Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menilai daya beli masyarakat menurun. Hal ini lantaran uang untuk berbelanja makin tipis.
Ketua Umum APPBI Alphonsus Widjaja mengatakan dengan kondisi sulit saat ini, masyarakat cenderung memilih harga yang lebih murah untuk barang yang sama.
"Dikarenakan uang yang dipegang semakin sedikit, maka saat ini pola belanja masyarakat kelas menengah bawah cenderung untuk membeli barang ataupun produk dengan nilai atau harga satuan yang lebih kecil atau murah," ujarnya.
Menurutnya, penurunan daya beli masyarakat terjadi sejak awal tahun. Penurunan makin parah setelah Hari Raya Idulfitri 2024, terutama di luar pulau Jawa.
Kondisi keuangan masyarakat kelas menengah yang menipis ini menjadi salah satu penyebab mereka memilih barang impor. Pasalnya, harga yang murah menjadi fokus utama pembeli.
"Inilah juga yang menjadi salah satu penyebab kenapa barang impor ilegal semakin marak dikarenakan harganya yang sangat murah akibat tidak membayar berbagai pungutan dan pajak sebagaimana mestinya," jelasnya.
Alphonsus memperkirakan kondisi ini akan berlangsung sampai akhir tahun. Imbasnya, ia memprediksi pertumbuhan industri usaha ritel sepanjang 2024 anjlok atau hanya single digit dibandingkan sebelumnya.
Ia menekankan untuk mengatasi permasalahan ini, pengusaha tidak bisa sendiri. Berbagai langkah telah ditempuh mulai dari memperkecil kemasan hingga menyelenggarakan program belanja seperti Jakarta Great Sale sampai Indonesia Shopping Festival dengan memberikan diskon besar-besaran, tapi tetap tidak berhasil.
Karenanya, ia mendesak pemerintah turun tangan. Salah satunya, menunda rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Pasalnya, kebijakan itu dinilai akan menambah beban masyarakat dan memperburuk industri usaha ritel.
"Rencana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen adalah salah faktor yang berpotensi memperlemah daya beli masyarakat kelas menengah bawah, sehingga sebaiknya rencana tersebut ditunda sementara waktu sampai dengan kondisi telah menjadi lebih baik," pungkasnya.
BPS mencatat Indonesia sebelumnya mengalami deflasi dalam lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024.
Pada September 2024, deflasi tercatat 0,12 persen (mtm). Ini menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan deflasi ini memang pertanda penurunan daya beli masyarakat dan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar.
Hal ini terlihat dari konsumsi kelompok atas yang tetap stabil bahkan lebih fokus pada kebutuhan tersier. Artinya, alih-alih mengurangi konsumsi, mereka yang berada di lapisan atas justru tetap membelanjakan uang mereka, tetapi untuk barang-barang yang bersifat mewah atau hiburan.
"Di sisi lain, kelas menengah bawah yang daya belinya terus tergerus oleh berbagai faktor seperti inflasi, pengangguran, dan ketidakpastian ekonomi mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, apalagi untuk konsumsi barang tersier. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan yang sangat nyata dalam distribusi pendapatan di masyarakat," jelasnya.
No comments:
Post a Comment