Jumlah kasus positif virus corona di Indonesia terus mencetak rekor baru dari hari ke hari. Setelah menembus kisaran 14 ribu per hari, lalu 15 ribu per hari, kemarin jumlah kasus bertambah 20 ribu dalam sehari. Saat ini, total jumlah kasus covid-19 di Indonesia sudah mencapai 2,05 juta. Dari jumlah itu, sekitar 1,82 juta telah dinyatakan sembuh dan 55,94 ribu meninggal dunia.
Tingginya lonjakan kasus covid-19 di tanah air tentunya tidak hanya memberi dampak pada sektor kesehatan, seperti rumah sakit penuh, tabung oksigen menipis, dan lainnya. Tapi juga berpengaruh pada kondisi ekonomi nasional. Lalu, bagaimana kira-kira proyeksi kondisi ekonomi Indonesia jika jumlah kasus covid-19 terus naik?
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kondisi ekonomi Indonesia tentu akan memburuk jika jumlah kasus terus naik. Apalagi, kebijakan yang diambil hanya berupa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Ketat.
Sebab, menurutnya, kebijakan PPKM Mikro Ketat berpotensi menurunkan ekonomi lebih dalam ketimbang penguncian wilayah (lockdown) atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Skenario tanpa lockdown, pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar minus 0,5 persen sampai positif 2 persen. Risiko kehilangan PDB senilai Rp463 triliun sampai Rp848 triliun," ungkap Bhima
Hitung-hitungan ini berasal dari berbagai pertimbangan, seperti aktivitas dan mobilitas yang terbatas, daya beli masyarakat yang terus menurun, hingga rupiah yang melemah dan mempengaruhi kinerja sektor-sektor lain. Penurunan daya beli masyarakat, sambungnya, tercermin dari rendahnya proyeksi inflasi ke depan, yaitu cuma di kisaran 1,5 persen sampai 1,8 persen pada 2021. Proyeksi lebih rendah dari asumsi pemerintah sebesar 3 persen plus minus 1 persen.
"Inflasi diperkirakan tetap rendah karena sisi permintaan melemah," imbuhnya.
Sementara nilai tukar rupiah berpotensi nyaris menyentuh Rp15 ribu per dolar AS. Tepatnya, di kisaran Rp14.500 sampai Rp14.950 per dolar AS. "Faktor yang menekan kurs rupiah tidak hanya datang dari lonjakan kasus covid-19 dan pengetatan mobilitas, tapi juga tekanan eksternal yang berasal dari sentimen investor mengantisipasi taper tantrum," jelasnya.
Proyeksi yang tak jauh berbeda juga dilihat Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Sebab, lonjakan kasus covid-19 yang terus meninggi tanpa dibarengi dengan kebijakan pembatasan yang drastis hanya akan membuat ekonomi tergerus untuk waktu yang lebih lama. "Maka bisa jadi pertumbuhan ekonomi di kuartal III nanti berpotensi lebih rendah dibandingkan kuartal II," ujar Yusuf.
Selain itu, kasus yang tinggi dan penanganan yang tidak tegas rentan mempengaruhi tingkat kepercayaan investor di pasar keuangan, sehingga sangat mudah menggoyangkan aliran modal asing untuk keluar dari tanah air. Ketika itu terjadi, maka sudah pasti kurs mata uang Garuda ikut terdepresiasi.
"Sementara untuk inflasi sendiri, sebenarnya justru potensinya lebih kepada deflasi, tetapi deflasi bisa jadi menjadi sinyal buruk terhadap daya beli masyarakat," terangnya. Pasalnya, pendapatan masyarakat berkurang dan mereka perlu menyesuaikan tingkat konsumsi. Hal ini selanjutnya juga akan mempengaruhi laju pertumbuhan bisnis dan industri.
Sedangkan Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai dampak ekonomi dari lonjakan kasus covid-19 sudah akan terasa sejak kuartal II ini, meski lonjakan baru terjadi di penghujung Juni 2021. Sebab, pengetatan sudah mulai terjadi dan sentimen di pasar keuangan ikut meningkat.
"Maka proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 diperkirakan sulit mencapai 7 persen seperti yang diproyeksikan oleh pemerintah. Pertumbuhan kuartal II 2021 diperkirakan sebesar 6 persen," ucap Josua. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan sampai akhir 2021 diperkirakan berada di kisaran 4 persen. Pengaruh utama datang dari pembatasan kegiatan masyarakat yang naik turun.