Tata kelola pemerintahan atau birokrasi yang efektif dan pengelolaan fiskal yang lebih baik, penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Demikian disampaikan oleh Economic Affairs Officer Macroeconomic Policy and Financing for Development Division Komisi Ekonomi dan Sosial PBB wilayah Asia Pasific, Vatcharin Sirimaneetham dalam jumpa pers di Menara Thamrin, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Menurutnya, tata kelola pemerintahan dan manajemen fiskal yang efektif menjadi penting, mengingat tingginya tuntutan pada kebijakan fiskal untuk mengatasi beragam tantangan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. "Pemerintahan yang lebih baik berkaitan dengan penerimaan pajak yang lebih banyak. Bagaimana caranya? Melalui transparansi dan akuntabilitas. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas adalah cara kunci untuk pemerintahan dan pengaturan fiskal yang lebih baik," katanya.
Menurutnya, perbaikan birokrasi adalah kerja berat namun dapat dilihat hasilnya secara nyata dalam jangka panjang. Melalui implementasinya diharapkan terjadi perubahan yang positif dalam bidang kelembagaan, SDM dan akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Untuk mengatasi tantangan ini, ia merekomendasikan agar reformasi struktural dapat melengkapi kebijakan fiskal yang telah dilaksanakan pemerintah, sehingga bisa membantu meningkatkan potensi output.
Pasalnya, kualitas tata kelola akan mempengaruhi mobilisasi pendapatan, karena kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh persepsi publik terhadap efisiensi pengeluaran pemerintah. Hal ini diamini oleh peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dadi. Menurutnya, berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan baik sehingga target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan bisa tercapai.
"Pada awal 2017 ini, ekonomi tumbuh 5%, saya memuji pemerintah. Namun proyeksi kami dari World Bank dan IMF, berkisar antara 5,1 sampai 5,4%. Saya pikir pemerintah harus mendorong lebih melalui reformasi, 14 paket (kebijakan ekonomi) harus dilaksanakan dengan baik," ungkapnya. "Kita belum melakukan pekerjaan yang besar dalam reformasi peraturan dalam sepuluh tahun terakhir. Tax amnesty dilakukan untuk reformasi perpajakan, tapi realisasinya masih lebih rendah dari target. Namun komitmen pemerintah itu yang terpenting. Pertanyaannya selanjutnya, bagaimana meningkatkan kepatuhan pajak dan rasio pajak dan GDP. Makanya pemerintah harus meningkatkan kredibilitas anggaran," tambahnya.
Ekonomi Indonesia sendiri terbilang cukup sukses dengan tumbuh 5% di tahun 2016. Tingkat konsumsi rumah tangga yang membaik menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tengah tumbuhnya lapangan pekerjaan, harga pangan yang berhasil ditekan dan beberapa kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan membaiknya harga komoditas dunia, yang juga akan berdampak kepada ekspor, maka faktor dari dalam negeri diharapkan bisa ikut mendorong terwujudnya target pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Konsumsi rumah tangga yang membaik, dan investasi baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini sendiri kata dia bisa diwujudkan melalui tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan pengelolaan fiskal yang lebih baik. "Yang kami lihat, pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih tinggi dan juga tahun depan. Terutama karena konsumsi domestik. Tapi pada saat bersamaan Anda tahu bahwa harga minyak semakin meningkat dan relevan dengan ekonomi, termasuk fiskal, dan kalau saya lihat di pemberitaan, NPL juga menurun untuk pertama kalinya di awal tahun ini dan pengumpulan pajak juga meningkat," tutup Vatcharin.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi menjelaskan tentang kemajuan ekonomi, perkembangan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, serta perubahan fundamental perekonomian suatu negara dalam jangka waktu yang cukup panjang. Pertumbuhan ekonomi selain sebagai tolak ukur keberhasilan atau kemunduran perekonomian suatu negara, juga merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan maka didalamnya terdapat kegiatan ekonomi yang berkembang.
Kegiatan ekonomi yang berkembang ini menandakan bahwa lapangan pekerjaan semakin banyak dan pendapatan masyarakat semakin meningkat, sehingga kesejahteraan masyarakatpun akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2017 Indonesia tercatat sebesar 5,01%. Capaian itu lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 4,92% dinilai rendah bila dibandingkan dengan kuartal I-2016 yang hanya sebesar 4,92%.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan meski lebih tinggi dari triwulan-I 2016, capaian pertumbuhan ekonomi kuartal pertama ini masih terbilang rendah. Salah satunya karena daya beli masyarakat di awal tahun yang masih rendah. "Pertumbuhannya relatif tipis. Dan kalau dilihat secara keseluruhan, di kuartal pertama itu memang relatif selalu lebih rendah dibanding yang lainnya. Apalagi nanti kuartal kedua nanti kita ketemu hari raya, jadi pasti lebih tinggi," ujar Hariyadi.
Pertumbuhan ekonomi yang 5,01% juga belum mampu mendorong sektor rill. Selain itu, daya beli masyarakat yang masih lemah. "Jadi secara keseluruhan pertumbuhan 5,01% itu relatif kecil, belum sanggup mendongkrak secara umum aktivitas di sektor rillnya. Seharusnya yang benar-bagus ya di atas 5,5%. Itu bisa terasa," tutur Hariyadi. Bukan itu saja, kelas menengah ke bawah juga belum tentu ikut merasakan efek pertumbuhan ekonomi.
"Lalu juga di masalah tenaga kerja. Itu juga yang membuat daya beli masyarakat yang rendah. Karena terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Karena penyerapan tenaga kerjanya kecil, artinya orang yang mempunyai pendapatan di sektor formal itu menciut jumlahnya. Sehingga daya belinya secara keseluruhan itu terlihat turun," kata dia.
"Seolah-olah kelas menengah ke atas yang survive. Kelas menengah bawahnya karena penyerapan tenaga kerjanya sedikit jadi problem, karena pendapatannya enggak ada. Itu yang mengakibatkan daya beli rendah. Karena penyebaran distribusinya enggak merata," tutup Hariyadi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal I-2017 sebesar 5,01%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,92%.
Namun, bagi pengusaha ritel, capaian pertumbuhan di kuartal I-2017 belum terasa dampaknya. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, mengatakan laju pertumbuhan ekonomi saat ini tidak diiringi perkembangan industri ritel. "Kalau untuk konsumsi ritel itu masih lemah. Misalnya, dalam bulan tertentu pengusaha harus menerima sekian persen dari total omzet setahun. Ini pertumbuhan tidak sesuai dengan prediksi. Itu yang dimaksud," terangnya Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Tutum mengatakan, pengeluaran dan pendapatan dari industri ritel masih belum seimbang. Hal itu mencerminkan, daya beli masyarakat yang juga mengalami perlemahan. "Antara cost dengan pendapatan itu tidak seimbang. Yang betul itu adalah cost yang naik itu udah pasti, karena Indonesia ini besar sekali, inflasi dan biaya-biaya lainnya dan itu kan harus bisa ditutupi dengan pendapatan. Itu yang dianggap sehat," katanya.
"Bagi kita (pengusaha ritel) bila tidak ada pendapatan yang sesuai untuk menutupi seluruh cost, berarti daya belinya (masyarakat) enggak kuat. sambungnya. Menurut Tutum, capaian pertumbuhan ekonomi lebih dilihat dari sektor belanja pemerintah. Contohnya dalam membangun infrastruktur yang saat ini terus dilakukan. "Mungkin karena BPS ini kan ngambil data dari semua sektor. Mungkin kekuatan data itu lebih mayoritas ke pertumbuhan yang non ritel. Contohnya konstruksi lagi besar-besaran dibangun, itu betul, atau kenaikan harga komoditas untuk ekspor. Tapi kalau untuk ritel belum," tuturnya.
No comments:
Post a Comment