Industri manufaktur Indonesia disebut-sebut pernah menguasai 20% sepatu olahraga dunia. Namun kini, jumlahnya merosot jadi hanya tersisa 2%.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Koperasi dan Usaha, Kecil, Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki dalam acara 15th Kompas 100 CEO Forum. Persoalan ini disinggungnya saat membahas tentang industrialisasi di Indonesia.
Teten mengatakan, Indonesia pernah melakukan industrialisasi besar-besaran pada pertengahan tahun '90-an. Pada kala itu, prosesnya dilakukan dengan mengundang investasi asing dan relokasi industri manufaktur.
"Hanya mencari tenaga kerja, karena bahan bakunya segala macam, teknologinya dari luar," kata Teten, dalam acara 15th Kompas 100 CEO Forum Powered by PLN
Adapun pabrik-pabrik asing ini termasuk dengan pabrik sepatu olahraga bermerek ternama dunia. Kondisi industrialisasi ini pun bahkan sempat membuat manufaktur RI menguasai 20% produk sepatu olahraga dunia. Namun kondisi ini tak bertahan selamanya.
"Ini kan sunset industry. Kita pernah menguasai 20% sepatu olahraga dunia, hari ini tinggal 2%," ujarnya.
Menurut Teten, industri di Indonesia akan lebih berkelanjutan apabila RI mendorong industrialisasi dengan berfokus pada hilirisasi sumber daya yang dimiliki dari dalam negeri. Dengan demikian, akan tercipta lapangan kerja berkualitas bagi masyarakat.
"Ini saya berkeyakinan ini industri yang akan sustain, akan tumbuh. Nah jadi ini yang saya kira perlu dilakukan. Jadi bagaimana sekali lagi kita menciptakan lapangan kerja yang berkualitas," kata dia.
Tidak jauh berbeda dari sisi UMKM, menurutnya pemerintahan ke depan perlu melakukan intervensi dari sisi teknologi dan pembiayaan demi melahirkan UMKM berkelanjutan. Adapun RI juga punya PR untuk memperbesar akses pembiayaan perbankan di lingkup UMKM yang baru mencapai 20-21%.
Dengan mendorong perkembangan teknologi dan pembiayaan, harapannya UMKM juga mampu melahirkan lapangan kerja berkualitas. Menurutnya, hal ini akan jauh lebih baik ketimbang mengundang relokasi industri manufaktur asing yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Ia juga mengingatkan agar jangan sampai peristiwa tahun '80-'90-an itu terulang lagi.
"Kalau kita mau mengulang lagi seperti tahun '80-an, mengundang relokasi industri manufaktur yang labor intensive. Hari ini dengan penerapan IOT di industri manufaktur, saya tidak terlalu optimis. Saya sudah lihat di Korea, di Jepang, tidak ada kepentingan mereka relokasi," ujar Teten.
"Karena sudah sangat efisien dengan IOT smart factory. Bahkan di dalam negeri sudah ada perusahaan-perusahaan manufaktur yang menggunakan smart factory IOT yang sangat minimum membutuhkan tenaga kerja. Nah ini dari sisi produksi efisiensi bagus, tapi dari isu lapangan kerja kurang bagus," sambungnya.
No comments:
Post a Comment