Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) mencatat pertumbuhan volume penjualan industri minuman ringan sepanjang kuartal I 2017 melambat empat persen apabila dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Daya beli masyarakat yang semakin melemah karena kenaikan upah yang minim disertai dengan kenaikan harga barang ditengarai menjadi biang keladinya.
Ketua Umum Asrim Triyono Prijosoesilo mengungkapkan, pertumbuhan industri minuman sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Terlebih, elastisitas permintaan minuman ringan sangat tinggi. Dengan kata lain, pengeluaran masyarakat untuk minuman ringan turun drastis jika daya beli masyarakat kurang darah.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), di mana kontribusi konsumsi masyarakat terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 56,95 persen. Angka ini tercatat susut jika dibandingkan periode yang sama tahun kemarin sebesar 57,7 persen.
"Memang, pengeluaran masyarakat untuk minuman ringan hanya 1,8 persen-2 persen dari pengeluaran rumah tangga. Namun, begitu harga barang-barang naik, masyarakat langsung mengalihkan konsumsi yang tadinya untuk minuman ringan ke hal lain yang lebih penting. Kalau pertumbuhan konsumsi masyarakat jatuh, industri juga tertimpa," ujarnya, Senin (8/5).
Ia mengatakan, penurunan pertumbuhan ini merata di sub-sektor industri yang terdiri dari Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), minuman berkarbonasi, minuman teh dalam kemasan, dan minuman sari buah. Di antara semua sub-sektor tersebut, pelemahan utama terdapat di minuman berkarbonasi dengan pelemahan sebesar lebih dari 15 persen.
Meski demikian, minuman jenis isotonik dan berbahan susu dinilai masih mencatat pertumbuhan positif hingga 15 persen. "Pelemahan penjualan ini terjadi tak hanya di penjualan eceran biasa, namun juga ritel-ritel modern. Kami dapat laporan dari ritel bahwa terjadi penurunan permintaan juga," imbuh Triyono.
Selain karena daya beli, Triyono menuturkan, lesunya penjualan minuman ringan juga diakibatkan karena buruknya persepsi konsumen akan minuman ringan. Banyak sekali kampanye-kampanye negatif yang berseliweran sepanjang kuartal I kemarin. Ambil contoh, kampanye media sosial terkait penggunaan gula rafinasi yang berdampak obesitas. Selain itu, terdapat pula anggapan bahwa minumam kopi kemasan hanya menggunakan sedikit unsur kopi.
"Banyak isu-isu yang beredar dan perlu dikaji aspek ilmiahnya. Tentu saja, persepsi seperti ini sangat memengaruhi tingkah laku konsumen," jelasnya. Dengan demikian, ia masih khawatir, pertumbuhan industri hingga akhir tahun nanti akan melanjutkan tren penurunan dan sulit kembali ke angka pertumbuhan dua digit seperti tahun 2010 silam.
Sebagai informasi, pertumbuhan industri minuman ringan sempat memuncak pada 2009 dengan angka 15,44 persen. Lalu, angka itu menurun ke posisi 10,91 persen satu tahun setelahnya dan 9,56 persen pada 2011. Angkanya terus menciut hingga 7,5 persen pada akhir tahun lalu.
Makanya, ia meminta pemerintah agar tidak mengimplementasikan kebijakan yang berdampak buruk bagi konsumsi masyarakat, seperti wacana pengenaan cukai bagi minuman berpemanis. "Kami akan analisa kembali faktor apalagi yang menekan angka pertumbuhan ini. Karena pasti yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ini multifaktor," pungkasnya
Monday, May 8, 2017
Ekonomi China Melambat, Sektor Pertambangan Kembali Terjun Bebas
Indeks sektor tambang turun tajam sepanjang pekan lalu hingga 7,3 persen ke level 1.417,505. Sebelumnya, indeks sektor tambang masih berada di level 1.529,120 atau menguat 0,12 persen. Salah satu faktor yang menggerogoti sektor tambang adalah penurunan Purchasing Manager's Index (PMI) sektor manufaktur China pada April ke level 51,2 dibandingkan bulan sebelumnya, yakni 51,8.
Setelah data PMI manufaktur di China tersebut terbit, pelaku pasar mulai berspekulasi terhadap pertumbuhan ekonomi China yang diperediksi melambat pada bulan ini. Apabila hal itu terjadi, maka akan memengaruhi tingkat permintaan batu bara dari China.
Pelaku pasar ikut merespons kondisi ini dengan melakukan aksi jual atau mengambil keuntungan (profit taking) pada beberapa saham emiten berbasis batu bara, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Jangan heran, harga saham tiga emiten itu terkulai lemas sepanjang pekan lalu. Bila dibandingkan, harga saham Adaro Energy terkoreksi cukup dalam hingga 9,3 persen. Diikuti oleh Bukit Asam yang melorot 6,88 persen, dan Indo Tambangraya melemah tipis 1,2 persen. "Penggunaan batu bara di China kan tertinggi, dan permintaan dari China juga masih yang tertinggi. Pasar khawatir permintaan turun jika ekonomi China melemah," ujar Direktur Investasi Saran Mandiri, Hans Kwee.
Selain itu, pernyataan pejabat The Federal Reserve (Fed) yang optimis dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan membaik memengaruhi penguatan dolar AS turut menjadi sentimen negatif bagi indeks sektor tambang. "Itu kan membuat dolar AS menguat, komoditas kan diperdagangkan dengan dollar AS. Kalau mata uangnya meningkat, maka harga komoditasnya (batu bara) akan turun," imbuh Hans.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menyebutkan, harga batu bara pada perdagangan akhir pekan lalu sekitar US$75 per metrik ton hingga US$78 per metrik ton. Pelemahan harga komoditas batu bara ini juga mendorong sebagian pelaku pasar menjual asetnya di emiten batu bara. "Harga batu bara dibawah US$80 per metrik ton, itu agak negatif untuk emiten batu bara," tegas Aditya.
Dengan demikian, pelaku pasar melakukan perpindahan aset ke saham emiten lain yang dinilai lebih menguntungkan, misalnya ke sektor barang dan konsumsi memanfaatkan momentum jelang ramadan dan lebaran. "Ada perubahan portofolio investasi juga. Kebetulan jelang ramadan ini biasanya ada permintaan lebih untuk sektor barang dan konsumsi jadi penjualan meningkat," tutur dia.
Aditya berpendapat, sektor batu bara memang tidak memiliki sentimen positif sepanjang pekan lalu. Sehingga, pelaku pasar enggan melakukan aksi beli terhadap emiten batu bara. Kendati terperosok dalam, Hans menilai, pelemahan harga saham emiten batu bara hanya bersifat jangka pendek.
Terlebih lagi, janji Presiden AS Donald Trump yang akan meningkatkan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik juga akan menjadi sentimen positif tambahan bagi sektor batu bara. "Jadi, ini bagus, saat ada kekhawatiran pertumbuhan ekonomi Tiongkok menurun," imbuh Hans.
Meski kemungkinan besar sektor batu bara tidak akan mencapai harga tertingginya di atas level US$100 metrik per ton seperti tahun lalu, tetapi harga batu bara akan menanjak dari posisi terakhir. Bahkan, ia memberikan rekomendasi beli (buy) untuk emiten batu bara pada pekan ini. Menurutnya, pelaku pasar perlu memanfaatkan momentum pelemahan harga saham emiten batu bara untuk melakukan akumulasi beli.
"Direkomendasikan beli bila ada pelemahan harga saham," katanya.
Aditya juga memberikan rekomendasi beli pada sektor barang dan konsumsi, khususnya PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Artinya, indeks sektor konsumsi dan barang berpeluang melanjutkan penguatannya pada pekan ini. Sekadar informasi, indeks sektor barang dan konsumsi menjadi primadona pada perdagangan pasar modal sepanjang pekan lalu dengan penguatan 2,05 persen ke level 2.483,574.
"Harga saham Ramayana Lestari, Indofood CBP, dan Unilever Indonesia naik pekan lalu dan akan terus naik pekan ini," pungkasnya.
Setelah data PMI manufaktur di China tersebut terbit, pelaku pasar mulai berspekulasi terhadap pertumbuhan ekonomi China yang diperediksi melambat pada bulan ini. Apabila hal itu terjadi, maka akan memengaruhi tingkat permintaan batu bara dari China.
Pelaku pasar ikut merespons kondisi ini dengan melakukan aksi jual atau mengambil keuntungan (profit taking) pada beberapa saham emiten berbasis batu bara, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Jangan heran, harga saham tiga emiten itu terkulai lemas sepanjang pekan lalu. Bila dibandingkan, harga saham Adaro Energy terkoreksi cukup dalam hingga 9,3 persen. Diikuti oleh Bukit Asam yang melorot 6,88 persen, dan Indo Tambangraya melemah tipis 1,2 persen. "Penggunaan batu bara di China kan tertinggi, dan permintaan dari China juga masih yang tertinggi. Pasar khawatir permintaan turun jika ekonomi China melemah," ujar Direktur Investasi Saran Mandiri, Hans Kwee.
Selain itu, pernyataan pejabat The Federal Reserve (Fed) yang optimis dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan membaik memengaruhi penguatan dolar AS turut menjadi sentimen negatif bagi indeks sektor tambang. "Itu kan membuat dolar AS menguat, komoditas kan diperdagangkan dengan dollar AS. Kalau mata uangnya meningkat, maka harga komoditasnya (batu bara) akan turun," imbuh Hans.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menyebutkan, harga batu bara pada perdagangan akhir pekan lalu sekitar US$75 per metrik ton hingga US$78 per metrik ton. Pelemahan harga komoditas batu bara ini juga mendorong sebagian pelaku pasar menjual asetnya di emiten batu bara. "Harga batu bara dibawah US$80 per metrik ton, itu agak negatif untuk emiten batu bara," tegas Aditya.
Dengan demikian, pelaku pasar melakukan perpindahan aset ke saham emiten lain yang dinilai lebih menguntungkan, misalnya ke sektor barang dan konsumsi memanfaatkan momentum jelang ramadan dan lebaran. "Ada perubahan portofolio investasi juga. Kebetulan jelang ramadan ini biasanya ada permintaan lebih untuk sektor barang dan konsumsi jadi penjualan meningkat," tutur dia.
Aditya berpendapat, sektor batu bara memang tidak memiliki sentimen positif sepanjang pekan lalu. Sehingga, pelaku pasar enggan melakukan aksi beli terhadap emiten batu bara. Kendati terperosok dalam, Hans menilai, pelemahan harga saham emiten batu bara hanya bersifat jangka pendek.
Terlebih lagi, janji Presiden AS Donald Trump yang akan meningkatkan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik juga akan menjadi sentimen positif tambahan bagi sektor batu bara. "Jadi, ini bagus, saat ada kekhawatiran pertumbuhan ekonomi Tiongkok menurun," imbuh Hans.
Meski kemungkinan besar sektor batu bara tidak akan mencapai harga tertingginya di atas level US$100 metrik per ton seperti tahun lalu, tetapi harga batu bara akan menanjak dari posisi terakhir. Bahkan, ia memberikan rekomendasi beli (buy) untuk emiten batu bara pada pekan ini. Menurutnya, pelaku pasar perlu memanfaatkan momentum pelemahan harga saham emiten batu bara untuk melakukan akumulasi beli.
"Direkomendasikan beli bila ada pelemahan harga saham," katanya.
Aditya juga memberikan rekomendasi beli pada sektor barang dan konsumsi, khususnya PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Artinya, indeks sektor konsumsi dan barang berpeluang melanjutkan penguatannya pada pekan ini. Sekadar informasi, indeks sektor barang dan konsumsi menjadi primadona pada perdagangan pasar modal sepanjang pekan lalu dengan penguatan 2,05 persen ke level 2.483,574.
"Harga saham Ramayana Lestari, Indofood CBP, dan Unilever Indonesia naik pekan lalu dan akan terus naik pekan ini," pungkasnya.
Laba Industri Multifinance Kuartal I 2017 Jeblok Karena Kredit Macet
Laba industri perusahaan pembiayaan (multifinance) tumbuh tipis 1,3 persen secara tahunan pada kuartal I 2017. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat laba bersih multifinance hingga akhir Maret 2017 sebesar Rp3,10 triliun dari periode yang sama tahun lalu, yaitu Rp3,06 triliun.
Raihan ini boleh dibilang menurun dibandingkan akhir Maret tahun lalu, dimana labanya melonjak 12,89 persen dari sebelumnya Rp2,71 triliun. Jika dirinci, perlambatan pertumbuhan laba diakibatkan oleh peningkatan beban yang melampaui kenaikan pendapatan.
Tercatat, sepanjang tiga bulan pertama tahun lalu, beban industri pembiayaan naik 6,78 persen menjadi Rp19,04 triliun. Peningkatan beban dipicu oleh membengkaknya beban operasional akibat kenaikan beban depresiasi 13,94 persen, beban tenaga kerja 12,94 persen, termasuk beban bunga 1,87 persen.
Sementara, pendapatan industri sepanjang Januari-Maret 2017 hanya mencapai Rp23,66 triliun atau tumbuh 7,5 persen dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp22,01 triliun. Adapun, kontributor pendapatan terbesar berasal dari pendapatan bunga, imbal jasa atau bagi hasil pembiayaan multiguna yang mencapai Rp12,75 triliun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pembiayaan Indonesia (APPI) Jodjana Jody mengungkapkan, perusahaan pembiayaan masih mendapatkan tekanan dari tingginya rasio pembiayaan bermasalah (nonperforming financing/NPF). Jodjana merinci, NPF tahun lalu mencapai 3,2 persen atau naik dua kali lipat dari 2015 yang hanya 1,51 persen. Kenaikan tersebut akibat perekonomian yang belum membaik.
Di sisi lain, banyak debitur yang memaksakan kredit karena tertarik dengan paket produk pembiayaan dengan uang muka (DP) rendah. "Jika ekonomi tumbuh pesat, mungkin tekanan NPF bisa dikurangi," kata Jodjana. Buruknya kualitas pembiayaan, sambung dia, mengakibatkan banyak pelaku industri yang merekrut tambahan tenaga penagihan (collection). Konsekuensinya, biaya pelatihan juga naik untuk menjamin kualitas tenaga penagihan tersebut.
Tak ayal, terjadi kenaikan beban tenaga kerja selama tiga bulan pertama tahun ini menjadi Rp Rp4,22 triliun. Khusus untuk Group Astra Credit Companies (ACC Group), Jodjana selaku Direktur Utama ACC menjelaskan, pembiayaan yang digelontorkannya sepanjang kuartal I cenderung datar (flat) dari sisi unit dengan pertumbuhan hanya 0,3 persen.
Kendati demikian, secara nilai, pembiayaannya tercatat naik 15 persen, yaitu dari Rp6,3 triliun pada kuartal I 2016 menjadi sebesar Rp7,3 triliun pada periode yang sama tahun ini. Pertumbuhan ditopang oleh tambahan bisnis pembiayaan modal kerja. "Ke depan, kami akan tetap memperhatikan kualitas booking (pembiayaan), mengingat NPF industri masih tinggi," terang dia.
Raihan ini boleh dibilang menurun dibandingkan akhir Maret tahun lalu, dimana labanya melonjak 12,89 persen dari sebelumnya Rp2,71 triliun. Jika dirinci, perlambatan pertumbuhan laba diakibatkan oleh peningkatan beban yang melampaui kenaikan pendapatan.
Tercatat, sepanjang tiga bulan pertama tahun lalu, beban industri pembiayaan naik 6,78 persen menjadi Rp19,04 triliun. Peningkatan beban dipicu oleh membengkaknya beban operasional akibat kenaikan beban depresiasi 13,94 persen, beban tenaga kerja 12,94 persen, termasuk beban bunga 1,87 persen.
Sementara, pendapatan industri sepanjang Januari-Maret 2017 hanya mencapai Rp23,66 triliun atau tumbuh 7,5 persen dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp22,01 triliun. Adapun, kontributor pendapatan terbesar berasal dari pendapatan bunga, imbal jasa atau bagi hasil pembiayaan multiguna yang mencapai Rp12,75 triliun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pembiayaan Indonesia (APPI) Jodjana Jody mengungkapkan, perusahaan pembiayaan masih mendapatkan tekanan dari tingginya rasio pembiayaan bermasalah (nonperforming financing/NPF). Jodjana merinci, NPF tahun lalu mencapai 3,2 persen atau naik dua kali lipat dari 2015 yang hanya 1,51 persen. Kenaikan tersebut akibat perekonomian yang belum membaik.
Di sisi lain, banyak debitur yang memaksakan kredit karena tertarik dengan paket produk pembiayaan dengan uang muka (DP) rendah. "Jika ekonomi tumbuh pesat, mungkin tekanan NPF bisa dikurangi," kata Jodjana. Buruknya kualitas pembiayaan, sambung dia, mengakibatkan banyak pelaku industri yang merekrut tambahan tenaga penagihan (collection). Konsekuensinya, biaya pelatihan juga naik untuk menjamin kualitas tenaga penagihan tersebut.
Tak ayal, terjadi kenaikan beban tenaga kerja selama tiga bulan pertama tahun ini menjadi Rp Rp4,22 triliun. Khusus untuk Group Astra Credit Companies (ACC Group), Jodjana selaku Direktur Utama ACC menjelaskan, pembiayaan yang digelontorkannya sepanjang kuartal I cenderung datar (flat) dari sisi unit dengan pertumbuhan hanya 0,3 persen.
Kendati demikian, secara nilai, pembiayaannya tercatat naik 15 persen, yaitu dari Rp6,3 triliun pada kuartal I 2016 menjadi sebesar Rp7,3 triliun pada periode yang sama tahun ini. Pertumbuhan ditopang oleh tambahan bisnis pembiayaan modal kerja. "Ke depan, kami akan tetap memperhatikan kualitas booking (pembiayaan), mengingat NPF industri masih tinggi," terang dia.
Industri Perbankan Tumbuh Paling Pesat Dengan Setoran Pajak Tembus Rp 50 Triliun
D irektorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kenaikan setoran pajak dari sektor industri jasa keuangan, termasuk asuransi pada empat bulan pertama tahun ini. Per 27 April 2017, DJP membukukan industri jasa keuangan dan asuransi menyumbang Rp50,76 triliun atau berkontribusi sekitar 16,19 persen terhadap penerimaan pajak.
Capaian tersebut lebih tinggi jika dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar Rp42,99 triliun atau meningkat 3,1 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal mengungkapkan, kontributor terbesar penerimaan pajak dari sektor jasa keuangan dan asuransi berasal dari pembayaran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29 badan atas profit yang diperoleh sepanjang tahun lalu.
"Artinya, profit bank-bank tahun lalu besar, sehingga membayar PPh 25/29 badannya besar," ujarnya. Padahal, tahun lalu, bank-bank melakukan upaya konsolidasi keuangan. Namun demikian, industri perbankan sukses mengerek perolehan labanya.
PT Bank Central Asia Tbk, misalnya, memperoleh laba bersih sebesar Rp20,6 triliun pada 2016 lalu atau naik 14,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 9,3 persen. Selanjutnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mencetak pertumbuhan laba hingga 25,1 persen menjadi Rp11,34 triliun atau melesat dari realisasi tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 15,9 persen.
Kemudian, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk memperoleh laba sebesar Rp25,8 triliun. Kendati demikian, pertumbuhan laba tersebut melambat dari 2015 silam yang tumbuh empat persen menjadi Rp25,2 triliun. Secara umum, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba bank umum tahun lalu tumbuh sebesar 1,8 persen menjadi Rp106,54 triliun. Meskipun kenaikannya tipis, kinerja tersebut bisa dibilang membaik. Pasalnya, sepanjang 2015, laba industri bank umum justru menciut 6,7 persen dari Rp112,16 triliun menjadi hanya Rp104,63 triliun.
Capaian tersebut lebih tinggi jika dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar Rp42,99 triliun atau meningkat 3,1 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal mengungkapkan, kontributor terbesar penerimaan pajak dari sektor jasa keuangan dan asuransi berasal dari pembayaran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29 badan atas profit yang diperoleh sepanjang tahun lalu.
"Artinya, profit bank-bank tahun lalu besar, sehingga membayar PPh 25/29 badannya besar," ujarnya. Padahal, tahun lalu, bank-bank melakukan upaya konsolidasi keuangan. Namun demikian, industri perbankan sukses mengerek perolehan labanya.
PT Bank Central Asia Tbk, misalnya, memperoleh laba bersih sebesar Rp20,6 triliun pada 2016 lalu atau naik 14,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 9,3 persen. Selanjutnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mencetak pertumbuhan laba hingga 25,1 persen menjadi Rp11,34 triliun atau melesat dari realisasi tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 15,9 persen.
Kemudian, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk memperoleh laba sebesar Rp25,8 triliun. Kendati demikian, pertumbuhan laba tersebut melambat dari 2015 silam yang tumbuh empat persen menjadi Rp25,2 triliun. Secara umum, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba bank umum tahun lalu tumbuh sebesar 1,8 persen menjadi Rp106,54 triliun. Meskipun kenaikannya tipis, kinerja tersebut bisa dibilang membaik. Pasalnya, sepanjang 2015, laba industri bank umum justru menciut 6,7 persen dari Rp112,16 triliun menjadi hanya Rp104,63 triliun.
Sektor Informal Serap Angkatan Kerja Terbanyak
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 5,33 juta orang atau turun 0,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 5,5 juta orang.
Penurunan jumlah pengangguran ini sejalan dengan peningkatan angkatan kerja di Februari 2017 yang meningkat 4,87 persen menjadi 131,55 juta orang dari semula 125,44 juta orang pada Agustus 2016. Apabila dibandingkan dengan Februari 2016, jumlah angkatan kerja meningkat 3,04 persen, dari sebelumnya 127,67 juta orang.
Penurunan jumlah pengangguran dan meningkatnya angkatan kerja terjadi lantaran geliat lapangan kerja di sektor informal (bekerja kurang dari 8 jam per hari dan tidak tetap) meningkat. Pada saat yang sama, jumlah pekerja di sektor formal justru menurun 0,75 persen.
"Pada Februari 2017, pekerja informal sebesar 58,35 persen. Jadi, sebagian besar pekerja terserap di sektor informal, sedangkan sektor formal hanya 41,65 persen," ujarnya, Jumat (5/5). Secara rinci, jumlah pekerja di sektor informal mencapai 72,67 juta orang. Sedangkan, di sektor formal, jumlah pekerjanya turun dari 50,21 juta orang menjadi 51,87 juta orang pada Februari 2017.
Disinyalir, penurunan pekerja di sektor formal lantaran banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan. Hanya saja, gelombang PHK terkompensasi dengan peningkatan lapangan kerja di sektor informal.
"Bisa saja PHK meningkat, tapi daya serap sektor ekonomi juga meningkat. PHK terjadi di sektor formal, tapi daya serap sektor informal tadi terlihat meningkat tajam. Jadi, angka pengangguran otomatis terdorong untuk turun," terang dia. Lebih lanjut ia menjelaskan, penyerapan jumlah pekerja yang lebih tinggi di sektor informal banyak masuk ke sektor perdagangan dan jasa kemasyarakatan, di mana sektor ini mengalami pertumbuhan jumlah pekerja 0,83 persen dan 0,39 persen. Diikuti industri 0,19 persen serta listrik, gas, dan air 0,04 persen.
Hal ini juga tergambar dari jenis pekerjaan menurut status pekerjaan utama, yakni kelompok pekerja keluarga meningkat 0,84 persen, kelompok berusaha sendiri 0,65 persen dan kelompok berusaha dibantu buruh tidak tetap 0,66 persen. "Pekerja keluarga meningkat cukup tajam dari 13,83 persen ke 14,58 persen. Jadi, di sini ada peningkatan status pekerja keluarga selama setahun ke belakang," imbuh Ketjuk, sapaan akrab Suhariyanto.
Sementara, untuk sektor lain justru mengalami penurunan, misalnya sektor konstruksi turun 0,99 persen, transportasi 0,17 persen, keuangan 0,1 persen, dan pertambangan 0,15 persen.
Penurunan jumlah pengangguran ini sejalan dengan peningkatan angkatan kerja di Februari 2017 yang meningkat 4,87 persen menjadi 131,55 juta orang dari semula 125,44 juta orang pada Agustus 2016. Apabila dibandingkan dengan Februari 2016, jumlah angkatan kerja meningkat 3,04 persen, dari sebelumnya 127,67 juta orang.
Penurunan jumlah pengangguran dan meningkatnya angkatan kerja terjadi lantaran geliat lapangan kerja di sektor informal (bekerja kurang dari 8 jam per hari dan tidak tetap) meningkat. Pada saat yang sama, jumlah pekerja di sektor formal justru menurun 0,75 persen.
"Pada Februari 2017, pekerja informal sebesar 58,35 persen. Jadi, sebagian besar pekerja terserap di sektor informal, sedangkan sektor formal hanya 41,65 persen," ujarnya, Jumat (5/5). Secara rinci, jumlah pekerja di sektor informal mencapai 72,67 juta orang. Sedangkan, di sektor formal, jumlah pekerjanya turun dari 50,21 juta orang menjadi 51,87 juta orang pada Februari 2017.
Disinyalir, penurunan pekerja di sektor formal lantaran banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan. Hanya saja, gelombang PHK terkompensasi dengan peningkatan lapangan kerja di sektor informal.
"Bisa saja PHK meningkat, tapi daya serap sektor ekonomi juga meningkat. PHK terjadi di sektor formal, tapi daya serap sektor informal tadi terlihat meningkat tajam. Jadi, angka pengangguran otomatis terdorong untuk turun," terang dia. Lebih lanjut ia menjelaskan, penyerapan jumlah pekerja yang lebih tinggi di sektor informal banyak masuk ke sektor perdagangan dan jasa kemasyarakatan, di mana sektor ini mengalami pertumbuhan jumlah pekerja 0,83 persen dan 0,39 persen. Diikuti industri 0,19 persen serta listrik, gas, dan air 0,04 persen.
Hal ini juga tergambar dari jenis pekerjaan menurut status pekerjaan utama, yakni kelompok pekerja keluarga meningkat 0,84 persen, kelompok berusaha sendiri 0,65 persen dan kelompok berusaha dibantu buruh tidak tetap 0,66 persen. "Pekerja keluarga meningkat cukup tajam dari 13,83 persen ke 14,58 persen. Jadi, di sini ada peningkatan status pekerja keluarga selama setahun ke belakang," imbuh Ketjuk, sapaan akrab Suhariyanto.
Sementara, untuk sektor lain justru mengalami penurunan, misalnya sektor konstruksi turun 0,99 persen, transportasi 0,17 persen, keuangan 0,1 persen, dan pertambangan 0,15 persen.
Minimnya Kenaikan Gaji Sebabkan Ekonomi Hanya Tumbuh 5,01 Persen
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, rata-rata upah buruh/karyawan/pegawai dalam waktu satu bulan per Februari 2017 sebesar Rp 2,70 juta. Hal tersebut diungkapkan Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Jumat (5/5/2017). "Rata-rata upah buruh sebulan pada Februari 2017 sebesar Rp 2,70 juta," kata Kecuk.
Untuk rata-rata upah buruh tertinggi berada pada sektor listrik, gas dan air yang per bulannya sebesar Rp 4,43 juta. Sedangkan yang paling rendah didapatkan buruh sektor pertanian dengan besaran Rp 1,75 juta.
"Lalu rata-rata upah tertinggi itu di sektor listrik, gas dan air, dan paling rendah dis ektor pertanian dengan Rp 1,75 juta," jelas Kecuk. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, lanjut Kecuk, hampir di seluruh sektor jenis kelamin laki-laki masih mendapatkan upah yang paling besar dibandingkan dengan perempuan.
Dia mencontohkan, seperti pada sektor pertanian. Upah yang diterima laki-laki sebesar Rp 1,93 juta per bulan, upah yang diterima perempuan setiap bulannya sebesar Rp 1,14 juta "Secara rata-rata upah buruh laki-laki lebih tinggi dibandingkan rata-rata upah buruh perempuan yaitu Rp 2,95 juta per bulan, dan perempuan Rp 2,27 juta," tutupnya.
Ekonomi tumbuh cukup tinggi selama kuartal I-2017 (Januari-Maret), yaitu sebesar 5,01%. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama, akan tetapi bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, ada perlambatan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa konsumsi rumah tangga kuartal I-2016 adalah 4,97%. Sementara sekarang hanya 4,93%. Ini menandakan bahwa orang Indonesia makin irit belanja.
Penyebab utama ternyata berasal dari gaji yang naik tidak sebesar periode sebelumnya. Tergambar dari periode 2016 ada kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 12,43%, sementara untuk periode sekarang hanya 9,15%. "Pendapatan, kita juga kena di situ, memang kuartal I kita tak terlalu banyak perubahan, karena UMP nggak begitu banyak naik," ungkap Deputi Bidang Neraca Analisis Statistik, Sri Soelistyowati di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Masih terkait gaji, hal lain yang cukup signifikan membuat konsumsi rumah tangga melambat adalah tidak adanya kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) akibat perubahan skema oleh pemerintah. Andilnya untuk sekarang tidak mencapai level 1%. "PNS itu kan nggak ada kenaikan gaji, sementara tahun lalu ada, lebih dari 5%," ujarnya.
Kemudian juga ada penurunan upah riil buruh tani. Adanya panen raya membuat harga gabah turun, upah riil buruh tani akhirnya terkontraksi 0,53%, nilai tukar petani juga sama terkontraksi 1,60%. "Jadi efeknya cukup besar untuk konsumsi," tandasnya.
Untuk rata-rata upah buruh tertinggi berada pada sektor listrik, gas dan air yang per bulannya sebesar Rp 4,43 juta. Sedangkan yang paling rendah didapatkan buruh sektor pertanian dengan besaran Rp 1,75 juta.
"Lalu rata-rata upah tertinggi itu di sektor listrik, gas dan air, dan paling rendah dis ektor pertanian dengan Rp 1,75 juta," jelas Kecuk. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, lanjut Kecuk, hampir di seluruh sektor jenis kelamin laki-laki masih mendapatkan upah yang paling besar dibandingkan dengan perempuan.
Dia mencontohkan, seperti pada sektor pertanian. Upah yang diterima laki-laki sebesar Rp 1,93 juta per bulan, upah yang diterima perempuan setiap bulannya sebesar Rp 1,14 juta "Secara rata-rata upah buruh laki-laki lebih tinggi dibandingkan rata-rata upah buruh perempuan yaitu Rp 2,95 juta per bulan, dan perempuan Rp 2,27 juta," tutupnya.
Ekonomi tumbuh cukup tinggi selama kuartal I-2017 (Januari-Maret), yaitu sebesar 5,01%. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama, akan tetapi bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, ada perlambatan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa konsumsi rumah tangga kuartal I-2016 adalah 4,97%. Sementara sekarang hanya 4,93%. Ini menandakan bahwa orang Indonesia makin irit belanja.
Penyebab utama ternyata berasal dari gaji yang naik tidak sebesar periode sebelumnya. Tergambar dari periode 2016 ada kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 12,43%, sementara untuk periode sekarang hanya 9,15%. "Pendapatan, kita juga kena di situ, memang kuartal I kita tak terlalu banyak perubahan, karena UMP nggak begitu banyak naik," ungkap Deputi Bidang Neraca Analisis Statistik, Sri Soelistyowati di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Masih terkait gaji, hal lain yang cukup signifikan membuat konsumsi rumah tangga melambat adalah tidak adanya kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) akibat perubahan skema oleh pemerintah. Andilnya untuk sekarang tidak mencapai level 1%. "PNS itu kan nggak ada kenaikan gaji, sementara tahun lalu ada, lebih dari 5%," ujarnya.
Kemudian juga ada penurunan upah riil buruh tani. Adanya panen raya membuat harga gabah turun, upah riil buruh tani akhirnya terkontraksi 0,53%, nilai tukar petani juga sama terkontraksi 1,60%. "Jadi efeknya cukup besar untuk konsumsi," tandasnya.
Program Gemar Menabung Berhasil Sebabkan Ekonomi Indonesia Melambat
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2017 mencapai 5,01%. Angka tersebut ditopang oleh sisi pengeluaran, salah satunya konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,93%. Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2017 tersebut tidak setinggi periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni 4,97%.
Menteri Perekonomian Darmin Nasution sendiri mengaku heran kenapa konsumsi tak bisa tumbuh lebih tinggi lagi. Padahal harga komoditas yang membaik, harusnya bisa memacu penambahan penghasilan yang membawa orang lebih banyak berbelanja.
"Saya sendiri, justru yang namanya konsumsi rumah tangga (yang tinggi), makanya saya tadinya prediksi 5,1% kan. Karena setelah membaiknya harga karet, sawit, mestinya penghasilan naik. Tapi ya ternyata survei BPS tidak tergambar dalam konsumsi," kata Darmin ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (5/5/2017). "Ya enggak tahu hubungannya apa dengan APBN, atau apa. Atau memang dari kalangan ritel ada informasi bahwa konsumsi rumah tangga itu melemah. Tadinya bisa 5-5,1% sekarang dia 4,9%-an. Jadi memang agak sedikit melambat," tambahnya.
Meski demikian, Darmin mengaku cukup optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun nanti bisa melampaui target yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, yakni sebesar 5,1%. Dengan membaiknya harga komoditas dan tumbuh baiknya sektor pertanian, menurut dia menjadi awal yang positif ekonomi masih bisa tumbuh lebih baik lagi hingga akhir tahun. Termasuk dorongan dari realisasi belanja pemerintah.
"Jadi yang agak rendah tapi masih tumbuh itu memang pengeluaran pemerintah. Kalau yang lain masih oke. Tapi bagi saya ini perkembangan bagus. Pertumbuhan tahun ini sih akan di atas APBN. Kayaknya ini harusnya 5,2% sampai 5,4%," pungkasnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2017 mencapai 5,01%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di 2016 yang sebesar 4,92%. Angka tersebut ditopang oleh sisi pengeluaran, salah satunya konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,93%.
Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2017 tersebut tidak setinggi periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni 4,97%. "Konsumsi rumah tangga lebih rendah dibanding kuartal I-2016 adalah 4,97%. Karena penjualan ritel 4,2% di kuartal I melambat untuk kelompok makanan, minuman, tembakau dan alat rumah tangga," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto, dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Mengapa pengeluaran konsumsi rumah tangga kuartal I-2017 melambat?
Dorongan pendapatan kelas menengah dan bawah mengalami perlambatan, seperti Upah Minimum Provinsi (UMP) tumbuh hanya 9,15% dari tahun sebelumnya yang tumbuh 12,43%. Begitu juga panen raya untuk harga gabah turun, begitu juga upah riil buruh tani terkontraksi 0,53%, nilai tukar petani juga sama terkontraksi 1,60%.
Dari posisi pinjaman konsumsi, untuk kredit konsumsi dari perbankan juga melambat di kuartal I-2017 menjadi 8,75%. Begitu juga dengan pembiayaan multiguna yang terkontraksi negatif 9,07%. Selanjutnya, di sektor posisi tabungan untuk tabungan rumah tangga mengalami penguatan dari 4,27% di kuartal I-2016 menjadi 9,14% di kuartal I-2017.
Untuk konsumsi barang mewah kelas atas juga mengalami perlambatan. Dilihat dari pembelian barang mewah yang terkontraksi 21,39% dari yang sebelumnya berada di level 8,80%. Begitu juga dengan pembelian mobil dengan CC di atas 1.500 cc yang mengalami perlambatan 3,77% dari kuartal I-2016 yang tumbuh 14,76%.
"Dorongan pendapatan kelas menengah dan bawah serta konsumsi barang mewah kelas atas yang terindikasi melambat, menyebabkan konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2017 tumbuh melambat dibandingkan triwulan I-2016," tutupnya
Menteri Perekonomian Darmin Nasution sendiri mengaku heran kenapa konsumsi tak bisa tumbuh lebih tinggi lagi. Padahal harga komoditas yang membaik, harusnya bisa memacu penambahan penghasilan yang membawa orang lebih banyak berbelanja.
"Saya sendiri, justru yang namanya konsumsi rumah tangga (yang tinggi), makanya saya tadinya prediksi 5,1% kan. Karena setelah membaiknya harga karet, sawit, mestinya penghasilan naik. Tapi ya ternyata survei BPS tidak tergambar dalam konsumsi," kata Darmin ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (5/5/2017). "Ya enggak tahu hubungannya apa dengan APBN, atau apa. Atau memang dari kalangan ritel ada informasi bahwa konsumsi rumah tangga itu melemah. Tadinya bisa 5-5,1% sekarang dia 4,9%-an. Jadi memang agak sedikit melambat," tambahnya.
Meski demikian, Darmin mengaku cukup optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun nanti bisa melampaui target yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, yakni sebesar 5,1%. Dengan membaiknya harga komoditas dan tumbuh baiknya sektor pertanian, menurut dia menjadi awal yang positif ekonomi masih bisa tumbuh lebih baik lagi hingga akhir tahun. Termasuk dorongan dari realisasi belanja pemerintah.
"Jadi yang agak rendah tapi masih tumbuh itu memang pengeluaran pemerintah. Kalau yang lain masih oke. Tapi bagi saya ini perkembangan bagus. Pertumbuhan tahun ini sih akan di atas APBN. Kayaknya ini harusnya 5,2% sampai 5,4%," pungkasnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2017 mencapai 5,01%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di 2016 yang sebesar 4,92%. Angka tersebut ditopang oleh sisi pengeluaran, salah satunya konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,93%.
Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2017 tersebut tidak setinggi periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni 4,97%. "Konsumsi rumah tangga lebih rendah dibanding kuartal I-2016 adalah 4,97%. Karena penjualan ritel 4,2% di kuartal I melambat untuk kelompok makanan, minuman, tembakau dan alat rumah tangga," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto, dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Mengapa pengeluaran konsumsi rumah tangga kuartal I-2017 melambat?
Dorongan pendapatan kelas menengah dan bawah mengalami perlambatan, seperti Upah Minimum Provinsi (UMP) tumbuh hanya 9,15% dari tahun sebelumnya yang tumbuh 12,43%. Begitu juga panen raya untuk harga gabah turun, begitu juga upah riil buruh tani terkontraksi 0,53%, nilai tukar petani juga sama terkontraksi 1,60%.
Dari posisi pinjaman konsumsi, untuk kredit konsumsi dari perbankan juga melambat di kuartal I-2017 menjadi 8,75%. Begitu juga dengan pembiayaan multiguna yang terkontraksi negatif 9,07%. Selanjutnya, di sektor posisi tabungan untuk tabungan rumah tangga mengalami penguatan dari 4,27% di kuartal I-2016 menjadi 9,14% di kuartal I-2017.
Untuk konsumsi barang mewah kelas atas juga mengalami perlambatan. Dilihat dari pembelian barang mewah yang terkontraksi 21,39% dari yang sebelumnya berada di level 8,80%. Begitu juga dengan pembelian mobil dengan CC di atas 1.500 cc yang mengalami perlambatan 3,77% dari kuartal I-2016 yang tumbuh 14,76%.
"Dorongan pendapatan kelas menengah dan bawah serta konsumsi barang mewah kelas atas yang terindikasi melambat, menyebabkan konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2017 tumbuh melambat dibandingkan triwulan I-2016," tutupnya
Cara Membuat Program Pertumbuhan Ekonomi Juga Dirasakan Masyarakat Banyak
Ekonomi RI tumbuh 5,01% pada Kuartal I-2017. Namun kalangan usaha mengaku pertumbuhan setinggi itu belum dirasakan kalangan masyarakat menengah bawah. Bagaimana agar seluruh masyarakat ikut merasakan pertumbuhan tersebut secara merata?
Tata kelola pemerintahan atau birokrasi yang efektif dan pengelolaan fiskal yang lebih baik, penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Demikian disampaikan oleh Economic Affairs Officer Macroeconomic Policy and Financing for Development Division Komisi Ekonomi dan Sosial PBB wilayah Asia Pasific, Vatcharin Sirimaneetham dalam jumpa pers di Menara Thamrin, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Menurutnya, tata kelola pemerintahan dan manajemen fiskal yang efektif menjadi penting, mengingat tingginya tuntutan pada kebijakan fiskal untuk mengatasi beragam tantangan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. "Pemerintahan yang lebih baik berkaitan dengan penerimaan pajak yang lebih banyak. Bagaimana caranya? Melalui transparansi dan akuntabilitas. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas adalah cara kunci untuk pemerintahan dan pengaturan fiskal yang lebih baik," katanya.
Menurutnya, perbaikan birokrasi adalah kerja berat namun dapat dilihat hasilnya secara nyata dalam jangka panjang. Melalui implementasinya diharapkan terjadi perubahan yang positif dalam bidang kelembagaan, SDM dan akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Untuk mengatasi tantangan ini, ia merekomendasikan agar reformasi struktural dapat melengkapi kebijakan fiskal yang telah dilaksanakan pemerintah, sehingga bisa membantu meningkatkan potensi output.
Pasalnya, kualitas tata kelola akan mempengaruhi mobilisasi pendapatan, karena kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh persepsi publik terhadap efisiensi pengeluaran pemerintah. Hal ini diamini oleh peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dadi. Menurutnya, berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan baik sehingga target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan bisa tercapai.
"Pada awal 2017 ini, ekonomi tumbuh 5%, saya memuji pemerintah. Namun proyeksi kami dari World Bank dan IMF, berkisar antara 5,1 sampai 5,4%. Saya pikir pemerintah harus mendorong lebih melalui reformasi, 14 paket (kebijakan ekonomi) harus dilaksanakan dengan baik," ungkapnya. "Kita belum melakukan pekerjaan yang besar dalam reformasi peraturan dalam sepuluh tahun terakhir. Tax amnesty dilakukan untuk reformasi perpajakan, tapi realisasinya masih lebih rendah dari target. Namun komitmen pemerintah itu yang terpenting. Pertanyaannya selanjutnya, bagaimana meningkatkan kepatuhan pajak dan rasio pajak dan GDP. Makanya pemerintah harus meningkatkan kredibilitas anggaran," tambahnya.
Ekonomi Indonesia sendiri terbilang cukup sukses dengan tumbuh 5% di tahun 2016. Tingkat konsumsi rumah tangga yang membaik menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tengah tumbuhnya lapangan pekerjaan, harga pangan yang berhasil ditekan dan beberapa kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan membaiknya harga komoditas dunia, yang juga akan berdampak kepada ekspor, maka faktor dari dalam negeri diharapkan bisa ikut mendorong terwujudnya target pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Konsumsi rumah tangga yang membaik, dan investasi baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini sendiri kata dia bisa diwujudkan melalui tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan pengelolaan fiskal yang lebih baik. "Yang kami lihat, pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih tinggi dan juga tahun depan. Terutama karena konsumsi domestik. Tapi pada saat bersamaan Anda tahu bahwa harga minyak semakin meningkat dan relevan dengan ekonomi, termasuk fiskal, dan kalau saya lihat di pemberitaan, NPL juga menurun untuk pertama kalinya di awal tahun ini dan pengumpulan pajak juga meningkat," tutup Vatcharin.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi menjelaskan tentang kemajuan ekonomi, perkembangan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, serta perubahan fundamental perekonomian suatu negara dalam jangka waktu yang cukup panjang. Pertumbuhan ekonomi selain sebagai tolak ukur keberhasilan atau kemunduran perekonomian suatu negara, juga merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan maka didalamnya terdapat kegiatan ekonomi yang berkembang.
Kegiatan ekonomi yang berkembang ini menandakan bahwa lapangan pekerjaan semakin banyak dan pendapatan masyarakat semakin meningkat, sehingga kesejahteraan masyarakatpun akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2017 Indonesia tercatat sebesar 5,01%. Capaian itu lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 4,92% dinilai rendah bila dibandingkan dengan kuartal I-2016 yang hanya sebesar 4,92%.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan meski lebih tinggi dari triwulan-I 2016, capaian pertumbuhan ekonomi kuartal pertama ini masih terbilang rendah. Salah satunya karena daya beli masyarakat di awal tahun yang masih rendah. "Pertumbuhannya relatif tipis. Dan kalau dilihat secara keseluruhan, di kuartal pertama itu memang relatif selalu lebih rendah dibanding yang lainnya. Apalagi nanti kuartal kedua nanti kita ketemu hari raya, jadi pasti lebih tinggi," ujar Hariyadi.
Pertumbuhan ekonomi yang 5,01% juga belum mampu mendorong sektor rill. Selain itu, daya beli masyarakat yang masih lemah. "Jadi secara keseluruhan pertumbuhan 5,01% itu relatif kecil, belum sanggup mendongkrak secara umum aktivitas di sektor rillnya. Seharusnya yang benar-bagus ya di atas 5,5%. Itu bisa terasa," tutur Hariyadi. Bukan itu saja, kelas menengah ke bawah juga belum tentu ikut merasakan efek pertumbuhan ekonomi.
"Lalu juga di masalah tenaga kerja. Itu juga yang membuat daya beli masyarakat yang rendah. Karena terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Karena penyerapan tenaga kerjanya kecil, artinya orang yang mempunyai pendapatan di sektor formal itu menciut jumlahnya. Sehingga daya belinya secara keseluruhan itu terlihat turun," kata dia.
"Seolah-olah kelas menengah ke atas yang survive. Kelas menengah bawahnya karena penyerapan tenaga kerjanya sedikit jadi problem, karena pendapatannya enggak ada. Itu yang mengakibatkan daya beli rendah. Karena penyebaran distribusinya enggak merata," tutup Hariyadi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal I-2017 sebesar 5,01%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,92%.
Namun, bagi pengusaha ritel, capaian pertumbuhan di kuartal I-2017 belum terasa dampaknya. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, mengatakan laju pertumbuhan ekonomi saat ini tidak diiringi perkembangan industri ritel. "Kalau untuk konsumsi ritel itu masih lemah. Misalnya, dalam bulan tertentu pengusaha harus menerima sekian persen dari total omzet setahun. Ini pertumbuhan tidak sesuai dengan prediksi. Itu yang dimaksud," terangnya Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Tutum mengatakan, pengeluaran dan pendapatan dari industri ritel masih belum seimbang. Hal itu mencerminkan, daya beli masyarakat yang juga mengalami perlemahan. "Antara cost dengan pendapatan itu tidak seimbang. Yang betul itu adalah cost yang naik itu udah pasti, karena Indonesia ini besar sekali, inflasi dan biaya-biaya lainnya dan itu kan harus bisa ditutupi dengan pendapatan. Itu yang dianggap sehat," katanya.
"Bagi kita (pengusaha ritel) bila tidak ada pendapatan yang sesuai untuk menutupi seluruh cost, berarti daya belinya (masyarakat) enggak kuat. sambungnya. Menurut Tutum, capaian pertumbuhan ekonomi lebih dilihat dari sektor belanja pemerintah. Contohnya dalam membangun infrastruktur yang saat ini terus dilakukan. "Mungkin karena BPS ini kan ngambil data dari semua sektor. Mungkin kekuatan data itu lebih mayoritas ke pertumbuhan yang non ritel. Contohnya konstruksi lagi besar-besaran dibangun, itu betul, atau kenaikan harga komoditas untuk ekspor. Tapi kalau untuk ritel belum," tuturnya.
Tata kelola pemerintahan atau birokrasi yang efektif dan pengelolaan fiskal yang lebih baik, penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Demikian disampaikan oleh Economic Affairs Officer Macroeconomic Policy and Financing for Development Division Komisi Ekonomi dan Sosial PBB wilayah Asia Pasific, Vatcharin Sirimaneetham dalam jumpa pers di Menara Thamrin, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Menurutnya, tata kelola pemerintahan dan manajemen fiskal yang efektif menjadi penting, mengingat tingginya tuntutan pada kebijakan fiskal untuk mengatasi beragam tantangan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. "Pemerintahan yang lebih baik berkaitan dengan penerimaan pajak yang lebih banyak. Bagaimana caranya? Melalui transparansi dan akuntabilitas. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas adalah cara kunci untuk pemerintahan dan pengaturan fiskal yang lebih baik," katanya.
Menurutnya, perbaikan birokrasi adalah kerja berat namun dapat dilihat hasilnya secara nyata dalam jangka panjang. Melalui implementasinya diharapkan terjadi perubahan yang positif dalam bidang kelembagaan, SDM dan akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Untuk mengatasi tantangan ini, ia merekomendasikan agar reformasi struktural dapat melengkapi kebijakan fiskal yang telah dilaksanakan pemerintah, sehingga bisa membantu meningkatkan potensi output.
Pasalnya, kualitas tata kelola akan mempengaruhi mobilisasi pendapatan, karena kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh persepsi publik terhadap efisiensi pengeluaran pemerintah. Hal ini diamini oleh peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dadi. Menurutnya, berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan baik sehingga target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan bisa tercapai.
"Pada awal 2017 ini, ekonomi tumbuh 5%, saya memuji pemerintah. Namun proyeksi kami dari World Bank dan IMF, berkisar antara 5,1 sampai 5,4%. Saya pikir pemerintah harus mendorong lebih melalui reformasi, 14 paket (kebijakan ekonomi) harus dilaksanakan dengan baik," ungkapnya. "Kita belum melakukan pekerjaan yang besar dalam reformasi peraturan dalam sepuluh tahun terakhir. Tax amnesty dilakukan untuk reformasi perpajakan, tapi realisasinya masih lebih rendah dari target. Namun komitmen pemerintah itu yang terpenting. Pertanyaannya selanjutnya, bagaimana meningkatkan kepatuhan pajak dan rasio pajak dan GDP. Makanya pemerintah harus meningkatkan kredibilitas anggaran," tambahnya.
Ekonomi Indonesia sendiri terbilang cukup sukses dengan tumbuh 5% di tahun 2016. Tingkat konsumsi rumah tangga yang membaik menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tengah tumbuhnya lapangan pekerjaan, harga pangan yang berhasil ditekan dan beberapa kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan membaiknya harga komoditas dunia, yang juga akan berdampak kepada ekspor, maka faktor dari dalam negeri diharapkan bisa ikut mendorong terwujudnya target pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Konsumsi rumah tangga yang membaik, dan investasi baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini sendiri kata dia bisa diwujudkan melalui tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan pengelolaan fiskal yang lebih baik. "Yang kami lihat, pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih tinggi dan juga tahun depan. Terutama karena konsumsi domestik. Tapi pada saat bersamaan Anda tahu bahwa harga minyak semakin meningkat dan relevan dengan ekonomi, termasuk fiskal, dan kalau saya lihat di pemberitaan, NPL juga menurun untuk pertama kalinya di awal tahun ini dan pengumpulan pajak juga meningkat," tutup Vatcharin.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi menjelaskan tentang kemajuan ekonomi, perkembangan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, serta perubahan fundamental perekonomian suatu negara dalam jangka waktu yang cukup panjang. Pertumbuhan ekonomi selain sebagai tolak ukur keberhasilan atau kemunduran perekonomian suatu negara, juga merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan maka didalamnya terdapat kegiatan ekonomi yang berkembang.
Kegiatan ekonomi yang berkembang ini menandakan bahwa lapangan pekerjaan semakin banyak dan pendapatan masyarakat semakin meningkat, sehingga kesejahteraan masyarakatpun akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2017 Indonesia tercatat sebesar 5,01%. Capaian itu lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 4,92% dinilai rendah bila dibandingkan dengan kuartal I-2016 yang hanya sebesar 4,92%.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan meski lebih tinggi dari triwulan-I 2016, capaian pertumbuhan ekonomi kuartal pertama ini masih terbilang rendah. Salah satunya karena daya beli masyarakat di awal tahun yang masih rendah. "Pertumbuhannya relatif tipis. Dan kalau dilihat secara keseluruhan, di kuartal pertama itu memang relatif selalu lebih rendah dibanding yang lainnya. Apalagi nanti kuartal kedua nanti kita ketemu hari raya, jadi pasti lebih tinggi," ujar Hariyadi.
Pertumbuhan ekonomi yang 5,01% juga belum mampu mendorong sektor rill. Selain itu, daya beli masyarakat yang masih lemah. "Jadi secara keseluruhan pertumbuhan 5,01% itu relatif kecil, belum sanggup mendongkrak secara umum aktivitas di sektor rillnya. Seharusnya yang benar-bagus ya di atas 5,5%. Itu bisa terasa," tutur Hariyadi. Bukan itu saja, kelas menengah ke bawah juga belum tentu ikut merasakan efek pertumbuhan ekonomi.
"Lalu juga di masalah tenaga kerja. Itu juga yang membuat daya beli masyarakat yang rendah. Karena terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Karena penyerapan tenaga kerjanya kecil, artinya orang yang mempunyai pendapatan di sektor formal itu menciut jumlahnya. Sehingga daya belinya secara keseluruhan itu terlihat turun," kata dia.
"Seolah-olah kelas menengah ke atas yang survive. Kelas menengah bawahnya karena penyerapan tenaga kerjanya sedikit jadi problem, karena pendapatannya enggak ada. Itu yang mengakibatkan daya beli rendah. Karena penyebaran distribusinya enggak merata," tutup Hariyadi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal I-2017 sebesar 5,01%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,92%.
Namun, bagi pengusaha ritel, capaian pertumbuhan di kuartal I-2017 belum terasa dampaknya. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, mengatakan laju pertumbuhan ekonomi saat ini tidak diiringi perkembangan industri ritel. "Kalau untuk konsumsi ritel itu masih lemah. Misalnya, dalam bulan tertentu pengusaha harus menerima sekian persen dari total omzet setahun. Ini pertumbuhan tidak sesuai dengan prediksi. Itu yang dimaksud," terangnya Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Tutum mengatakan, pengeluaran dan pendapatan dari industri ritel masih belum seimbang. Hal itu mencerminkan, daya beli masyarakat yang juga mengalami perlemahan. "Antara cost dengan pendapatan itu tidak seimbang. Yang betul itu adalah cost yang naik itu udah pasti, karena Indonesia ini besar sekali, inflasi dan biaya-biaya lainnya dan itu kan harus bisa ditutupi dengan pendapatan. Itu yang dianggap sehat," katanya.
"Bagi kita (pengusaha ritel) bila tidak ada pendapatan yang sesuai untuk menutupi seluruh cost, berarti daya belinya (masyarakat) enggak kuat. sambungnya. Menurut Tutum, capaian pertumbuhan ekonomi lebih dilihat dari sektor belanja pemerintah. Contohnya dalam membangun infrastruktur yang saat ini terus dilakukan. "Mungkin karena BPS ini kan ngambil data dari semua sektor. Mungkin kekuatan data itu lebih mayoritas ke pertumbuhan yang non ritel. Contohnya konstruksi lagi besar-besaran dibangun, itu betul, atau kenaikan harga komoditas untuk ekspor. Tapi kalau untuk ritel belum," tuturnya.
Friday, May 5, 2017
Dapat Suntikan Dana 16 Triliun ... Tarif Gojek Naik Tajam dan Driver Makin Tercekik
Perusahaan transportasi berbasis aplikasi, Gojek dikabarkan baru saja mendapatkan suntikan dana sebesar US$1,2 miliar atau sekira Rp 16 triliun dari raksasa teknologi asal China, Tencent. Sumber terdekat kedua perusahaan mengatakan kepada TechCrunch bahwa kesepakatan itu sudah ditandatangani sejak minggu lalu. Hanya saja hingga kini kedua pihak masih belum memberikan pernyataan resmi terkait pendanaan tersebut.
Dengan tambahan dana segar ini, otomatis valuasi Gojek saat ini sudah menyentuh angka US$3 miliar (sekitar Rp39,98 triliun). Angka itu setara dengan kompetitornya asal Singapura, Grab, meski masih selisih jauh dari Uber dengan valuasi mencapai US$60 miliar (Rp799, triliun).
Sebelum mengantongi tambahan dana dari Tencet, pada Agustus 2016 lalu Gojek juga baru mendapatkan suntikan investasi sebesar US$550 juta atau Rp7,3 triliun. Beberapa di antaranya adalah investor lama alias existing, yakni Sequoia India, Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures dan Formation Group. Sementara itu sisanya merupakan investor baru, yakni KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital and Capital Group Private Markets.
Saat itu sudah berhembus kabar ketertarikan induk perusahaan WeChat ini untuk berinvestasi di Gojek. Selain Tencent, kabarnya Alibaba dan layanan keuangan Ant Financial sempat melakukan pembicaraan dengan Gojek terkait rencana investasi. Meski kemudian keduanya dikabarkan tidak mencapai kata sepakat.
Tahun lalu, Gojek sempat mengisyaratkan rencana untuk melakukan ekspansi bisnisnya ke luar Indonesia, seperti India atau Sri Lanka. Namun begitu, hinga kini rencana tersebut masih urung terlaksana. Selain Gojek, ketertarikan Tencent berinvestasi di layanan penyedia transportasi juga sudah lebih dulu dilakukan untuk perusahaan taksi online terbesar di China, Didi Chuxing.
Tencent diketahui juga membeli lima persen saham Tesla pada Maret lalu senilai US$2 miliar. Gojek memangkas promo yang mereka berikan di sejumlah layanan yang menggunakan opsi pembayaran Gopay. Terkait pemotongan diskon tersebut, sejumlah pengguna nampak kebingungan dan tidak mengetahuinya.
Gojek telah mengonfirmasi kebenaran kabar pemangkasan diskon tersebut. Hal itu terlihat dari balasan yang mereka berikan di salah satu pertanyaan di Twitter. "Hai Claudi, untuk saat ini diskon layanan Goride menggunakan Gopay sebesar 40% ya. Terima kasih," tulis mereka.
Gojek sendiri terlihat tidak mengumumkan pemangkasan diskon Gopay ini. Dari pantauan, sosialisasi pemangkasan diskon ini tidak tampak di akun media sosial mereka. Pengumuman perubahan tarif diskon ini hanya terlihat di banner digital di aplikasi dan situs Gojek.
Sebelumnya seorang pengguna Gojek bisa menikmati tarif setengah dari yang harus mereka bayarkan jika menggunakan Gopay.Untuk layanan Go-Ride misalnya, Gojek diketahui memangkas diskon 50 persen yang selama ini mereka berikan ke pelanggannya. Saat ini diskon Goride yang berlaku hanya 40 persen dengan potongan maksimal Rp10.000. Sementara pada layanan mobil Gocar yang sebelumnya mendapat potongan 40 persen melalui Gopay juga tak berlaku lagi. Gojek mengurangi diskon untuk Gocar menjadi 30 persen saja. Pada layanan pengiriman barang Gosend, potongan yang berlaku kini 25 persen.
Belum diketahui apakah pemangkasan tarif ini terkait dengan penerapkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016. Aturan ini efektif berlaku per 1 April lalu. Sampai tulisan ini dibuat, pihak Gojek belum memberikan respon Keputusan untuk memangkas promo untuk opsi pembayaran Gopay tentu berimbas pada kenaikan tarif yang harus dibayarkan penumpang Gojek.
Anehnya, hal tersebut justru berimbas pada pendapatan pengemudi Gojek. Haryono, salah satu pengemudi mengaku justru mengalami penurunan pendapatan sejak Senin (3/4). "Biasanya untuk pesanan jarak 5km ke bawah pembayaran pakai Gopay, kami menerima Rp15 ribu. Tapi sejak potongan harga diturunkan dan penumpang diharuskan bayar lebih mahal, kami justru menerima lebih sedikit Rp 10.500," ucapnya.
Skema perhitungan yang diterapkan Gojek disebutnya, lagi-lagi merugikan mitra pengemudi. Bukan hanya tidak melibatkan pengemudi dalam pengubahan pola perhitungan tarif, manajemen kali ini juga memberlakukannya tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Lebih dari itu, Haryono juga mengaku saat ini skema pemberian bonus performa pengemudi juga mengalami perubahan. Meski masih diharuskan mengumpulkan sejumlah poin, namun kali ini besaran bonusnya kembali dipangkas.
"Memang masih diharuskan mengumpulkan poin, tapi dulu dapat bonus Rp 100 ribu sekarang malah turun jadi cuma Rp 50 ribu," ucapnya. Mengenai tidak transparannya skema perhitungan dan penurunan pendapatan, Haryono mengaku sejumlah sejumlah pengemudi akan berupaya membicarakannya dengan manajemen.
Salah satu poin yang dipertanyakan terkait dengan penurunan bonus dan tarif yang dibayarkan penumpang. "Memang rencananya pengemudi GOjek mau demo Senin (3/4) kemarin, tapi batal dan belum tahu kapan kami akan demo menyuarakan aspirasi ke manajemen," imbuhnya.
Kebingungan akibat perbedaan tarif sempat dirasakan oleh pengguna Gojek yang menggunakan opsi pembayaran Gopay. Penurunan pemotongan harga sempat membuat bingung, lantaran membuat tarif menjadi lebih mahal. Terkait hal itu, Gojek telah mengkonfirmasi kebenaran pemangkasan diskon. Dalam salah satu cuitannya, Gojek mengkonfirmasi telah mengubah skema diskon dari sebelumnya 50 persen dari total tarif menjadi 40 persen dan potongan maksimal Rp 10 ribu.
Dengan tambahan dana segar ini, otomatis valuasi Gojek saat ini sudah menyentuh angka US$3 miliar (sekitar Rp39,98 triliun). Angka itu setara dengan kompetitornya asal Singapura, Grab, meski masih selisih jauh dari Uber dengan valuasi mencapai US$60 miliar (Rp799, triliun).
Sebelum mengantongi tambahan dana dari Tencet, pada Agustus 2016 lalu Gojek juga baru mendapatkan suntikan investasi sebesar US$550 juta atau Rp7,3 triliun. Beberapa di antaranya adalah investor lama alias existing, yakni Sequoia India, Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures dan Formation Group. Sementara itu sisanya merupakan investor baru, yakni KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital and Capital Group Private Markets.
Saat itu sudah berhembus kabar ketertarikan induk perusahaan WeChat ini untuk berinvestasi di Gojek. Selain Tencent, kabarnya Alibaba dan layanan keuangan Ant Financial sempat melakukan pembicaraan dengan Gojek terkait rencana investasi. Meski kemudian keduanya dikabarkan tidak mencapai kata sepakat.
Tahun lalu, Gojek sempat mengisyaratkan rencana untuk melakukan ekspansi bisnisnya ke luar Indonesia, seperti India atau Sri Lanka. Namun begitu, hinga kini rencana tersebut masih urung terlaksana. Selain Gojek, ketertarikan Tencent berinvestasi di layanan penyedia transportasi juga sudah lebih dulu dilakukan untuk perusahaan taksi online terbesar di China, Didi Chuxing.
Tencent diketahui juga membeli lima persen saham Tesla pada Maret lalu senilai US$2 miliar. Gojek memangkas promo yang mereka berikan di sejumlah layanan yang menggunakan opsi pembayaran Gopay. Terkait pemotongan diskon tersebut, sejumlah pengguna nampak kebingungan dan tidak mengetahuinya.
Gojek telah mengonfirmasi kebenaran kabar pemangkasan diskon tersebut. Hal itu terlihat dari balasan yang mereka berikan di salah satu pertanyaan di Twitter. "Hai Claudi, untuk saat ini diskon layanan Goride menggunakan Gopay sebesar 40% ya. Terima kasih," tulis mereka.
Gojek sendiri terlihat tidak mengumumkan pemangkasan diskon Gopay ini. Dari pantauan, sosialisasi pemangkasan diskon ini tidak tampak di akun media sosial mereka. Pengumuman perubahan tarif diskon ini hanya terlihat di banner digital di aplikasi dan situs Gojek.
Sebelumnya seorang pengguna Gojek bisa menikmati tarif setengah dari yang harus mereka bayarkan jika menggunakan Gopay.Untuk layanan Go-Ride misalnya, Gojek diketahui memangkas diskon 50 persen yang selama ini mereka berikan ke pelanggannya. Saat ini diskon Goride yang berlaku hanya 40 persen dengan potongan maksimal Rp10.000. Sementara pada layanan mobil Gocar yang sebelumnya mendapat potongan 40 persen melalui Gopay juga tak berlaku lagi. Gojek mengurangi diskon untuk Gocar menjadi 30 persen saja. Pada layanan pengiriman barang Gosend, potongan yang berlaku kini 25 persen.
Belum diketahui apakah pemangkasan tarif ini terkait dengan penerapkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016. Aturan ini efektif berlaku per 1 April lalu. Sampai tulisan ini dibuat, pihak Gojek belum memberikan respon Keputusan untuk memangkas promo untuk opsi pembayaran Gopay tentu berimbas pada kenaikan tarif yang harus dibayarkan penumpang Gojek.
Anehnya, hal tersebut justru berimbas pada pendapatan pengemudi Gojek. Haryono, salah satu pengemudi mengaku justru mengalami penurunan pendapatan sejak Senin (3/4). "Biasanya untuk pesanan jarak 5km ke bawah pembayaran pakai Gopay, kami menerima Rp15 ribu. Tapi sejak potongan harga diturunkan dan penumpang diharuskan bayar lebih mahal, kami justru menerima lebih sedikit Rp 10.500," ucapnya.
Skema perhitungan yang diterapkan Gojek disebutnya, lagi-lagi merugikan mitra pengemudi. Bukan hanya tidak melibatkan pengemudi dalam pengubahan pola perhitungan tarif, manajemen kali ini juga memberlakukannya tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Lebih dari itu, Haryono juga mengaku saat ini skema pemberian bonus performa pengemudi juga mengalami perubahan. Meski masih diharuskan mengumpulkan sejumlah poin, namun kali ini besaran bonusnya kembali dipangkas.
"Memang masih diharuskan mengumpulkan poin, tapi dulu dapat bonus Rp 100 ribu sekarang malah turun jadi cuma Rp 50 ribu," ucapnya. Mengenai tidak transparannya skema perhitungan dan penurunan pendapatan, Haryono mengaku sejumlah sejumlah pengemudi akan berupaya membicarakannya dengan manajemen.
Salah satu poin yang dipertanyakan terkait dengan penurunan bonus dan tarif yang dibayarkan penumpang. "Memang rencananya pengemudi GOjek mau demo Senin (3/4) kemarin, tapi batal dan belum tahu kapan kami akan demo menyuarakan aspirasi ke manajemen," imbuhnya.
Kebingungan akibat perbedaan tarif sempat dirasakan oleh pengguna Gojek yang menggunakan opsi pembayaran Gopay. Penurunan pemotongan harga sempat membuat bingung, lantaran membuat tarif menjadi lebih mahal. Terkait hal itu, Gojek telah mengkonfirmasi kebenaran pemangkasan diskon. Dalam salah satu cuitannya, Gojek mengkonfirmasi telah mengubah skema diskon dari sebelumnya 50 persen dari total tarif menjadi 40 persen dan potongan maksimal Rp 10 ribu.
Subscribe to:
Posts (Atom)