Monday, June 19, 2017

Harga Beras Mahal Karena Margin Keuntungan Yang Diambil Tinggi

Food and Agriculture Organization (FAO) merilis harga beras Indonesia lebih tinggi dibandingkan harga beras internasional. Pada tahun 2016 lalu, harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kilogram (kg), sementara harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg. Harga tersebut mengacu pada harga eceran rata-rata nasional di Indonesia.

Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan mahalnya harga beras Indonesia tak hanya karena mahalnya ongkos produksi padi petani dalam negeri, melainkan juga karena tingginya margin dalam tata niaga beras.

"Mahal berasnya Indonesia juga karena disparitas harga yang tinggi dari produsen atau petani hingga ke konsumen. Margin di tata niaga tinggi. Bahkan disparitasnya ini bisa hampir 100%. Harga beras yang kita beli di pasar harganya Rp 11.000/kg, di petani bisa hanya Rp 6.000/kg," jelas Enny.

Diungkapkannya, tata niaga beras yang panjang dan kurang efisien ini jadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia.  Selain itu di sektor hulu, sambungnya, rendahnya produktivitas rata-rata padi nasional juga membuat harga beras di Indonesia tergolong mahal dibandingkan dengan negara ASEAN lain sesama produsen beras.

"Kedua itu produktivitas lahan kita yang rata-rata nasional 5 sekian ton per hektar. Ini bicara rata-rata se-Indonesia, bukan per spot. Di Jawa memang banyak yang produktivitas sampai 10 ton per hektar, tapi kalau rata-rata nasional itu 5 ton per hektar. Negara lain sudah di atas itu," jelas Enny. Kemudian pengelolaan pasca panen petani padi di Indonesia yang masih sangat tradisional. Penanganan padi pasca dipanen yang masih sangat sederhana, membuat banyak panen padi yang hilang (loss) cukup besar.

"Yang tidak bisa dilupakan itu loss dari pasca panen. Kita kan tahu kalau petani panen jemurnya sederhana, mesin perontoknya seadanya, ini kan mempengaruhi ke jumlah loss padi, kemudian juga ngaruh ke kualitas, dalam hal ini tingkat pecahnya," terang Enny. Indonesia diberkahi dengan tanah subur dan luas. Namun demikian, bukan berarti kondisi ini membuat beras bisa diproduksi lebih murah ketimbang negara-negara ASEAN sesama produsen beras.

Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, menjelaskan kurang efisiennya produksi beras di Indonesia lantaran selama puluhan tahun mengandalkan lahan pertanian di Pulau Jawa.  "Jawa ini yang paling subur, infrastrukturnya yang paling siap. Lahannya benar-benar subur karena tanah vulkanik, ini berbeda dengan sekali dengan lahan di luar Jawa. Lebih banyak mengandalkan Jawa," kata Ageng.

Diungkapkannya, pemerintah perlu melakukan relokasi lahan ke luar Jawa yang tanahnya masih luas. Namun demikian, terlebih dahulu perlu disiapkan infrastruktur yang baik sebagaimana di Jawa.  "Lahan paling subur memang di Jawa, tapi kelebihan di luar Jawa itu luasannya relatif besar. Di Jawa karena sawahnya kecil-kecil, ongkos produksinya enggak efisien. Investasinya juga besar untuk buka lahan," ujar Ageng.

Di sisi lain, masalah di pertanian padi di luar Jawa tak hanya sekedar masalah lahan, melainkan juga sumber daya manusia, dalam hal ini petani, yang masih sangat terbatas. "Lahan banyak tapi sumber daya manusia atau orang yang pengetahuan tentang padi itu kebanyakan di Jawa. Sumber daya manusia di luar Jawa ini belum banyak yang menguasai soal padi. Beda dengan petani di Jawa yang memang sejak dulu hidup dari padi," terang Ageng.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengumpulkan berbagai indikasi yang menyebabkan harga beras di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara lain, khususnya di kawasan ASEAN. Salah satunya adalah biaya produksi yang tinggi. "Nah ini perlu kita selidiki. Karena penyebabnya pertama, bisa karena ongkos produksi di negara lain lebih rendah dibanding kita. Jadi kita menghasilkan per kg beras berarti lebih mahal dari negara lain," ungkap Ketua KPPU Syarkawi Rauf.

Menurutnya kondisi ini perlu mendapat pembenahan lebih serius dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Padahal menurut Syarkawi, dari sisi produksi beras nasional sendiri, jumlahnya sudah cukup berlimpah. "Nah ini yang harus kita perbaiki dari waktu ke waktu karena ada data yang menunjukkan bahwa harga di Indonesia lebih tinggi dibanding internasional," terangnya.

Sementara itu faktor lain seperti rantai distribusi yang terlalu panjang disadari KPPU juga membuat harga di tingkat pengecer lebih mahal dibandingkan negara lain. Dengan demikian Syarkawi menganggap, upaya ini yang perlu ditiru dari negara lain.  "Kedua, jangan-jangan faktor rantai distribusi kita yang terlalu mahal yang membuat harga di end user itu terlalu tinggi dibandingkan negara lain yang lebih efisien dari sisi rantai distribusi," ujarnya.

Sementara dugaan terakhir menurut Syarkawi yakni, adanya pola penjualan beras dari negara lain ke pasar internasional dengan harga yang lebih murah, lantaran kelebihan pasokan stok. "Ketiga, jangan sampai ada pola di negara lain itu mereka kelebihan produksi sehingga dijual ke pasar internasional dengan harga yang lebih murah dibanding harga di dalam negerinya sendiri," terangnya

Dalam urusan beras, Vietnam bisa jadi satu dari sekian banyak negara yang sukses dalam produksi berasnya. Dengan produksi beras tahunan rata-rata di atas 28 juta ton, negara tersebut jadi salah satu pengekspor beras dunia sejak beberapa tahun belakangan.  Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, menjelaskan di negara tersebut pengembangan lahan untuk sawah padi diatur sangat ketat oleh pemerintah.

Hal ini memungkinkan penanaman padi dilakukan dilahan yang sangat luas dan terkonsentrasi, dengan dukungan infrastruktur yang memadai hingga pasca panen. Di sisi lain, pengusahaan lahan oleh negara meminimalkan alih fungsi lahan oleh petani. "Di Vietnam itu lahan dikuasai negara, sehingga tidak boleh ada perubahan atau konversi. Wajar lahannya tetap luas. Sedang di kita kepemilikan pribadi petani, kepemilikannya kecil, sudah begitu semakin sempit," terang Ageng.

Selain itu, lanjutnya, sebagaimana negara-negara produsen beras lain yang berada di lembah Sungai Mekong, membuat Vietnam memiliki lahan yang sangat cocok untuk tanaman padi dalam skala sangat luas. "Di Mekong itu lahan sangat flat jadi satu, sehingga sangat efisien untuk penggunaan peralatan mekanisasinya, irigasi, ongkos pemasaran, dan sebagainya. Hal itu yang membuat berasnya relatif lebih murah," kata Ageng.

Data FAO, harga beras per Maret 2017 di Vietnam saat ini yakni US$ 0,31/kg atau Rp 4.120 (kurs Rp 13.290). Harga beras di negara Asia Tenggara lain yang berada di lembah Mekong seperti Thailand yakni US$ 0,33/kg, Myanmar US$ 0,28/kg, Kamboja US$ 0,42/kg.

Sementara harga rata-rata beras di Indonesia yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499. Pada tahun lalu, sebagaimana dirilis FAO, harga beras di Indonesia lebih mahal ketimbang rata-rata harga beras global. Harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kg, sementara harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain sesama produsen beras, harga beras di Indonesia relatif lebih mahal. Selain itu, harga makanan paling pokok penduduk di tanah air ini ternyata juga masih lebih mahal ketimbang harga rata-rata beras internasional. Data Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) merilis harga beras di Indonesia dengan harga beras rata-rata internasional di 2016 lalu. Harga beras dalam negeri US$ 1 /kg, sedangkan harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg.

Sebagai pembanding, harga di sejumlah negara penghasil beras ASEAN seperti Kamboja adalah US$ 0,42/kg. Harga beras di Thailand US$ 0,33/kg, Vietnam US$ 0,31/kg. Lalu harga beras di Myanmar bahkan US$ 0,28/kg. Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras dunia seperti India, juga memiliki harga beras yang lebih murah yakni US$ 0,48/kg, Bangladesh US$ 0,46/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg.

Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil beras terbesar ketiga di dunia dengan produksi gabah sebesar 70 juta ton, dengan konversi menjadi beras sekitar 39 juta ton beras, dengan kebutuhan rata-rata beras per bulan 2,67 juta ton. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, mengatakan lebih mahalnya harga beras ketimbang negara produsen lain di ASEAN tersebut lantaran ongkos produksi padi yang tinggi, khususnya karena sempitnya kepemilikan lahan petani.

"Mahal karena komponen ongkos sewa lahan terutama. Itu sangat tinggi, karena banyak petani enggak punya lahan, jadi dia harus sewa, atau punya lahan tapi sedikit. Jatuhnya di ongkos produksi padi yang mahal, jadinya harga jual relatif lebih mahal," jelas Ageng. Diungkapkannya, pola lahan di Indonesia yang sifatnya tersebar dan sempit membuat biaya produksi padi di Indonesia kurang efisien. Selain itu, basis produksi beras di Indonesia juga terlalu bergantung pada Pulau Jawa.

Hal ini berbeda dengan sistem budidaya di negara-negara Lembah Sungai Mekong seperti Thailand, Myanmar, dan Vietnam yang memiliki skala tanam sangat luas dengan kontur tanah yang datar, infrastruktur seperti jalan dan irigasi yang baik, mekanisasi pertanian yang lebih luas, dan pasca panen yang lebih baik. Di Vietnam, bahkan penguasaan tanah dilakukan negara, sehingga pengaturan penanaman padi diatur sangat ketat, terlebih hampir sangat minim terjadinya konversi lahan pertanian sebagaimana yang banyak terjadi di Indonesia.

"Sawah di negara-negara produsen beras besar di ASEAN itu lahannya flat jadi satu. Kita lahannya kecil-kecil, sehingga kurang efisien. Produktivitas memang kita tinggi, tapi ongkos produksinya lebih mahal," ungkap Ageng. "Vietnam itu lahan dikuasai negara, sehingga tidak boleh ada perubahan atau konversi. Wajar lahannya tetap luas. Sedang di kita kepemilikan pribadi petani, kepemilikannya kecil, sudah begitu semakin sempit," tambahnya.

Selain permasalahan lahan, komponen lain yang menciptakan biaya tinggi pada petani-petani di Indonesia yakni penggunaan pupuk yang tinggi. "Tentu kemudian pupuk, karena lahan petani terbatas di Indonesia, untuk mengejar produksi yang tinggi supaya nutup (balik modal), pengunaan pupuknya tinggi," terang Ageng.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan mahalnya harga beras Indonesia tak hanya karena mahalnya ongkos produksi padi petani dalam negeri, melainkan juga karena tingginya marjin dalam tata niaga beras.

"Mahal berasnya Indonesia juga karena disparitas harga yang tinggi dari produsen atau petani hingga ke konsumen. Marjin di tata niaga tinggi. Bahkan disparitasnya ini bisa hampir 100%. Harga beras yang kita beli di pasar harganya Rp 11.000/kg, di petani bisa hanya Rp 6.000/kg," ucap Enny.

Tata niaga perberasan yang panjang dan kurang efisien ini jadi kontributor dominan mahalnya harga beras di Indonesia. Kemudian yakni pengelolaan pasca panen petani padi di Indonesia yang masih sangat tradisional. Penanganan padi pasca dipanen yang masih sangat sederhana, membuat banyak panen padi yang hilang (loss) cukup besar.

"Yang tidak bisa dilupakan itu loss dari pasca panen. Kita kan tahu kalau petani panen jemurnya sederhana, mesin perontoknya seadanya, ini kan mempengaruhi ke jumlah loss padi, kemudian juga pengaruh ke kualitas, dalam hal ini tingkat pecahnya," terang Enny. Namun demikian, beberapa negara lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, Filipina US$ 0,82/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg

Meski punya lahan pertanian yang cukup luas, namun ternyata harga beras di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan negara tetangga sesama produsen beras seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Indonesia Representative Assistant Food and Agriculture Organization (FAO), Ageng Herianto, mengatakan lebih mahalnya harga beras ketimbang negara produsen lain di ASEAN tersebut lantaran ongkos produksi padi yang tinggi, khususnya karena sempitnya kepemilikan lahan petani.

"Mahal karena komponen ongkos sewa lahan terutama. Itu sangat tinggi, karena banyak petani enggak punya lahan, jadi dia harus sewa, atau punya lahan tapi sedikit. Jatuhnya di ongkos produksi padi yang mahal, jadinya harga jual relatif lebih mahal," jelas Ageng. Diungkapkannya, pola lahan di Indonesia yang sifatnya tersebar dan sempit membuat biaya produksi padi di Indonesia kurang efisien.

Sebagai perbandingan, negara-negara yang berada di aliran Sungai Mekong seperti Thailand, Myanmar, atau Vietnam memiliki lahan yang datar dalam skala yang sangat luas. Hal ini membuat sistem pertanian bisa dilakukan dengan efisien, baik dalam hal irigasi dan infrastruktur lainnya.

"Sawah di negara-negara produsen beras besar di ASEAN itu lahannya flat jadi satu. Kita lahannya kecil-kecil, sehingga kurang efisien. Produktivitas memang kita tinggi, tapi ongkos produksinya lebih mahal," kata Ageng. Selain permasalahan lahan, komponen lain yang menciptakan biaya tinggi pada petani-petani di Indonesia yakni penggunaan pupuk yang tinggi. "Tentu kemudian pupuk, karena lahan petani terbatas di Indonesia, untuk mengejar produksi yang tinggi supaya nutup (balik modal), pengunaan pupuknya tinggi," terang Ageng.

Data FAO, harga rata-rata beras di Indonesia per Maret 2017 yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499 (kurs Rp 13.290). Sebagai pembanding, harga beras rata-rata per kg di Kamboja yakni US$ 0,42/kg. Harga beras dari negara lainnya Thailand yakni US$ 0,33/kg, dan kemudian Vietnam US$ 0,31/kg. Harga beras di Myanmar bahkan mencapai US$ 0,28/kg.

Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras di dunia seperti India juga memiliki harga beras yang lebih murah seperti Bangladesh US$ 0,46/kg, beras India US$ 0,48/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg. Namun demikian, beberapa negara Asia lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, Filipina US$ 0,82/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain produsen beras, harga beras di Indonesia terbilang relatif lebih mahal. Padahal, dari sisi lain, Indonesia memiliki luasan tanah yang jauh lebih besar. Berdasarkan Data Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), per Maret 2017 harga beras per kg Indonesia rata-rata yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499.

Sebagai pembanding, harga beras rata-rata per kg di Kamboja yakni US$ 0,42/kg. Harga beras dari negara lainnya Thailand yakni US$ 0,33/kg, dan kemudian Vietnam US$ 0,31/kg. Harga beras di Myanmar bahkan mencapai US$ 0,28/kg. Beberapa negara yang selama ini jadi eksportir beras di dunia seperti India juga memiliki harga beras yang lebih murah seperti Bangladesh US$ 0,46/kg, beras India US$ 0,48/kg, Pakistan US$ 0,42/kg, dan Sri Lanka US$ 0,50/kg.

Namun demikian, beberapa negara lain di Asia memiliki harga beras yang lebih mahal ketimbang Indonesia, seperti Jepang yang harga berasnya US$ 4,11/kg, China US$ 0,91/kg, Korea Selatan US$ 1,57, Laos US$ 1,01/kg, Nepal US$ 1,03/kg, Arab Saudi US$ 2,16/kg, dan Palestina US$ 1,95/kg.

Sementara itu, jika membandingkan harga beras di Indonesia dengan harga beras rata-rata internasional pada tahun 2016 lalu, harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kg, kemudian harga beras internasional hanya sekitar US$ 0,4 /kg. Harga tersebut mengacu pada harga eceran rata-rata nasional di Indonesia.

No comments:

Post a Comment