Wednesday, June 14, 2017

Indosat Gagal dan Keluar Dari Bisnis Digital

Indosat Ooredoo kembali fokus ke bisnis inti perusahaan mereka, yaitu telekomunikasi setelah menyatakan memberhentikan beberapa aktivitas di layanan bisnis digital. Kondisi tersebut berbeda dengan yang dialami Hutchison 3 Indonesia (Tri). Tri baru saja merilis layanan digital yang dinamakan Bima+, sebuah aplikasi yang bisa diakses hanya lewat smartphone saja. Di dalam Bima+ tersedia banyak layanan digital, misalnya music, movie, ataupun e-commerce.

"Kita melihatnya pengguna 3G dan 4G yang mengarah pada mobile broadband, itu masa depan ada di sana. Digital itu apa yang bisa dilakukan dalam satu apps satu hubs, kita kembangkan aplikasi yang menghubungi digital dalam satu hub, mulai dari music, movie, hingga e-commerce," ujar Chief Commercial Officer Tri, Dolly Susanto ditemui di kantornya.

Disebutkan bahwa Bima+ adalah asisten gaya hidup digital yang dirancang untuk memberikan dukungan, solusi, dan hiburan untuk memberikan pengguna. Sejak diluncurkan dua minggu lalu, Bima+ diklaim telah 250 ribu kali diunduh dan 75% pengguna aktif. Pada kesempatan yang sama, Vice President Tri, Muhammad Danny Buldansyah, mengatakan Bima+ hanya bisa diakses lewat smartphone saja karena pihaknya menyasar segmentasi pasar generasi muda.

"Targetnya itu pelanggan kita dan kalangan millenial tapi Bima+ ini netral alias bisa diakses oleh semua pelanggan operator. Konten yang disukai produk dari Tri, movie, dan e-commerce," jawab Danny. Ketika ditanya mengenai pengembangan digital oleh operator hingga mendapatkan hasil yang sesuai, Danny mengatakan bahwa menjalankan bisnis digital itu terbilang sulit bila dibandingkan dengan biasanya. Sehingga memerlukan waktu hingga bertahun-tahun untuk dapat merasakan panen dari layanan digital yang digarapnya.

"Sekarang kita baru tahap menanam belum menuai, masih lama. Kita lihat dan mengikuti tren di Amerika (Serikat) hingga China, yang toko retail pada tutup semua dengan beralih ke online. Online itu bukan karena murah tapi barangkali nyaman dan gak buang waktu, pastinya buka toko online ongkosnya lebih kecil dari toko fisik," tuturnya.

Bahkan dorongan untuk terus menggarap layanan bisnis digital ini datang dari pemegang saham perusahaan, Hutcshison yang memiliki pemodal ventura beranama Horizon. Hal itu yang semakin menegaskan Tri untuk terus menjalankan roda bisnis digital, meskipun operator tetangga mengalami kesulitan dengan bisnis digitalnya.

"Horizon ini bukan sembarangan loh, mereka ini investor pertama Facebook dan Siri. Bisnis digital kalau dilakukan inovasi dan di-manage dengan baik itu akan punya value yang luar biasa untuk perusahaan. Kita lakukan riset luar biasa, berpartner, dan belajar dari banyak pihak," ucap Danny.

Indosat Ooredoo mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha yang terkait layanan bisnis digital. Hal itu membuat mereka memutuskan untuk balik fokus ke bisnis inti perusahaan, yakni telekomunikasi. Sebelumnya tepat pada 1 Juni 2017, salah satu layanan bisnis digital mereka yang bergerak di bidang e-commerce, yakni Cipika, berhenti beroperasi. Sebab, setelah bertahun-tahun dibangun oleh Indosat Ooredoo, Cipika dianggap belum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi perusahaan.

Setelah sektor e-commere harus dimatikan, Indosat juga memberhentikan bisnis digital di sektor mobile payement. Kabar tersebut langsung diamini oleh CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli. Dijelaskan oleh Alex bahwa bisnis digital yang digelutinya tidak sesuai harapan, sehingga Indosat Ooredoo saat ini lebih fokus memilih untuk kembali ke bisnis inti, yaitu telekomunikasi yang meliputi seluler, business to business (B2B), hingga fiber optik.

"Buktinya saya harus menghentikannya (Dompetku), "ujar Alex. Alex menuturkan tidak ada yang salah dengan strateginya menjalankan bisnis digital, khususnya dalam hal ini layanan Dompetku. Namun, dikatakannya, karena merusak Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, dan Amortization (EBITDA), itu membuat Indosat mengerem pengoperasian Dompetku.

"Apapun kalau spend (membelanjakan) itu merusak EBITDA, mau 0,1% atau berapa itu merusak EBITDA. Sudah empat tahun spending tapi penggunaannya baru naik kalau dikasih promosi, kayak e-commerce, sama," tuturnya. Dengan demikian, maka tinggal Indonesia Mobile Exchange (IMX), sebuah solusi pemasangan iklan, yang masih bertahan di bisnis digital operator yang identik warna kuning dan merah ini.

Lebih lanjut, Alex mengatakan kalau investasi di bisnis digital tidak dapat diukur kedalamannya, berbeda dengan bisnis telekomunikasi yang selama ini dijalankannya. "November ini, saya lima tahun jadi CEO. Dari tahun pertama jalani digital tapi gak ada yang berhasil. Ada revenue dan pengguna tapi gak berkelanjutan. Setiap mau tumbuh harus mengorbankan yang lain, misalnya uang yang seharusnya bisa pakai marketing, sales, pasang jaringan, dan lainnya," kata pria berkacamata ini.

Maka, Indosat Ooredoo tahun ini akan lebih fokus kembali ke bisnis telekomunikasi. Seperti diketahui penggunaan layanan data jadi primadona dibandingkan suara ataupun SMS. Indosat Ooredoo pun mencari agar dapat meningkatkan penggunaan data oleh para pelanggannya.

"Sekarang back to basic, core-nya di situ (telekomunikasi) yang selalu ada device, punya lisensi, frekuensi, itu kuncinya," sebutnya. Pesatnya penetrasi smartphone dan beragam aplikasi mobile membuat pertumbuhan layanan data semakin besar. Data pun disebut menjadi konsumsi pendapatan tertinggi untuk layanan seluler di Indosat Ooredoo.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar hari ini, Rabu (24/5/2017), Indosat Ooredoo mencatat pendapatan dari data mencapai 46,7%. Sementara untuk voice dan SMS hanya berkisar 1,1% dan 0,4%, ditambah dengan pendapatan VAS (Value Added Service) berjumlah 39,1%.

"Saat ini yang paling dominan memang sudah data. Jadi waktu ditutup tahun 2016 itu berada di 43% dan di tahun 2017 ini sudah mendekati 50%. Sisanya voice dan SMS. Ini untuk seluler di luar corporate services," ujar Direktur Utama Indosat Ooredoo, Alexander Rusli.

Meski data menoreh pendapatan tertinggi, Alex mengakui bahwa hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi operator. Karena pada kenyatannya, margin keuntungan dari data masih jauh lebih kecil dari margin voice dan SMS. "Kalau misalnya per Kb data kita jual itu rugi. Jadi memang masih dikonsumsi dari voice dan SMS," ucap Alex.

Menurut Alex hal itu bisa saja diakali dengan mengajak pelanggan beramai-ramai hijrah dari 2G ke 3G atau kalau bisa langsung ke 4G. Strategi semacam itu dinilai bisa membalik keadaan di mana berjualan per Kb bisa jadi menguntungkan.

No comments:

Post a Comment