Colliers International Indonesia, konsultan properti menyebutkan harga sewa rata-rata gedung perkantoran di kawasan bisnis (central business district/CBD) turun 6,2 persen sepanjang tahun lalu. Senior Associate Director Ferry Salanto mengatakan, harga sewa perkantoran menjadi Rp311.750 per meter persegi pada 2016. Hal ini juga disebabkan karena pengelola gedung perkantoran cenderung mempertahankan harga mereka di kisaran Rp200 ribu-Rp350 ribu per meter persegi pada periode 2014-2015.
"Rata-rata gedung ini berkategori premium dan grade A," ungkap Ferry, Kamis (5/1).
Sementara, untuk rata-rata harga ruang perkantoran di luar kawasan CBD pada 2016 berkisar Rp225.801 per meter persegi atau melorot 5,3 persen dari tahun sebelumnya. Menurut Ferry, infrastruktur di sekitar kawasan perkantoran tak banyak memengaruhi kenaikan harga gedung perkantoran di luar kawasan CBD, karena sepinya permintaan ruang perkantoran.
Terlebih lagi, ia melanjutkan, perusahaan akan melakukan negosiasi dengan pengelola gedung untuk mendapatkan penawaran harga terbaik. Senior Associate Directur Office Services Ricky Tarore menerangkan, perusahaan besar dapat melakukan negosiasi untuk menurunkan harga hingga lima persen dari harga yang dipublikasikan oleh pengembang.
"Untuk perusahaan multinasional, pokoknya yang memiliki profil bagus biasanya pengembang bakal lebih percaya. Jadi, memberikan harga yang sesuai dengan permintaan," imbuh dia. Hanya saja, hal itu juga diukur berdasarkan luas unit yang akan disewa oleh calon tenant. Semakin luas unitnya, maka semakin besar diskon yang diberikan.
"Untuk luas yang kecil mungkin lima persen diskonnya, untuk luas besar bisa sampai 15 persen," jelasnya.Adapun, untuk harga sewa tahun ini, Colliers memprediksi, stagnan dengan tahun lalu. Pengelola gedung kemungkinan besar tidak menaikkan harga sewanya untuk sementara demi menarik lebih banyak tenant. Soalnya, tingkat okupansi pada 2017 diprediksi terus menurun hingga ke level 80 persen dari 2016 sebesar 85 persen.
Mayoritas emiten properti sepanjang sembilan pertama ini belum menorehkan kinerja yang terbilang baik. Hal itu terlihat dari empat emiten besar properti yang rata-rata mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bersih. Berdasarkan catatan, dari empat emiten tersebut, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) mencatatkan penurunan laba bersih terbesar yaitu, 92,86 persen menjadi Rp57,61 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp807,28 miliar. Penurunan laba bersih ini beriringan dengan turunnya pendapatan perusahaan sebesar 19,59 persen dari Rp4,49 triliun menjadi Rp3,61 triliun.
Penurunan kinerja lainnya terjadi pada PT Ciputra Development Tbk (CTRA) yang membukukan laba bersih Rp478,98 miliar atau turun 48,77 persen dari sebelumnya Rp935,11 miliar. Sementara, perusahaan mencatat penurunan pendapatan 17,72 persen menjadi Rp4,41 triliun dari Rp5,36 triliun.
Emiten terakhir yang juga mencatat penurunan yakni, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE). Di mana laba perusahaan turun 33,13 persen menjadi Rp1,15 triliun dari Rp1,72 triliun. Penurunan tersebut imbas dari turunnya pendapatan perusahaan sebesar 8,6 persen menjadi Rp4,25 triliun dari sebelumnya Rp4,65 triliun.
Sementara, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) berhasil tumbuh ditengah melemahnya emiten properti lainnya hingga September ini. Laba bersih perusahaan tumbuh hingga 39 persen menjadi Rp1,31 triliun dari Rp942,91 miliar. Namun, pendapatan perusahaan hanya tumbuh tipis sebesar 1,96 persen dari Rp3,56 triliun menjadi Rp3,63 triliun.
Menurut analis Daewoo Securities Franky Rivan, kinerja Summarecon Agung yang masih buruk disebabkan karena pra penjualan (marketing sales) pada kuartal III ini hanya tumbuh 23,7 persen atau sebesar Rp489 miliar jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, jumlah marketing sales ini turun 62,8 persen.
Namun, jika dilihat sejak awal tahun hingga akhir September jumlah marketing sales Summarecon Agung berjumlah Rp2,2 triliun, sementara target hingga akhir tahun Rp3,5 triliun. Namun, untuk Pakuwon Jati, marketing sales yang diraup pada kuartal III ini berjumlah Rp580 miliar. Angka tersebut tumbuh 16 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tetapi hanya tumbuh 6,2 persen jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yaitu Rp546 miliar.
Adapun, untuk perolehan marketing sales sejak awal tahun hingga akhir September sebesar Rp1,7 triliun, sementara target akhir tahun sebesar Rp3,1 triliun. Secara umum, properti terlihat masih melambat disebabkan harga properti yang kian mahal saat ini. Franky menuturkan, kenaikan harga properti tak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat Indonesia. Di mana kenaikan harga properti terjadi lebih cepat.
“Dari sisi harga, harga properti masih kemahalan. Properti indeks lebih cepat dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB kan pendapatan. Jadi enggak seimbang,” ungkap Franky, Selasa (1/11).
Hal tersebut yang menyebabkan daya beli masyarakat masih melemah hingga saat ini. Maka tak heran jika pertumbuhan marketing sales emiten properti tak signifikan. Padahal, pemerintah sudah banyak mengeluarkan insentif untuk menggenjot sektor properti tahun ini, misalnya penurunan suku bunga, kebijakan Loan to Value (LTV), dan pemotongan pajak. Sayangnya, insentif ini tak diiringi dengan harga properti yang kian mahal.
“Jadi masyarakat juga enggak begitu merespon,” imbuhnya. Dengan demikian, ia menilai properti akan masih lambat hingga semester I tahun depan. Namun, pada semester II 2017 diprediksi properti akan mulai tumbuh dengan masuknya dana amnesti pajak ke berbagai sektor
No comments:
Post a Comment