Tuesday, November 22, 2011

Mendengungkan Kembali Kebangkitan Asia


Bagi Prof Kishore Mahbubani, Jakarta bukan kota yang asing. Tahun 1969 ia sudah datang ke Jakarta. Selama 42 tahun terakhir ini ia telah puluhan kali Indonesia, termasuk Jakarta. Namun, kali ini Kishore datang karena bukunya ”Asia Hemisfer Baru Dunia” .

Hari Senin (21/11) Kishore mungkin tak sempat ke rumah kakak iparnya di dekat Jalan Pasar Baru, seperti 42 tahun lalu. Ayah dari Kishore jr, Jhamat, dan Shelagh, ini harus hadir di Bentara Budaya Jakarta, kawasan Palmerah. Bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Anies Baswedan, dan A Tony Prasetiantono—seluruhnya sebagai pembahas—ia tampil dalam bedah buku Asia Hemisfer Baru Dunia yang intinya mendengungkan kebangkitan Asia.

”Saat saya menerbitkan buku ini (tahun 2008), saya tidak berharap bisa bepergian ke berbagai negara. Nyatanya, kini buku ini sudah diterbitkan dalam sejumlah bahasa, yakni Arab, China, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Korea, Vietnam, dan Indonesia,” ujar Kishore dalam wawancara, akhir pekan lalu. Dia pun terbang ke sejumlah negara tadi.

Namun, bagi pria kelahiran tahun 1948 ini, yang lebih penting adalah bukunya diterima secara positif di sebagian besar Asia. Bahkan, para intelektual Asia menjadikannya sebagai buku pegangan. ”Saya juga senang bahwa buku ini dijadikan buku teks di berbagai universitas terkemuka di Amerika, termasuk Harvard University,” ujar Kishore.

Apa sebenarnya yang hendak disampaikan? ”Saya hendak mengatakan kepada dunia bahwa Asia memasuki era baru sejarah dunia yang ditandai dengan dua poin utama. Pertama, kita akan melihat akhir dari era dominasi Barat dalam sejarah dunia. Tapi, akhir dari dominasi Barat dalam sejarah dunia tidak berarti akhir dari Barat. Kedua, melihat kembalinya Asia,” ujar suami dari Anne King Markey ini.
Dijelaskan, sejak tahun pertama Masehi hingga tahun 1820, China dan India secara konsisten merupakan dua ekonomi terbesar di dunia. Mereka akan kembali ke posisi yang sama tadi di abad ke-21 ini. ”Buku saya ini menjelaskan mengapa dua perubahan besar dalam sejarah dunia akan terjadi,” ujarnya.

Ide Kishore soal buku ini sudah terakumulasi selama beberapa tahun. Ia menjelaskan, buku ini dibuat setelah ia menyimak dan berbicangbincang dengan sejumlah pemikir di Asia. ”Saya banyak membahas kebijakan politik dan pragmatisme para pemimpin China dan Singapura, seperti Deng Xiaoping, Wen Jiabao, Zhu Rongji, dan Lee Kuan Yew,” ujarnya.

Telepon seluler
Kishore, yang juga pengajar pada Praktik Kebijakan Publik pada Kebijakan Publik Lee Kuan Yew School, Universitas Nasional Singapura, antara lain, menempatkan penggunaan telepon seluler yang melonjak tajam di Asia sebagai tolok ukur kebangkitan kembali Asia. Bagaimana korelasinya?
”Tahun 1995 ada 77.000 pengguna telepon seluler di India. Tahun 2000 jumlah itu tumbuh menjadi 3,6 juta. Tahun 2011 menjadi 851,7 juta pengguna telepon seluler. Benar-benar menakjubkan. Di Indonesia, kini diperkirakan ada 246,1 juta pengguna telepon seluler, naik dari hanya 1 juta pada tahun 1997,” ujar Kishore.

Seperti dijelaskan dalam buku, lanjut Kishore, memperoleh telepon seluler bukan hanya soal menggunakan alat. Ini adalah tentang memberdayakan kaum miskin, lebih efektif daripada mendapat dana bantuan asing. Telepon seluler mendorong langkah menuju modernitas yang melanda di seluruh Asia. Informasi soal kemajuan bisa diraih lebih awal.

Soal adanya pandangan bahwa era pertumbuhan sebagaimana dialami Asia sekarang ini suatu waktu kelak akan beralih lagi ke Barat, Kishore mengatakan, mengapa negara-negara Asia berhasil? Sekali lagi karena mereka akhirnya mengerti dan menyerap tujuh pilar kebijakan Barat. Tujuh pilar itu, yakni pasar bebas ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, meritokrasi, budaya pragmatisme, budaya perdamaian, penegakan hukum, dan pendidikan.

”Tragisnya, pada saat negara-negara Asia telah menemukan kembali kebijakan tujuh pilar, negara-negara Barat telah kehilangan kepercayaan pada beberapa pilar tadi, termasuk ekonomi pasar bebas. Karena itu, waktunya telah tiba bagi Barat untuk kembali mempelajari nilai-nilai dari tujuh pilar dari negara-negara Asia,” ujar Kishore.

Posisi Indonesia dalam kebangkitan Asia? Kishore berpendapat, sejak pertama kali ke Indonesia dan beberapa kali kemudian datang lagi ke sini, ia sungguh sangat terkesan dengan kemajuan yang dicapai Indonesia. ”Memang benar bahwa Indonesia mengalami pangsa pasang surut, tetapi kecenderungan jangka panjang cukup positif. Saya yakin bahwa Indonesia sekarang dapat bergabung dengan China dan India dan juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia,” ujarnya.

Kishore terlihat segar dan fit pada usia 63 tahun. Tidak heran karena pria ini selalu menjaga kebugaran dengan berjalan sejauh 8 kilometer, tiga kali seminggu, di sepanjang East Coast Park, Singapura. ”Saya juga sesekali bermain golf,” ujarnya.

Kishore sudah menulis tiga buku. Ketiganya, yaitu Can Asian Think?, Beyond the Age of Innocence: Rebuilding Trust Between America and The World, dan The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to The East.

”Saya harus berterima kasih kepada istri dan anak-anak karena sejak kerja penuh di Lew Kuan Yew School, waktu akhir pekan mereka terpaksa tersita, (saya gunakan) untuk menulis. Itu sebabnya saya dedikasikan buku ini bagi mereka.” katanya.

No comments:

Post a Comment