beberapa negara Asia lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, Filipina US$ 0,82/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain produsen beras, harga beras di Indonesia terbilang relatif lebih mahal. Padahal, dari sisi lain, Indonesia memiliki luasan tanah yang jauh lebih besar. Berdasarkan Data Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), per Maret 2017 harga beras per kg Indonesia rata-rata yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499.
Sebagai pembanding, harga beras rata-rata per kg di Kamboja yakni US$ 0,42/kg. Harga beras dari negara lainnya Thailand yakni US$ 0,33/kg, dan kemudian Vietnam US$ 0,31/kg. Harga beras di Myanmar bahkan mencapai US$ 0,28/kg. Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras di dunia seperti India juga memiliki harga beras yang lebih murah seperti Bangladesh US$ 0,46/kg, beras India US$ 0,48/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg.
Namun demikian, beberapa negara lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg.
Sementara itu, jika membandingkan harga beras di Indonesia dengan harga beras rata-rata internasional pada tahun 2016 lalu, harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kg, kemudian harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg. Harga tersebut mengacu pada harga eceran rata-rata nasional di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan mahalnya harga beras Indonesia tak hanya karena mahalnya ongkos produksi padi petani dalam negeri, melainkan juga karena tingginya margin dalam tata niaga beras.
"Mahal berasnya Indonesia juga karena disparitas harga yang tinggi dari produsen atau petani hingga ke konsumen. Margin di tata niaga tinggi. Bahkan disparitasnya ini bisa hampir 100%. Harga beras yang kita beli di pasar harganya Rp 11.000/kg, di petani bisa hanya Rp 6.000/kg," jelas Enny.
Diungkapkannya, tata niaga beras yang panjang dan kurang efisien ini jadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia. Selain itu di sektor hulu, sambungnya, rendahnya produktivitas rata-rata padi nasional juga membuat harga beras di Indonesia tergolong mahal dibandingkan dengan negara ASEAN lain sesama produsen beras.
"Kedua itu produktivitas lahan kita yang rata-rata nasional 5 sekian ton per hektar. Ini bicara rata-rata se-Indonesia, bukan per spot. Di Jawa memang banyak yang produktivitas sampai 10 ton per hektar, tapi kalau rata-rata nasional itu 5 ton per hektar. Negara lain sudah di atas itu," jelas Enny. Kemudian pengelolaan pasca panen petani padi di Indonesia yang masih sangat tradisional. Penanganan padi pasca dipanen yang masih sangat sederhana, membuat banyak panen padi yang hilang (loss) cukup besar.
"Yang tidak bisa dilupakan itu loss dari pasca panen. Kita kan tahu kalau petani panen jemurnya sederhana, mesin perontoknya seadanya, ini kan mempengaruhi ke jumlah loss padi, kemudian juga ngaruh ke kualitas, dalam hal ini tingkat pecahnya," terang Enny. Indonesia diberkahi dengan tanah subur dan luas. Namun demikian, bukan berarti kondisi ini membuat beras bisa diproduksi lebih murah ketimbang negara-negara ASEAN sesama produsen beras.
Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, menjelaskan kurang efisiennya produksi beras di Indonesia lantaran selama puluhan tahun mengandalkan lahan pertanian di Pulau Jawa. "Jawa ini yang paling subur, infrastrukturnya yang paling siap. Lahannya benar-benar subur karena tanah vulkanik, ini berbeda dengan sekali dengan lahan di luar Jawa. Lebih banyak mengandalkan Jawa," kata Ageng.
Diungkapkannya, pemerintah perlu melakukan relokasi lahan ke luar Jawa yang tanahnya masih luas. Namun demikian, terlebih dahulu perlu disiapkan infrastruktur yang baik sebagaimana di Jawa. "Lahan paling subur memang di Jawa, tapi kelebihan di luar Jawa itu luasannya relatif besar. Di Jawa karena sawahnya kecil-kecil, ongkos produksinya enggak efisien. Investasinya juga besar untuk buka lahan," ujar Ageng.
Di sisi lain, masalah di pertanian padi di luar Jawa tak hanya sekedar masalah lahan, melainkan juga sumber daya manusia, dalam hal ini petani, yang masih sangat terbatas. "Lahan banyak tapi sumber daya manusia atau orang yang pengetahuan tentang padi itu kebanyakan di Jawa. Sumber daya manusia di luar Jawa ini belum banyak yang menguasai soal padi. Beda dengan petani di Jawa yang memang sejak dulu hidup dari padi," terang Ageng.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengumpulkan berbagai indikasi yang menyebabkan harga beras di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara lain, khususnya di kawasan ASEAN. Salah satunya adalah biaya produksi yang tinggi. "Nah ini perlu kita selidiki. Karena penyebabnya pertama, bisa karena ongkos produksi di negara lain lebih rendah dibanding kita. Jadi kita menghasilkan per kg beras berarti lebih mahal dari negara lain," ungkap Ketua KPPU Syarkawi Rauf.
Menurutnya kondisi ini perlu mendapat pembenahan lebih serius dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Padahal menurut Syarkawi, dari sisi produksi beras nasional sendiri, jumlahnya sudah cukup berlimpah. "Nah ini yang harus kita perbaiki dari waktu ke waktu karena ada data yang menunjukkan bahwa harga di Indonesia lebih tinggi dibanding internasional," terangnya.
Sementara itu faktor lain seperti rantai distribusi yang terlalu panjang disadari KPPU juga membuat harga di tingkat pengecer lebih mahal dibandingkan negara lain. Dengan demikian Syarkawi menganggap, upaya ini yang perlu ditiru dari negara lain. "Kedua, jangan-jangan faktor rantai distribusi kita yang terlalu mahal yang membuat harga di end user itu terlalu tinggi dibandingkan negara lain yang lebih efisien dari sisi rantai distribusi," ujarnya.
Sementara dugaan terakhir menurut Syarkawi yakni, adanya pola penjualan beras dari negara lain ke pasar internasional dengan harga yang lebih murah, lantaran kelebihan pasokan stok. "Ketiga, jangan sampai ada pola di negara lain itu mereka kelebihan produksi sehingga dijual ke pasar internasional dengan harga yang lebih murah dibanding harga di dalam negerinya sendiri," terangnya
Dalam urusan beras, Vietnam bisa jadi satu dari sekian banyak negara yang sukses dalam produksi berasnya. Dengan produksi beras tahunan rata-rata di atas 28 juta ton, negara tersebut jadi salah satu pengekspor beras dunia sejak beberapa tahun belakangan. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, menjelaskan di negara tersebut pengembangan lahan untuk sawah padi diatur sangat ketat oleh pemerintah.
Hal ini memungkinkan penanaman padi dilakukan dilahan yang sangat luas dan terkonsentrasi, dengan dukungan infrastruktur yang memadai hingga pasca panen. Di sisi lain, pengusahaan lahan oleh negara meminimalkan alih fungsi lahan oleh petani. "Di Vietnam itu lahan dikuasai negara, sehingga tidak boleh ada perubahan atau konversi. Wajar lahannya tetap luas. Sedang di kita kepemilikan pribadi petani, kepemilikannya kecil, sudah begitu semakin sempit," terang Ageng.
Selain itu, lanjutnya, sebagaimana negara-negara produsen beras lain yang berada di lembah Sungai Mekong, membuat Vietnam memiliki lahan yang sangat cocok untuk tanaman padi dalam skala sangat luas. "Di Mekong itu lahan sangat flat jadi satu, sehingga sangat efisien untuk penggunaan peralatan mekanisasinya, irigasi, ongkos pemasaran, dan sebagainya. Hal itu yang membuat berasnya relatif lebih murah," kata Ageng.
Data FAO, harga beras per Maret 2017 di Vietnam saat ini yakni US$ 0,31/kg atau Rp 4.120 (kurs Rp 13.290). Harga beras di negara Asia Tenggara lain yang berada di lembah Mekong seperti Thailand yakni US$ 0,33/kg, Myanmar US$ 0,28/kg, Kamboja US$ 0,42/kg.
Sementara harga rata-rata beras di Indonesia yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499. Pada tahun lalu, sebagaimana dirilis FAO, harga beras di Indonesia lebih mahal ketimbang rata-rata harga beras global. Harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kg, sementara harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain sesama produsen beras, harga beras di Indonesia relatif lebih mahal. Selain itu, harga makanan paling pokok penduduk di tanah air ini ternyata juga masih lebih mahal ketimbang harga rata-rata beras internasional. Data Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) merilis harga beras di Indonesia dengan harga beras rata-rata internasional di 2016 lalu. Harga beras dalam negeri US$ 1 /kg, sedangkan harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg.
Sebagai pembanding, harga di sejumlah negara penghasil beras ASEAN seperti Kamboja adalah US$ 0,42/kg. Harga beras di Thailand US$ 0,33/kg, Vietnam US$ 0,31/kg. Lalu harga beras di Myanmar bahkan US$ 0,28/kg. Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras dunia seperti India, juga memiliki harga beras yang lebih murah yakni US$ 0,48/kg, Bangladesh US$ 0,46/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg.
Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil beras terbesar ketiga di dunia dengan produksi gabah sebesar 70 juta ton, dengan konversi menjadi beras sekitar 39 juta ton beras, dengan kebutuhan rata-rata beras per bulan 2,67 juta ton. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, mengatakan lebih mahalnya harga beras ketimbang negara produsen lain di ASEAN tersebut lantaran ongkos produksi padi yang tinggi, khususnya karena sempitnya kepemilikan lahan petani.
"Mahal karena komponen ongkos sewa lahan terutama. Itu sangat tinggi, karena banyak petani enggak punya lahan, jadi dia harus sewa, atau punya lahan tapi sedikit. Jatuhnya di ongkos produksi padi yang mahal, jadinya harga jual relatif lebih mahal," jelas Ageng. Diungkapkannya, pola lahan di Indonesia yang sifatnya tersebar dan sempit membuat biaya produksi padi di Indonesia kurang efisien. Selain itu, basis produksi beras di Indonesia juga terlalu bergantung pada Pulau Jawa.
Hal ini berbeda dengan sistem budidaya di negara-negara Lembah Sungai Mekong seperti Thailand, Myanmar, dan Vietnam yang memiliki skala tanam sangat luas dengan kontur tanah yang datar, infrastruktur seperti jalan dan irigasi yang baik, mekanisasi pertanian yang lebih luas, dan pasca panen yang lebih baik. Di Vietnam, bahkan penguasaan tanah dilakukan negara, sehingga pengaturan penanaman padi diatur sangat ketat, terlebih hampir sangat minim terjadinya konversi lahan pertanian sebagaimana yang banyak terjadi di Indonesia.
"Sawah di negara-negara produsen beras besar di ASEAN itu lahannya flat jadi satu. Kita lahannya kecil-kecil, sehingga kurang efisien. Produktivitas memang kita tinggi, tapi ongkos produksinya lebih mahal," ungkap Ageng. "Vietnam itu lahan dikuasai negara, sehingga tidak boleh ada perubahan atau konversi. Wajar lahannya tetap luas. Sedang di kita kepemilikan pribadi petani, kepemilikannya kecil, sudah begitu semakin sempit," tambahnya.
Selain permasalahan lahan, komponen lain yang menciptakan biaya tinggi pada petani-petani di Indonesia yakni penggunaan pupuk yang tinggi. "Tentu kemudian pupuk, karena lahan petani terbatas di Indonesia, untuk mengejar produksi yang tinggi supaya nutup (balik modal), pengunaan pupuknya tinggi," terang Ageng.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan mahalnya harga beras Indonesia tak hanya karena mahalnya ongkos produksi padi petani dalam negeri, melainkan juga karena tingginya marjin dalam tata niaga beras.
"Mahal berasnya Indonesia juga karena disparitas harga yang tinggi dari produsen atau petani hingga ke konsumen. Marjin di tata niaga tinggi. Bahkan disparitasnya ini bisa hampir 100%. Harga beras yang kita beli di pasar harganya Rp 11.000/kg, di petani bisa hanya Rp 6.000/kg," ucap Enny.
Tata niaga perberasan yang panjang dan kurang efisien ini jadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia. Kemudian yakni pengelolaan pasca panen petani padi di Indonesia yang masih sangat tradisional. Penanganan padi pasca dipanen yang masih sangat sederhana, membuat banyak panen padi yang hilang (loss) cukup besar.
"Yang tidak bisa dilupakan itu loss dari pasca panen. Kita kan tahu kalau petani panen jemurnya sederhana, mesin perontoknya seadanya, ini kan mempengaruhi ke jumlah loss padi, kemudian juga pengaruh ke kualitas, dalam hal ini tingkat pecahnya," terang Enny. Namun demikian, beberapa negara lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, Filipina US$ 0,82/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg
Meski punya lahan pertanian yang cukup luas, namun ternyata harga beras di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan negara tetangga sesama produsen beras seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, mengatakan lebih mahalnya harga beras ketimbang negara produsen lain di ASEAN tersebut lantaran ongkos produksi padi yang tinggi, khususnya karena sempitnya kepemilikan lahan petani.
"Mahal karena komponen ongkos sewa lahan terutama. Itu sangat tinggi, karena banyak petani enggak punya lahan, jadi dia harus sewa, atau punya lahan tapi sedikit. Jatuhnya di ongkos produksi padi yang mahal, jadinya harga jual relatif lebih mahal," jelas Ageng. Diungkapkannya, pola lahan di Indonesia yang sifatnya tersebar dan sempit membuat biaya produksi padi di Indonesia kurang efisien.
Sebagai perbandingan, negara-negara yang berada di aliran Sungai Mekong seperti Thailand, Myanmar, atau Vietnam memiliki lahan yang datar dalam skala yang sangat luas. Hal ini membuat sistem pertanian bisa dilakukan dengan efisien, baik dalam hal irigasi dan infrastruktur lainnya.
"Sawah di negara-negara produsen beras besar di ASEAN itu lahannya flat jadi satu. Kita lahannya kecil-kecil, sehingga kurang efisien. Produktivitas memang kita tinggi, tapi ongkos produksinya lebih mahal," kata Ageng. Selain permasalahan lahan, komponen lain yang menciptakan biaya tinggi pada petani-petani di Indonesia yakni penggunaan pupuk yang tinggi. "Tentu kemudian pupuk, karena lahan petani terbatas di Indonesia, untuk mengejar produksi yang tinggi supaya nutup (balik modal), pengunaan pupuknya tinggi," terang Ageng.
Data FAO, harga rata-rata beras di Indonesia per Maret 2017 yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499 (kurs Rp 13.290). Sebagai pembanding, harga beras rata-rata per kg di Kamboja yakni US$ 0,42/kg. Harga beras dari negara lainnya Thailand yakni US$ 0,33/kg, dan kemudian Vietnam US$ 0,31/kg. Harga beras di Myanmar bahkan mencapai US$ 0,28/kg.
Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras di dunia seperti India juga memiliki harga beras yang lebih murah seperti Bangladesh US$ 0,46/kg, beras India US$ 0,48/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg. Namun demikian, beberapa negara Asia lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, Filipina US$ 0,82/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain produsen beras, harga beras di Indonesia terbilang relatif lebih mahal. Padahal, dari sisi lain, Indonesia memiliki luasan tanah yang jauh lebih besar. Berdasarkan Data Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), per Maret 2017 harga beras per kg Indonesia rata-rata yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499.
Sebagai pembanding, harga beras rata-rata per kg di Kamboja yakni US$ 0,42/kg. Harga beras dari negara lainnya Thailand yakni US$ 0,33/kg, dan kemudian Vietnam US$ 0,31/kg. Harga beras di Myanmar bahkan mencapai US$ 0,28/kg. Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras di dunia seperti India juga memiliki harga beras yang lebih murah seperti Bangladesh US$ 0,46/kg, beras India US$ 0,48/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg.
Namun demikian, beberapa negara lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg.
Sementara itu, jika membandingkan harga beras di Indonesia dengan harga beras rata-rata internasional pada tahun 2016 lalu, harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kg, kemudian harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg. Harga tersebut mengacu pada harga eceran rata-rata nasional di Indonesia.
Sunday, June 18, 2017
Charoen Pokphand Batal Akuisisi Sevel
Seven Eleven (Sevel) pernah menjadi salah satu tempat nongkrong favorit bagi sebagian anak muda Jakarta. Ini lantaran untuk dapat nongkrong berjam-jam di Sevel, pembeli tidak perlu merogoh kantong terlalu dalam. “Hanya butuh Rp 20 ribu, kita bisa berjam-jam nongkrong di sana, nggak diganggu sama mbak penjualnya. Tapi sekarang banyak yang sudah mulai tutup,” ujar Lidia, salah satu pengunjung Sevel.
Selain banyak gerai yang mulai tutup, hampir semua gerai Sevel yang tersisa, tak memiliki banyak produk lagi untuk dijual. Berdasarkan pantauan pada sejumlah gerai Sevel yang masih buka, hanya tersisa tiga hingga empat rak dengan jumlah produk yang dijual sangat terbatas. Minuman yang dijual pun, tak lagi beragam seperti dulu. Jenis minuman yang dijual bahkan bisa dihitung dengan jari. Sebagian lemari pendinginnya bahkan tak lagi diisi dan ditutupi karton. Salah satu gerai Sevel yang terletak di kawasan Tendean, Jakarta Selatan bahkan tak lagi menjual produk air mineral.
“Sudah sekitar satu bulan ini memang banyak yang kosong (rak-nya),” ujar salah satu pegawai Sevel.
Dia pun mengaku belum tahu kapan rak-rak kosong tersebut akan kembali diisi. “Mungkin habis lebaran diisi lagi, tapi saya juga nggak tahu pasti, saya cuma menjalankan tugas.”
Sebagai informasi pada awal tahun ini, sudah lebih dari 30 gerai Sevel yang ditutup. Jumlah ini meningkat dibandingkan penutupan gerai Sevel pada tahun lalu yang tercatat sebanyak 25 gerai. Mengutip DetikFinance, Corporate Secretary PT Modern Putra Indonesia (Sevel) Tina Novita, mengatakan, penutupan gerai dilakukan lantaran tidak dapat mencapai target untuk menutupi biaya operasional. Adapun induk usah Sevel, PT Modern Internasional Tbk (MDRN) dalam publikasinya di Bursa Effek Indonesia, tercatat mengalami kerugian sebesar Rp477 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp663 miliar.
Modern Internasional pun kemudian berencana menjual Sevel pada PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) lantaran bisnisnya terus merugi akibat kompetisi pasar yang tinggi. Padahal bisnis waralaba tersebut membutuhkan suntikan modal besar untuk mengembangkan bisnisnya di masa sepan. Adapun nilai transaksi penjualan waralaba tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp1 triliun.
“Alasan penjualan jaringan bisnis 7-Eleven di Indonesia adalah karena usahanya merugi, sebagai akibat dari kompetisi pasar yang tinggi,” terangnya. Sayangnya, rencana transaksi penjualan Sevel tersebut batal dilaksanakan. Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada 5 Juni lalu, Chandra, menjelaskan batalnya transaksi tersebut karena tidak tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Namun, hingga kini, induk usaha Sevel tersebut belum menjelaskan langkah lebih jauh yang akan dilakukannya pasca pembatalan transaksi tersebut. PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) mengakuisisi PT Modern Sevel Indonesia (MSI) yang dikenal sebagai pemilik jaringan toko waralaba modern 7-Eleven dengan nilai transaksi senilai Rp1 triliun.
Direktur MSI Chandra Wijaya menjelaskan, alasan penjualan jaringan bisnis 7-Eleven di Indonesia adalah karena usahanya merugi, sebagai akibat dari kompetisi pasar yang tinggi. Sementara itu, 7-Eleven membutuhkan suntikan modal besar untuk mengembangkan segmen bisnis pada masa datang.
"Segmen usaha ini (7-Eleven) mengalami kerugian di tahun-tahun terakhir," kata Chandra dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip Senin (24/4). Sampai September 2016 lalu, jumlah jaringan 7-Eleven di Indonesia tercatat 166 gerai sementara sepanjang tahun 2016, MDRN telah menutup sebanyak 25 gerai.
CPRI, perusahaan unggas yang telah melantai di bursa saham, berafiliasi dengan konglomerasi Thailand Grup Charoen Pokphand yang memang memegang trademark dan mengoperasikan 9500 gerai 7-Eleven di negara tersebut. Dikutip dari Indonesia-Investments, CPRI akan menciptakan konsep baru untuk 7-Eleven di Indonesia.
Proses akuisisi 7-Eleven ini ditargetkan tuntas sebelum atau pada tanggal 30 Juni 2017, apabila prasyarat pelaksanaan Transaksi terpenuhi, antara lain: Persetujuan-persetujuan korporasi dari MI dan MSI, termasuk persetujuan RUPS dan Dewan Komisaris sehubungan dengan rencana Transaksi telah diperoleh.
Chandra menjelaskan, sehubungan dengan rencana akuisisi ini, perseroan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari instansi Pemerintah, termasuk persetujuan Kementerian Perdagangan atas pengakhiran Perjanjian Waralaba (clean break) dan penunjukan CPRI selaku penerima waralaba yang baru, serta dari persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Selain banyak gerai yang mulai tutup, hampir semua gerai Sevel yang tersisa, tak memiliki banyak produk lagi untuk dijual. Berdasarkan pantauan pada sejumlah gerai Sevel yang masih buka, hanya tersisa tiga hingga empat rak dengan jumlah produk yang dijual sangat terbatas. Minuman yang dijual pun, tak lagi beragam seperti dulu. Jenis minuman yang dijual bahkan bisa dihitung dengan jari. Sebagian lemari pendinginnya bahkan tak lagi diisi dan ditutupi karton. Salah satu gerai Sevel yang terletak di kawasan Tendean, Jakarta Selatan bahkan tak lagi menjual produk air mineral.
“Sudah sekitar satu bulan ini memang banyak yang kosong (rak-nya),” ujar salah satu pegawai Sevel.
Dia pun mengaku belum tahu kapan rak-rak kosong tersebut akan kembali diisi. “Mungkin habis lebaran diisi lagi, tapi saya juga nggak tahu pasti, saya cuma menjalankan tugas.”
Sebagai informasi pada awal tahun ini, sudah lebih dari 30 gerai Sevel yang ditutup. Jumlah ini meningkat dibandingkan penutupan gerai Sevel pada tahun lalu yang tercatat sebanyak 25 gerai. Mengutip DetikFinance, Corporate Secretary PT Modern Putra Indonesia (Sevel) Tina Novita, mengatakan, penutupan gerai dilakukan lantaran tidak dapat mencapai target untuk menutupi biaya operasional. Adapun induk usah Sevel, PT Modern Internasional Tbk (MDRN) dalam publikasinya di Bursa Effek Indonesia, tercatat mengalami kerugian sebesar Rp477 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Kerugian tersebut mencapai lebih dari separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp663 miliar.
Modern Internasional pun kemudian berencana menjual Sevel pada PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) lantaran bisnisnya terus merugi akibat kompetisi pasar yang tinggi. Padahal bisnis waralaba tersebut membutuhkan suntikan modal besar untuk mengembangkan bisnisnya di masa sepan. Adapun nilai transaksi penjualan waralaba tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp1 triliun.
“Alasan penjualan jaringan bisnis 7-Eleven di Indonesia adalah karena usahanya merugi, sebagai akibat dari kompetisi pasar yang tinggi,” terangnya. Sayangnya, rencana transaksi penjualan Sevel tersebut batal dilaksanakan. Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada 5 Juni lalu, Chandra, menjelaskan batalnya transaksi tersebut karena tidak tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Namun, hingga kini, induk usaha Sevel tersebut belum menjelaskan langkah lebih jauh yang akan dilakukannya pasca pembatalan transaksi tersebut. PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) mengakuisisi PT Modern Sevel Indonesia (MSI) yang dikenal sebagai pemilik jaringan toko waralaba modern 7-Eleven dengan nilai transaksi senilai Rp1 triliun.
Direktur MSI Chandra Wijaya menjelaskan, alasan penjualan jaringan bisnis 7-Eleven di Indonesia adalah karena usahanya merugi, sebagai akibat dari kompetisi pasar yang tinggi. Sementara itu, 7-Eleven membutuhkan suntikan modal besar untuk mengembangkan segmen bisnis pada masa datang.
"Segmen usaha ini (7-Eleven) mengalami kerugian di tahun-tahun terakhir," kata Chandra dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip Senin (24/4). Sampai September 2016 lalu, jumlah jaringan 7-Eleven di Indonesia tercatat 166 gerai sementara sepanjang tahun 2016, MDRN telah menutup sebanyak 25 gerai.
CPRI, perusahaan unggas yang telah melantai di bursa saham, berafiliasi dengan konglomerasi Thailand Grup Charoen Pokphand yang memang memegang trademark dan mengoperasikan 9500 gerai 7-Eleven di negara tersebut. Dikutip dari Indonesia-Investments, CPRI akan menciptakan konsep baru untuk 7-Eleven di Indonesia.
Proses akuisisi 7-Eleven ini ditargetkan tuntas sebelum atau pada tanggal 30 Juni 2017, apabila prasyarat pelaksanaan Transaksi terpenuhi, antara lain: Persetujuan-persetujuan korporasi dari MI dan MSI, termasuk persetujuan RUPS dan Dewan Komisaris sehubungan dengan rencana Transaksi telah diperoleh.
Chandra menjelaskan, sehubungan dengan rencana akuisisi ini, perseroan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari instansi Pemerintah, termasuk persetujuan Kementerian Perdagangan atas pengakhiran Perjanjian Waralaba (clean break) dan penunjukan CPRI selaku penerima waralaba yang baru, serta dari persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Saturday, June 17, 2017
Penjualan Gudang Garam Hanya Mampu Raih Laba Rp 6,89 Triliun
Rapat Umum Pemegang Saham PT Gudang Garam Tbk membagikan deviden tunai tahun buku 2016 sebesar Rp 5 trilliun atau Rp 2.600 per lembar saham. Meski tak mengalami peningkatan dibanding tahun lalu, manajemen Gudang Garam mengaku bersyukur masih bisa mempertahankan bisnis.
Sekretaris Perusahaan PT Gudang Garam Heru Budiman mengatakan pembagian deviden tersebut merupakan upaya terbaik perusahaan dalam mempertahankan kinerja di tengah lesunya industri rokok tanah air. “Anda bilang stagnan, saya bilang Alhamdulillah masih bisa bertahan,” kata Heru dalam konferensi pers di Hotel Grand Surya Jalan Doho Kediri, Sabtu 17 Juni 2017.
Heru mengakui jika nilai deviden yang dibagikan tak mengalami kenaikan dibanding tahun buku 2015 kemarin. Namun perseroan telah berusaha semaksimal mungkin mempertahankan bisnis ini dan bisa membagikan keuntungan bagi pemegang saham seperti tahun sebelumnya. Heru menuturkan jika penjualan demostik produk rokok mereka mengalami penurunan dibanding tahun 2015. Jika jumlah penjualan rokok pada tahun 2015 untuk pasar domestik tercatat 74.6 miliar batang, maka pada tahun 2016 turun menjadi 72.9 miliar batang.
Sementara pada sektor ekspor, perusahaan yang bermarkas di Kediri ini mampu membukukan peningkatan penjualan dari 3 miliar batang di tahun 2015 menjadi 4 miliar batang di tahun 2016. “Menurut data Nielsen (perusahaan analisa data manajemen), industri rokok di tahun 2016 mengalami penurunan kecil,” kata Heru. Ada beberapa faktor, menurut Heru, yang mempengaruhi penurunan pendapatan bisnis rokok sepanjang tahun 2016. Diantaranya adalah penghasilan sekali pakai atau disposable income yang mengalami perbaikan ataupun kenaikan, sehingga perusahaan melakukan skala prioritas dalam penggunaan biaya.
Selain itu situasi perekonomian nasional yang pasang surut seperti kenaikan biaya transportasi serta kenaikan harga kebutuhan pokok yang memicu kenaikan biaya hidup turut memicu penurunan pendapatan perusahaan. “Ini memicu offside disposable income (penghasilan sekali pakai menjadi pasif),” kata Heru.
Namun demikian, dia juga memastikan jika keputusan pemerintah dalam menaikkan tariff dasar listrik tidak akan mempengaruhi beban operasional perusahaan. Sebab menurut Heru, listrik bukan merupakan komponen besar dalam industri rokok. Satu-satunya faktor yang mempengaruhi terhadap industri ini adalah besaran nilai cukai yang mencapai 60 – 70 persen dalam penentuan harga pokok penjualan.
Laba bersih PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) diperkirakan tumbuh menjadi Rp 6,89 triliun pada tahun ini dibandingkan dengan realisasi laba bersih pada 2016 sebesar Rp 6,67 triliun. Stevanus Juanda, analis dari UOB Kay Hian mengatakan, pihaknya berharap pertumbuhan laba bersih GGRM pada tahun ini tumbuh 3,8 persen. Secara tahunan da tidak mengesampingkan risiko downside.
Pasalnya, dia menjelaskan, daya beli masih lemah sehingga merupakan pertanda tidak baik bagi volume penjualan. Selain itu pajak pertambahan nilai (PPN) juga telah meningkat sebesar 20 persen, sedangkan harga jual sejauh ini meningkat kurang dari 5 persen. “GGRM perlu untuk menghasilkan lebih dari Rp1,67 triliun laba bersih per kuartal agar laba tetap sama [flat] secara tahunan pada 2017,” katanya dalam risetnya pada Selasa, 18 April 2017.
Oleh karena itu, pihaknya menurunkan rekomendasi GGRM menjadi HOLD dengan target harga Rp68.000 dan harga masuk (entry price) Rp61.000. Dia menambahkan, sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) harga saham GGRM naik 1,1 persen, tetapi jika ditengok sepanjang 1 terakhir harga saham GGRM turun 0,6 persen.
“Mengingat outlook operasional yang biasa-biasa saja. Kami memperkirakan situasi ‘dead money’ untuk 6 bulan ke depan. Kami akan bullish hanya pada akhir 2017 karena investor mulai mencari ke kinerja 2018,” katanya. PT Gudang Garam Tbk membagikan angpau Lebaran kepada masyarakat sekitar. Tak kurang dari 4.600 orang berebut mendapat uang saku Rp 20 ribu per kepala yang biasa disebut sebagai salam tempel. Bagi-bagi angpau ke masyarakat menjelang Idul Fitri merupakan tradisi pabrik rokok terbesar di Indonesia itu.
Perusahaan tidak membatasi jumlah maupun asal penerima, sehingga membuat ribuan orang dari Kota Kediri dan sekitarnya berduyun-duyun datang sejak pukul 04.30 WIB. Padahal pembagian angpau baru dimulai pukul 06.00 WIB. “Tiap orang mendapat jatah Rp 20 ribu,” kata Wakil Kepala Bagian Hubungan Masyarakat PT Gudang Garam Iwhan Tri Cahyono, Jumat, 1 Juli 2016.
Masyarakat yang antre sejak pagi langsung berbaris. Untuk menghindari desak-desakan, aparat keamanan membagi dalam dua kelompok antrean, yakni lajur perempuan dan laki-laki. Seluruh pengantre mendapat jatah uang yang sama tanpa membedakan jenis kelamin dan usia. Karena tak dibatasi, sebagian besar yang datang juga mengajak anggota keluarganya.
Iwhan menuturkan perusahaan tak pernah memberikan pengumuman resmi, baik secara langsung maupun melalui media massa soal pembagian salam tempel ini. Namun masyarakat sudah terbiasa mencari tahu informasi itu dari buruh Gudang Garam. Sebab, bagi-bagi angpau itu dilakukan bertepatan dengan hari libur buruh.
Namun, jumlah pengantre tahun ini menyusut jika dibanding tahun lalu. Bila tahun lalu jumlahnya sekitar 10 ribu orang, tahun ini tak lebih dari 4.600. “Mungkin informasinya tak banyak menyebar,” kata Iwhan. Iwahan berujar Gudang Garam membagikan angpau sesuai jumlah pengantre. Sebab, ujarnya, bagi-bagi angpau itu merupakan bagian dari program corporate social responsibility kepada masyarakat sekitar pabrik.
Untuk mengamankan pembagian sedekah ini, Gudang Garam dibantu seribu polisi, seratus satpam, unit pemadam kebakaran, dan tenaga medis. Rudianto, salah satu penerima angpau, mengaku rutin mencari sedekah ini sejak lima tahun lalu. Dia mengajak teman dan kerabatnya untuk mendapat uang seharga sebungkus rokok itu. “Kalau bisa nilainya ditambah,” kata pemuda yang bekerja sebagai pengamen ini.
Sekretaris Perusahaan PT Gudang Garam Heru Budiman mengatakan pembagian deviden tersebut merupakan upaya terbaik perusahaan dalam mempertahankan kinerja di tengah lesunya industri rokok tanah air. “Anda bilang stagnan, saya bilang Alhamdulillah masih bisa bertahan,” kata Heru dalam konferensi pers di Hotel Grand Surya Jalan Doho Kediri, Sabtu 17 Juni 2017.
Heru mengakui jika nilai deviden yang dibagikan tak mengalami kenaikan dibanding tahun buku 2015 kemarin. Namun perseroan telah berusaha semaksimal mungkin mempertahankan bisnis ini dan bisa membagikan keuntungan bagi pemegang saham seperti tahun sebelumnya. Heru menuturkan jika penjualan demostik produk rokok mereka mengalami penurunan dibanding tahun 2015. Jika jumlah penjualan rokok pada tahun 2015 untuk pasar domestik tercatat 74.6 miliar batang, maka pada tahun 2016 turun menjadi 72.9 miliar batang.
Sementara pada sektor ekspor, perusahaan yang bermarkas di Kediri ini mampu membukukan peningkatan penjualan dari 3 miliar batang di tahun 2015 menjadi 4 miliar batang di tahun 2016. “Menurut data Nielsen (perusahaan analisa data manajemen), industri rokok di tahun 2016 mengalami penurunan kecil,” kata Heru. Ada beberapa faktor, menurut Heru, yang mempengaruhi penurunan pendapatan bisnis rokok sepanjang tahun 2016. Diantaranya adalah penghasilan sekali pakai atau disposable income yang mengalami perbaikan ataupun kenaikan, sehingga perusahaan melakukan skala prioritas dalam penggunaan biaya.
Selain itu situasi perekonomian nasional yang pasang surut seperti kenaikan biaya transportasi serta kenaikan harga kebutuhan pokok yang memicu kenaikan biaya hidup turut memicu penurunan pendapatan perusahaan. “Ini memicu offside disposable income (penghasilan sekali pakai menjadi pasif),” kata Heru.
Namun demikian, dia juga memastikan jika keputusan pemerintah dalam menaikkan tariff dasar listrik tidak akan mempengaruhi beban operasional perusahaan. Sebab menurut Heru, listrik bukan merupakan komponen besar dalam industri rokok. Satu-satunya faktor yang mempengaruhi terhadap industri ini adalah besaran nilai cukai yang mencapai 60 – 70 persen dalam penentuan harga pokok penjualan.
Laba bersih PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) diperkirakan tumbuh menjadi Rp 6,89 triliun pada tahun ini dibandingkan dengan realisasi laba bersih pada 2016 sebesar Rp 6,67 triliun. Stevanus Juanda, analis dari UOB Kay Hian mengatakan, pihaknya berharap pertumbuhan laba bersih GGRM pada tahun ini tumbuh 3,8 persen. Secara tahunan da tidak mengesampingkan risiko downside.
Pasalnya, dia menjelaskan, daya beli masih lemah sehingga merupakan pertanda tidak baik bagi volume penjualan. Selain itu pajak pertambahan nilai (PPN) juga telah meningkat sebesar 20 persen, sedangkan harga jual sejauh ini meningkat kurang dari 5 persen. “GGRM perlu untuk menghasilkan lebih dari Rp1,67 triliun laba bersih per kuartal agar laba tetap sama [flat] secara tahunan pada 2017,” katanya dalam risetnya pada Selasa, 18 April 2017.
Oleh karena itu, pihaknya menurunkan rekomendasi GGRM menjadi HOLD dengan target harga Rp68.000 dan harga masuk (entry price) Rp61.000. Dia menambahkan, sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) harga saham GGRM naik 1,1 persen, tetapi jika ditengok sepanjang 1 terakhir harga saham GGRM turun 0,6 persen.
“Mengingat outlook operasional yang biasa-biasa saja. Kami memperkirakan situasi ‘dead money’ untuk 6 bulan ke depan. Kami akan bullish hanya pada akhir 2017 karena investor mulai mencari ke kinerja 2018,” katanya. PT Gudang Garam Tbk membagikan angpau Lebaran kepada masyarakat sekitar. Tak kurang dari 4.600 orang berebut mendapat uang saku Rp 20 ribu per kepala yang biasa disebut sebagai salam tempel. Bagi-bagi angpau ke masyarakat menjelang Idul Fitri merupakan tradisi pabrik rokok terbesar di Indonesia itu.
Perusahaan tidak membatasi jumlah maupun asal penerima, sehingga membuat ribuan orang dari Kota Kediri dan sekitarnya berduyun-duyun datang sejak pukul 04.30 WIB. Padahal pembagian angpau baru dimulai pukul 06.00 WIB. “Tiap orang mendapat jatah Rp 20 ribu,” kata Wakil Kepala Bagian Hubungan Masyarakat PT Gudang Garam Iwhan Tri Cahyono, Jumat, 1 Juli 2016.
Masyarakat yang antre sejak pagi langsung berbaris. Untuk menghindari desak-desakan, aparat keamanan membagi dalam dua kelompok antrean, yakni lajur perempuan dan laki-laki. Seluruh pengantre mendapat jatah uang yang sama tanpa membedakan jenis kelamin dan usia. Karena tak dibatasi, sebagian besar yang datang juga mengajak anggota keluarganya.
Iwhan menuturkan perusahaan tak pernah memberikan pengumuman resmi, baik secara langsung maupun melalui media massa soal pembagian salam tempel ini. Namun masyarakat sudah terbiasa mencari tahu informasi itu dari buruh Gudang Garam. Sebab, bagi-bagi angpau itu dilakukan bertepatan dengan hari libur buruh.
Namun, jumlah pengantre tahun ini menyusut jika dibanding tahun lalu. Bila tahun lalu jumlahnya sekitar 10 ribu orang, tahun ini tak lebih dari 4.600. “Mungkin informasinya tak banyak menyebar,” kata Iwhan. Iwahan berujar Gudang Garam membagikan angpau sesuai jumlah pengantre. Sebab, ujarnya, bagi-bagi angpau itu merupakan bagian dari program corporate social responsibility kepada masyarakat sekitar pabrik.
Untuk mengamankan pembagian sedekah ini, Gudang Garam dibantu seribu polisi, seratus satpam, unit pemadam kebakaran, dan tenaga medis. Rudianto, salah satu penerima angpau, mengaku rutin mencari sedekah ini sejak lima tahun lalu. Dia mengajak teman dan kerabatnya untuk mendapat uang seharga sebungkus rokok itu. “Kalau bisa nilainya ditambah,” kata pemuda yang bekerja sebagai pengamen ini.
Wednesday, June 14, 2017
Indosat Gagal dan Keluar Dari Bisnis Digital
Indosat Ooredoo kembali fokus ke bisnis inti perusahaan mereka, yaitu telekomunikasi setelah menyatakan memberhentikan beberapa aktivitas di layanan bisnis digital. Kondisi tersebut berbeda dengan yang dialami Hutchison 3 Indonesia (Tri). Tri baru saja merilis layanan digital yang dinamakan Bima+, sebuah aplikasi yang bisa diakses hanya lewat smartphone saja. Di dalam Bima+ tersedia banyak layanan digital, misalnya music, movie, ataupun e-commerce.
"Kita melihatnya pengguna 3G dan 4G yang mengarah pada mobile broadband, itu masa depan ada di sana. Digital itu apa yang bisa dilakukan dalam satu apps satu hubs, kita kembangkan aplikasi yang menghubungi digital dalam satu hub, mulai dari music, movie, hingga e-commerce," ujar Chief Commercial Officer Tri, Dolly Susanto ditemui di kantornya.
Disebutkan bahwa Bima+ adalah asisten gaya hidup digital yang dirancang untuk memberikan dukungan, solusi, dan hiburan untuk memberikan pengguna. Sejak diluncurkan dua minggu lalu, Bima+ diklaim telah 250 ribu kali diunduh dan 75% pengguna aktif. Pada kesempatan yang sama, Vice President Tri, Muhammad Danny Buldansyah, mengatakan Bima+ hanya bisa diakses lewat smartphone saja karena pihaknya menyasar segmentasi pasar generasi muda.
"Targetnya itu pelanggan kita dan kalangan millenial tapi Bima+ ini netral alias bisa diakses oleh semua pelanggan operator. Konten yang disukai produk dari Tri, movie, dan e-commerce," jawab Danny. Ketika ditanya mengenai pengembangan digital oleh operator hingga mendapatkan hasil yang sesuai, Danny mengatakan bahwa menjalankan bisnis digital itu terbilang sulit bila dibandingkan dengan biasanya. Sehingga memerlukan waktu hingga bertahun-tahun untuk dapat merasakan panen dari layanan digital yang digarapnya.
"Sekarang kita baru tahap menanam belum menuai, masih lama. Kita lihat dan mengikuti tren di Amerika (Serikat) hingga China, yang toko retail pada tutup semua dengan beralih ke online. Online itu bukan karena murah tapi barangkali nyaman dan gak buang waktu, pastinya buka toko online ongkosnya lebih kecil dari toko fisik," tuturnya.
Bahkan dorongan untuk terus menggarap layanan bisnis digital ini datang dari pemegang saham perusahaan, Hutcshison yang memiliki pemodal ventura beranama Horizon. Hal itu yang semakin menegaskan Tri untuk terus menjalankan roda bisnis digital, meskipun operator tetangga mengalami kesulitan dengan bisnis digitalnya.
"Horizon ini bukan sembarangan loh, mereka ini investor pertama Facebook dan Siri. Bisnis digital kalau dilakukan inovasi dan di-manage dengan baik itu akan punya value yang luar biasa untuk perusahaan. Kita lakukan riset luar biasa, berpartner, dan belajar dari banyak pihak," ucap Danny.
Indosat Ooredoo mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha yang terkait layanan bisnis digital. Hal itu membuat mereka memutuskan untuk balik fokus ke bisnis inti perusahaan, yakni telekomunikasi. Sebelumnya tepat pada 1 Juni 2017, salah satu layanan bisnis digital mereka yang bergerak di bidang e-commerce, yakni Cipika, berhenti beroperasi. Sebab, setelah bertahun-tahun dibangun oleh Indosat Ooredoo, Cipika dianggap belum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi perusahaan.
Setelah sektor e-commere harus dimatikan, Indosat juga memberhentikan bisnis digital di sektor mobile payement. Kabar tersebut langsung diamini oleh CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli. Dijelaskan oleh Alex bahwa bisnis digital yang digelutinya tidak sesuai harapan, sehingga Indosat Ooredoo saat ini lebih fokus memilih untuk kembali ke bisnis inti, yaitu telekomunikasi yang meliputi seluler, business to business (B2B), hingga fiber optik.
"Buktinya saya harus menghentikannya (Dompetku), "ujar Alex. Alex menuturkan tidak ada yang salah dengan strateginya menjalankan bisnis digital, khususnya dalam hal ini layanan Dompetku. Namun, dikatakannya, karena merusak Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, dan Amortization (EBITDA), itu membuat Indosat mengerem pengoperasian Dompetku.
"Apapun kalau spend (membelanjakan) itu merusak EBITDA, mau 0,1% atau berapa itu merusak EBITDA. Sudah empat tahun spending tapi penggunaannya baru naik kalau dikasih promosi, kayak e-commerce, sama," tuturnya. Dengan demikian, maka tinggal Indonesia Mobile Exchange (IMX), sebuah solusi pemasangan iklan, yang masih bertahan di bisnis digital operator yang identik warna kuning dan merah ini.
Lebih lanjut, Alex mengatakan kalau investasi di bisnis digital tidak dapat diukur kedalamannya, berbeda dengan bisnis telekomunikasi yang selama ini dijalankannya. "November ini, saya lima tahun jadi CEO. Dari tahun pertama jalani digital tapi gak ada yang berhasil. Ada revenue dan pengguna tapi gak berkelanjutan. Setiap mau tumbuh harus mengorbankan yang lain, misalnya uang yang seharusnya bisa pakai marketing, sales, pasang jaringan, dan lainnya," kata pria berkacamata ini.
Maka, Indosat Ooredoo tahun ini akan lebih fokus kembali ke bisnis telekomunikasi. Seperti diketahui penggunaan layanan data jadi primadona dibandingkan suara ataupun SMS. Indosat Ooredoo pun mencari agar dapat meningkatkan penggunaan data oleh para pelanggannya.
"Sekarang back to basic, core-nya di situ (telekomunikasi) yang selalu ada device, punya lisensi, frekuensi, itu kuncinya," sebutnya. Pesatnya penetrasi smartphone dan beragam aplikasi mobile membuat pertumbuhan layanan data semakin besar. Data pun disebut menjadi konsumsi pendapatan tertinggi untuk layanan seluler di Indosat Ooredoo.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar hari ini, Rabu (24/5/2017), Indosat Ooredoo mencatat pendapatan dari data mencapai 46,7%. Sementara untuk voice dan SMS hanya berkisar 1,1% dan 0,4%, ditambah dengan pendapatan VAS (Value Added Service) berjumlah 39,1%.
"Saat ini yang paling dominan memang sudah data. Jadi waktu ditutup tahun 2016 itu berada di 43% dan di tahun 2017 ini sudah mendekati 50%. Sisanya voice dan SMS. Ini untuk seluler di luar corporate services," ujar Direktur Utama Indosat Ooredoo, Alexander Rusli.
Meski data menoreh pendapatan tertinggi, Alex mengakui bahwa hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi operator. Karena pada kenyatannya, margin keuntungan dari data masih jauh lebih kecil dari margin voice dan SMS. "Kalau misalnya per Kb data kita jual itu rugi. Jadi memang masih dikonsumsi dari voice dan SMS," ucap Alex.
Menurut Alex hal itu bisa saja diakali dengan mengajak pelanggan beramai-ramai hijrah dari 2G ke 3G atau kalau bisa langsung ke 4G. Strategi semacam itu dinilai bisa membalik keadaan di mana berjualan per Kb bisa jadi menguntungkan.
"Kita melihatnya pengguna 3G dan 4G yang mengarah pada mobile broadband, itu masa depan ada di sana. Digital itu apa yang bisa dilakukan dalam satu apps satu hubs, kita kembangkan aplikasi yang menghubungi digital dalam satu hub, mulai dari music, movie, hingga e-commerce," ujar Chief Commercial Officer Tri, Dolly Susanto ditemui di kantornya.
Disebutkan bahwa Bima+ adalah asisten gaya hidup digital yang dirancang untuk memberikan dukungan, solusi, dan hiburan untuk memberikan pengguna. Sejak diluncurkan dua minggu lalu, Bima+ diklaim telah 250 ribu kali diunduh dan 75% pengguna aktif. Pada kesempatan yang sama, Vice President Tri, Muhammad Danny Buldansyah, mengatakan Bima+ hanya bisa diakses lewat smartphone saja karena pihaknya menyasar segmentasi pasar generasi muda.
"Targetnya itu pelanggan kita dan kalangan millenial tapi Bima+ ini netral alias bisa diakses oleh semua pelanggan operator. Konten yang disukai produk dari Tri, movie, dan e-commerce," jawab Danny. Ketika ditanya mengenai pengembangan digital oleh operator hingga mendapatkan hasil yang sesuai, Danny mengatakan bahwa menjalankan bisnis digital itu terbilang sulit bila dibandingkan dengan biasanya. Sehingga memerlukan waktu hingga bertahun-tahun untuk dapat merasakan panen dari layanan digital yang digarapnya.
"Sekarang kita baru tahap menanam belum menuai, masih lama. Kita lihat dan mengikuti tren di Amerika (Serikat) hingga China, yang toko retail pada tutup semua dengan beralih ke online. Online itu bukan karena murah tapi barangkali nyaman dan gak buang waktu, pastinya buka toko online ongkosnya lebih kecil dari toko fisik," tuturnya.
Bahkan dorongan untuk terus menggarap layanan bisnis digital ini datang dari pemegang saham perusahaan, Hutcshison yang memiliki pemodal ventura beranama Horizon. Hal itu yang semakin menegaskan Tri untuk terus menjalankan roda bisnis digital, meskipun operator tetangga mengalami kesulitan dengan bisnis digitalnya.
"Horizon ini bukan sembarangan loh, mereka ini investor pertama Facebook dan Siri. Bisnis digital kalau dilakukan inovasi dan di-manage dengan baik itu akan punya value yang luar biasa untuk perusahaan. Kita lakukan riset luar biasa, berpartner, dan belajar dari banyak pihak," ucap Danny.
Indosat Ooredoo mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha yang terkait layanan bisnis digital. Hal itu membuat mereka memutuskan untuk balik fokus ke bisnis inti perusahaan, yakni telekomunikasi. Sebelumnya tepat pada 1 Juni 2017, salah satu layanan bisnis digital mereka yang bergerak di bidang e-commerce, yakni Cipika, berhenti beroperasi. Sebab, setelah bertahun-tahun dibangun oleh Indosat Ooredoo, Cipika dianggap belum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi perusahaan.
Setelah sektor e-commere harus dimatikan, Indosat juga memberhentikan bisnis digital di sektor mobile payement. Kabar tersebut langsung diamini oleh CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli. Dijelaskan oleh Alex bahwa bisnis digital yang digelutinya tidak sesuai harapan, sehingga Indosat Ooredoo saat ini lebih fokus memilih untuk kembali ke bisnis inti, yaitu telekomunikasi yang meliputi seluler, business to business (B2B), hingga fiber optik.
"Buktinya saya harus menghentikannya (Dompetku), "ujar Alex. Alex menuturkan tidak ada yang salah dengan strateginya menjalankan bisnis digital, khususnya dalam hal ini layanan Dompetku. Namun, dikatakannya, karena merusak Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, dan Amortization (EBITDA), itu membuat Indosat mengerem pengoperasian Dompetku.
"Apapun kalau spend (membelanjakan) itu merusak EBITDA, mau 0,1% atau berapa itu merusak EBITDA. Sudah empat tahun spending tapi penggunaannya baru naik kalau dikasih promosi, kayak e-commerce, sama," tuturnya. Dengan demikian, maka tinggal Indonesia Mobile Exchange (IMX), sebuah solusi pemasangan iklan, yang masih bertahan di bisnis digital operator yang identik warna kuning dan merah ini.
Lebih lanjut, Alex mengatakan kalau investasi di bisnis digital tidak dapat diukur kedalamannya, berbeda dengan bisnis telekomunikasi yang selama ini dijalankannya. "November ini, saya lima tahun jadi CEO. Dari tahun pertama jalani digital tapi gak ada yang berhasil. Ada revenue dan pengguna tapi gak berkelanjutan. Setiap mau tumbuh harus mengorbankan yang lain, misalnya uang yang seharusnya bisa pakai marketing, sales, pasang jaringan, dan lainnya," kata pria berkacamata ini.
Maka, Indosat Ooredoo tahun ini akan lebih fokus kembali ke bisnis telekomunikasi. Seperti diketahui penggunaan layanan data jadi primadona dibandingkan suara ataupun SMS. Indosat Ooredoo pun mencari agar dapat meningkatkan penggunaan data oleh para pelanggannya.
"Sekarang back to basic, core-nya di situ (telekomunikasi) yang selalu ada device, punya lisensi, frekuensi, itu kuncinya," sebutnya. Pesatnya penetrasi smartphone dan beragam aplikasi mobile membuat pertumbuhan layanan data semakin besar. Data pun disebut menjadi konsumsi pendapatan tertinggi untuk layanan seluler di Indosat Ooredoo.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar hari ini, Rabu (24/5/2017), Indosat Ooredoo mencatat pendapatan dari data mencapai 46,7%. Sementara untuk voice dan SMS hanya berkisar 1,1% dan 0,4%, ditambah dengan pendapatan VAS (Value Added Service) berjumlah 39,1%.
"Saat ini yang paling dominan memang sudah data. Jadi waktu ditutup tahun 2016 itu berada di 43% dan di tahun 2017 ini sudah mendekati 50%. Sisanya voice dan SMS. Ini untuk seluler di luar corporate services," ujar Direktur Utama Indosat Ooredoo, Alexander Rusli.
Meski data menoreh pendapatan tertinggi, Alex mengakui bahwa hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi operator. Karena pada kenyatannya, margin keuntungan dari data masih jauh lebih kecil dari margin voice dan SMS. "Kalau misalnya per Kb data kita jual itu rugi. Jadi memang masih dikonsumsi dari voice dan SMS," ucap Alex.
Menurut Alex hal itu bisa saja diakali dengan mengajak pelanggan beramai-ramai hijrah dari 2G ke 3G atau kalau bisa langsung ke 4G. Strategi semacam itu dinilai bisa membalik keadaan di mana berjualan per Kb bisa jadi menguntungkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)