Sunday, March 27, 2022

Kisah Pemburu Riba Dibalik Banjir Barang Impor Pemerintah

 Pengadaan barang dan jasa pemerintah dibanjiri produk impor. Hal ini pun bikin Presiden Joko Widodo geram. Dia jengkel anggaran belanja pemerintah sampai ratusan triliun namun banyak dibelikan barang-barang impor. Di balik banjir barang impor yang bikin jengkel Jokowi, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira ada ulah PNS pemburu riba impor. Hal ini menjadi salah satu biang kerok pengadaan barang dan jasa menggunakan barang impor daripada produk lokal.

Bhima mengatakan pemburu riba rente bekerja di tahap seleksi pengadaan barang dan jasa. Mereka para PNS ini melakukan kongkalikong agar barang lokal kalah dalam proses seleksi. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena aturan soal penyerapan produk lokal dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah kurang tegas implementasinya.

"Sejauh ini karena aturan belum tegas implementasinya, muncullah pemburu rente di bidang pengadaan barang jasa. Para PNS pemburu riba/rente ini kongkalikong dengan importir agar barang lokal kalah dalam proses seleksi," jelas Bhima.

Dia juga menyatakan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai lahan basah korupsi. Buktinya, sepanjang 2021, KPK sudah mengusut 30 kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Di level pemerintah daerah PNS yang korupsi pengadaan barang juga menempati posisi tertinggi.

Menurutnya, perlu ada perbaikan tata kelola pengadaan barang dan jasa. Termasuk, memperjelas dan mempertegas persentase kewajiban produk lokal pada barang-barang yang dibeli lembaga pemerintah.

"Ladang di pengadaan barang paling basah, jadi perlu perbaikan tata kelola sehingga pengadaan lebih transparan. Selain itu juga, persentase produk lokalnya harus lebih jelas dan aturan benar-benar ditegakkan," ujae Bhima. Bhima pun mendukung bila presiden mau membuka nama-nama menterinya yang gagal meningkatkan porsi produk lokal dalam pengadaan barang dan jasa. Khusus BUMN, dia meminta agar PMN-nya dikurangi saja.

"Khusus untuk BUMN, bisa dikurangi PMN-nya saja jika tidak ada perbaikan signifikan dalam pengadaan barang dan jasa," sebut Bhima.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menambahkan memang benar adanya dugaan kurang tegasnya penerapan aturan soal penyerapan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selama ini slogan 'Cinta Produk dalam Negeri' digaungkan namun implementasi aturannya lemah. "Ini kan nyanyian lama juga cinta produk dalam negeri, namun ini tataran pengawasan dan law enforcementnya kurang di jajaran pemerintah. Padahal kan persentase berapa produk dalam negeri dan impor kan sudah ada," ungkap Trubus.

"Nah kalau masih ada keluhan soal impor berlebihan kan berarti ada yang berlebihan, law enforcement-nya nggak jalan," pungkasnya.

Terbaru, Jokowi dibuat jengkel karena banyaknya produk impor di Indonesia. Jokowi bahkan menyebut kata 'bodoh' hingga melarang tepuk tangan saat memberikan arahan di depan para kepala daerah hingga menteri. Kekesalan Jokowi itu diluapkan saat menyampaikan pengarahan kepada para menteri, kepala lembaga, kepala daerah, dan BUMN tentang aksi afirmasi bangga buatan Indonesia yang digelar di Badung, Bali, seperti disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (25/3/2022).

Jokowi menyinggung susahnya belanja produk dalam negeri. Jokowi kemudian menyentil kementerian-kementerian dan di momen inilah dia menyinggung reshuffle. "Kementerian, sama saja, tapi itu bagian saya itu. Reshuffle, udah, heeeh saya itu, kayak gini nggak bisa jalan," kata Jokowi. "Sudah di depan mata, uangnya ada, uang uang kita sendiri, tinggal belanjakan produk dalam negeri saja sulit," imbuh Jokowi.

Jokowi juga membeberkan informasi terkait seragam tentara dan polisi yang masih impor. Dia meminta impor ini dihentikan. "Coba CCTV beli impor. di dalam negeri ada yang bisa produksi. Apa-apaan ini, dipikir kita bukan negara yang maju, buat CCTV saja beli impor. Seragam dan sepatu tentara dan polisi beli dari luar. Kita ini produksi di mana-mana bisa. Jangan diterus-teruskan," imbuh Jokowi.




No comments:

Post a Comment