Memang, jika dibandingkan dengan awal tahun level IHSG saat ini terbilang lebih baik karena masih bertahan di level 5.000. Kendati demikian, level impian di angka 6.000 tak juga pecah telur. Berbeda dengan posisi awal tahun yang dibuka di level 4.525, IHSG terus melaju hingga menyentuh level terbarunya di 5.016 pada 30 Juni lalu atau dua hari setelah Undang-Undang (UU) amnesti pajak disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Wacana amnesti pajak yang memang telah berhembus sejak awal tahun ini telah membangkitkan kembali optimisme pasar modal. Dana repatriasi yang masuk diyakini dapat menggenjot investasi di Indonesia dari berbagai sektor dan melalui berbagai instrumen yang tersaji di pasar modal.
Tak tanggung-tanggung, demi meningkatkan gairah di pasar modal, Bursa Efek Indonesia (BEI) pun membuat berbagai kebijakan seperti memberikan insentif pembiayaan pencatatan (listing fee) bagi perusahaan biasa yang ingin melantai di bursa atau melakukan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO) mencapai 50 persen hingga akhir periode amnesti pajak berakhir.
Tak hanya itu, BEI juga memberikan aturan terkait insentif diskon transaksi balik nama atau crossing saham untuk para wajib pajak (WP) yang mengikuti program pengampunan (tax amnesty) sebesar 45 persen. Hal ini tercantum dalam surat edaran BEI nomor SE-00002/BEI/08-2016.
Setelah amnesti pajak, optimisme pasar kian tumbuh dengan kembalinya Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) pada 27 Juli lalu menggantikan Bambang Brodjonegoro yang dipindahkan menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Saat itu, otomatis indeks tambah melaju ke level 5.274.
Atmosfer positif yang ada di lantai bursa usai Sri Mulyani didapuk menjadi bendahara negara, membuat IHSG mampu terus menanjak hingga mencapai level puncak di 5.472 pada 4 Oktober 2016
“Sebenarnya awal tahun memang kita mulai agak tertekan, tapi kemudian pasar cukup confident dengan kembalinya Sri Mulyani, nah asing mulai masuk lagi,” ungkap Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utama saat dihubungi.
Sayang, kepercayaan tersebut seketika runtuh dengan menangnya Donald Trump menjadi presiden AS yang diumumkan pada 9 November lalu. Saat itu, IHSG langsung merosot ke level 5.414 atau turun 56,36 poin (1,03 persen). Tak berhenti sampai di situ, IHSG terus anjlok hingga ke jatuh ke level 5.231 pada penutupan perdagangan 11 November dan rata-rata saham berkapitalisasi besar khususnya perbankan merah pada hari itu.
Seperti diketahui, salah satu dari kebijakan Trump adalah menumbuhkan perekonomian AS dengan menggenjot pembangunan infrastruktur, persis seperti apa yang menjadi visi Presiden Joko Widodo dalam menumbuhkan ekonomi Indonesia.
Dengan kebijakan tersebut, tentu AS memerlukan banyak dana untuk mendukung misi Trump. Untuk merangsang banyaknya dana masuk ke AS, beberapa hal yang mungkin akan dilakukan oleh negara adidaya tersebut ialah menerbitkan instrumen seperti obligasi atau surat utang negara. Hal ini akan mendorong mata uang dolar AS keluar dari Indonesia dan kembali ke negaranya. Sehingga, dana asing yang keluar (capital outflow) otomatis akan banyak. Terlebih lagi, saat ini The Fed telah menaikkan suku bunganya pada bulan ini dan menyatakan bakal menaikkan suku bunganya lebih cepat pada tahun depan.
Kondisi tersebut diyakini tambah membuat investor asing untuk keluar dari Indonesia dan berpindah investasi di AS karena suku bunga yang lebih menarik. Ditambah dengan keberanian Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga 7 days repo rate sebesar 4,75 persen pada bulan ini.
“Investor akan berpikir lebih baik investasi di AS, suku bunga lebih bagus imbal hasil lebih bagus,” ungkap analis Daewoo Securities Heldy Arifien. Melihat kondisi saat ini yang minim sentimen positif, Heldy pun tak menampik jika IHSG dapat ditutup di bawah level 5.000 pada akhir tahun ini. Ia memprediksi IHSG bergerak dalam rentang support 4.900 dan resisten 5.150 hingga akhir tahun. Sementara, Satrio masih percaya IHSG ditutup pada level 5.000.
Jika berbicara tahun depan, sejumlah analis masih belum dapat memastikan kondisi pasar tahun depan secara keseluruhan. Pasalnya, kebijakan yang akan diputuskan oleh Donald Trump setelah dilantik pada Januari tahun depan tersebut akan mempengaruhi laju perdagangan saham dalam negeri.
Heldy menilai, kuartal pertama tahun depan dapat menjadi patokan laju IHSG 2017. Menurutnya terlalu dini jika memprediksi IHSG secara keseluruhan karena IHSG sendiri masih diluputi ketidakpastian, baik dari dalam dan luar negeri. Dengan kebijakan BI yang mempertahankan suku bunganya bulan ini, ia masih akan melihat bagaimana suku bunga yang akan ditetapkan BI tahun depan.
“Nanti kalau tidak disesuaikan dengan suku bunga The Fed akan memicu capital outflow juga, di sana naik di sini tetap,” papar dia. Namun, BI sendiri terbilang dilema dalam memutuskan menaikkan suku bunga atau tidak. Pasalnya, jika BI menaikkan suku bunga, maka akan berimbas negatif pada emiten perbankan, tetapi jika tidak dinaikkan investor asing akan terus keluar dari Indonesia.
“Jadi memang di lain sisi itu memberatkan perbankan sih,” imbuhnya. Hingga kuartal pertama 2017 sendiri, ia memprediksi IHSG dapat melaju dalam rentang 5.035 hingga 5.050. IHSG masih memiliki sentimen positif dari laporan kinerja keuangan emiten secara tahunan penuh yang diprediksi membaik.
Untuk sektornya sendiri, Heldy menilai sektor infrastruktur bakal menjadi primadona seiring dengan program infrastruktur yang digenjot oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini disebabkan proyek infrastruktur pada tahun ini belum seluruhnya berjalan, sehingga proyek akan diteruskan tahun depan.
“Masih akan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor konstruksi berarti,” ungkap Heldy. Selain itu, emiten berbasis komoditas juga menarik untuk dicermati pada tahun seiring dengan kenaikan harga komoditas tiga bulan terakhir ini. Misalnya saja PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Di lain sisi, analis senior Binaartha Securities Reza Priyambada menilai semua sektor berpeluang untuk bergerak positif, terutama sektor barang dan konsumsi, dan perbankan yang masih terus akan menarik karena berhubungan dengan permintaan masyarakat. “Kalau sektor lain kena imbas dari sektor itu. Misalnya perbankan, ketika dia menguat karena kredit, jadi sektor properti juga kena, jadi ada multiplier effect,” kata Reza. Selain itu, ia juga melihat sektor perkebunan bakal menarik karena harga komoditasnya yang akhir-akhir ini mengalami peningkatan. Dengan begitu, ketiga sektor tersebut dapat dikatakan menjadi penopang dari laju IHSG tahun depan.
Mayoritas emiten properti sepanjang sembilan pertama ini belum menorehkan kinerja yang terbilang baik. Hal itu terlihat dari empat emiten besar properti yang rata-rata mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bersih.
Berdasarkan catatan, dari empat emiten tersebut, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) mencatatkan penurunan laba bersih terbesar yaitu, 92,86 persen menjadi Rp57,61 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp807,28 miliar. Penurunan laba bersih ini beriringan dengan turunnya pendapatan perusahaan sebesar 19,59 persen dari Rp4,49 triliun menjadi Rp3,61 triliun.
Penurunan kinerja lainnya terjadi pada PT Ciputra Development Tbk (CTRA) yang membukukan laba bersih Rp478,98 miliar atau turun 48,77 persen dari sebelumnya Rp935,11 miliar. Sementara, perusahaan mencatat penurunan pendapatan 17,72 persen menjadi Rp4,41 triliun dari Rp5,36 triliun.
Emiten terakhir yang juga mencatat penurunan yakni, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE). Di mana laba perusahaan turun 33,13 persen menjadi Rp1,15 triliun dari Rp1,72 triliun. Penurunan tersebut imbas dari turunnya pendapatan perusahaan sebesar 8,6 persen menjadi Rp4,25 triliun dari sebelumnya Rp4,65 triliun.
Sementara, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) berhasil tumbuh ditengah melemahnya emiten properti lainnya hingga September ini. Laba bersih perusahaan tumbuh hingga 39 persen menjadi Rp1,31 triliun dari Rp942,91 miliar. Namun, pendapatan perusahaan hanya tumbuh tipis sebesar 1,96 persen dari Rp3,56 triliun menjadi Rp3,63 triliun.
Menurut analis Daewoo Securities Franky Rivan, kinerja Summarecon Agung yang masih buruk disebabkan karena pra penjualan (marketing sales) pada kuartal III ini hanya tumbuh 23,7 persen atau sebesar Rp489 miliar jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, jumlah marketing sales ini turun 62,8 persen.
Namun, jika dilihat sejak awal tahun hingga akhir September jumlah marketing sales Summarecon Agung berjumlah Rp2,2 triliun, sementara target hingga akhir tahun Rp3,5 triliun. Namun, untuk Pakuwon Jati, marketing sales yang diraup pada kuartal III ini berjumlah Rp580 miliar. Angka tersebut tumbuh 16 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tetapi hanya tumbuh 6,2 persen jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yaitu Rp546 miliar.
Adapun, untuk perolehan marketing sales sejak awal tahun hingga akhir September sebesar Rp1,7 triliun, sementara target akhir tahun sebesar Rp3,1 triliun. Secara umum, properti terlihat masih melambat disebabkan harga properti yang kian mahal saat ini. Franky menuturkan, kenaikan harga properti tak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat Indonesia. Di mana kenaikan harga properti terjadi lebih cepat.
“Dari sisi harga, harga properti masih kemahalan. Properti indeks lebih cepat dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB kan pendapatan. Jadi enggak seimbang,” ungkap Franky, Selasa (1/11). Hal tersebut yang menyebabkan daya beli masyarakat masih melemah hingga saat ini. Maka tak heran jika pertumbuhan marketing sales emiten properti tak signifikan.
Padahal, pemerintah sudah banyak mengeluarkan insentif untuk menggenjot sektor properti tahun ini, misalnya penurunan suku bunga, kebijakan Loan to Value (LTV), dan pemotongan pajak. Sayangnya, insentif ini tak diiringi dengan harga properti yang kian mahal.
“Jadi masyarakat juga enggak begitu merespon,” imbuhnya. Dengan demikian, ia menilai properti akan masih lambat hingga semester I tahun depan. Namun, pada semester II 2017 diprediksi properti akan mulai tumbuh dengan masuknya dana amnesti pajak ke berbagai sektor.
Heldy menilai, kuartal pertama tahun depan dapat menjadi patokan laju IHSG 2017. Menurutnya terlalu dini jika memprediksi IHSG secara keseluruhan karena IHSG sendiri masih diluputi ketidakpastian, baik dari dalam dan luar negeri. Dengan kebijakan BI yang mempertahankan suku bunganya bulan ini, ia masih akan melihat bagaimana suku bunga yang akan ditetapkan BI tahun depan.
“Nanti kalau tidak disesuaikan dengan suku bunga The Fed akan memicu capital outflow juga, di sana naik di sini tetap,” papar dia. Namun, BI sendiri terbilang dilema dalam memutuskan menaikkan suku bunga atau tidak. Pasalnya, jika BI menaikkan suku bunga, maka akan berimbas negatif pada emiten perbankan, tetapi jika tidak dinaikkan investor asing akan terus keluar dari Indonesia.
“Jadi memang di lain sisi itu memberatkan perbankan sih,” imbuhnya. Hingga kuartal pertama 2017 sendiri, ia memprediksi IHSG dapat melaju dalam rentang 5.035 hingga 5.050. IHSG masih memiliki sentimen positif dari laporan kinerja keuangan emiten secara tahunan penuh yang diprediksi membaik.
Untuk sektornya sendiri, Heldy menilai sektor infrastruktur bakal menjadi primadona seiring dengan program infrastruktur yang digenjot oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini disebabkan proyek infrastruktur pada tahun ini belum seluruhnya berjalan, sehingga proyek akan diteruskan tahun depan.
“Masih akan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor konstruksi berarti,” ungkap Heldy. Selain itu, emiten berbasis komoditas juga menarik untuk dicermati pada tahun seiring dengan kenaikan harga komoditas tiga bulan terakhir ini. Misalnya saja PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Di lain sisi, analis senior Binaartha Securities Reza Priyambada menilai semua sektor berpeluang untuk bergerak positif, terutama sektor barang dan konsumsi, dan perbankan yang masih terus akan menarik karena berhubungan dengan permintaan masyarakat. “Kalau sektor lain kena imbas dari sektor itu. Misalnya perbankan, ketika dia menguat karena kredit, jadi sektor properti juga kena, jadi ada multiplier effect,” kata Reza. Selain itu, ia juga melihat sektor perkebunan bakal menarik karena harga komoditasnya yang akhir-akhir ini mengalami peningkatan. Dengan begitu, ketiga sektor tersebut dapat dikatakan menjadi penopang dari laju IHSG tahun depan.
Mayoritas emiten properti sepanjang sembilan pertama ini belum menorehkan kinerja yang terbilang baik. Hal itu terlihat dari empat emiten besar properti yang rata-rata mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bersih.
Berdasarkan catatan, dari empat emiten tersebut, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) mencatatkan penurunan laba bersih terbesar yaitu, 92,86 persen menjadi Rp57,61 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp807,28 miliar. Penurunan laba bersih ini beriringan dengan turunnya pendapatan perusahaan sebesar 19,59 persen dari Rp4,49 triliun menjadi Rp3,61 triliun.
Penurunan kinerja lainnya terjadi pada PT Ciputra Development Tbk (CTRA) yang membukukan laba bersih Rp478,98 miliar atau turun 48,77 persen dari sebelumnya Rp935,11 miliar. Sementara, perusahaan mencatat penurunan pendapatan 17,72 persen menjadi Rp4,41 triliun dari Rp5,36 triliun.
Emiten terakhir yang juga mencatat penurunan yakni, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE). Di mana laba perusahaan turun 33,13 persen menjadi Rp1,15 triliun dari Rp1,72 triliun. Penurunan tersebut imbas dari turunnya pendapatan perusahaan sebesar 8,6 persen menjadi Rp4,25 triliun dari sebelumnya Rp4,65 triliun.
Sementara, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) berhasil tumbuh ditengah melemahnya emiten properti lainnya hingga September ini. Laba bersih perusahaan tumbuh hingga 39 persen menjadi Rp1,31 triliun dari Rp942,91 miliar. Namun, pendapatan perusahaan hanya tumbuh tipis sebesar 1,96 persen dari Rp3,56 triliun menjadi Rp3,63 triliun.
Menurut analis Daewoo Securities Franky Rivan, kinerja Summarecon Agung yang masih buruk disebabkan karena pra penjualan (marketing sales) pada kuartal III ini hanya tumbuh 23,7 persen atau sebesar Rp489 miliar jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, jumlah marketing sales ini turun 62,8 persen.
Namun, jika dilihat sejak awal tahun hingga akhir September jumlah marketing sales Summarecon Agung berjumlah Rp2,2 triliun, sementara target hingga akhir tahun Rp3,5 triliun. Namun, untuk Pakuwon Jati, marketing sales yang diraup pada kuartal III ini berjumlah Rp580 miliar. Angka tersebut tumbuh 16 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tetapi hanya tumbuh 6,2 persen jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yaitu Rp546 miliar.
Adapun, untuk perolehan marketing sales sejak awal tahun hingga akhir September sebesar Rp1,7 triliun, sementara target akhir tahun sebesar Rp3,1 triliun. Secara umum, properti terlihat masih melambat disebabkan harga properti yang kian mahal saat ini. Franky menuturkan, kenaikan harga properti tak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat Indonesia. Di mana kenaikan harga properti terjadi lebih cepat.
“Dari sisi harga, harga properti masih kemahalan. Properti indeks lebih cepat dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB kan pendapatan. Jadi enggak seimbang,” ungkap Franky, Selasa (1/11). Hal tersebut yang menyebabkan daya beli masyarakat masih melemah hingga saat ini. Maka tak heran jika pertumbuhan marketing sales emiten properti tak signifikan.
Padahal, pemerintah sudah banyak mengeluarkan insentif untuk menggenjot sektor properti tahun ini, misalnya penurunan suku bunga, kebijakan Loan to Value (LTV), dan pemotongan pajak. Sayangnya, insentif ini tak diiringi dengan harga properti yang kian mahal.
“Jadi masyarakat juga enggak begitu merespon,” imbuhnya. Dengan demikian, ia menilai properti akan masih lambat hingga semester I tahun depan. Namun, pada semester II 2017 diprediksi properti akan mulai tumbuh dengan masuknya dana amnesti pajak ke berbagai sektor.
No comments:
Post a Comment