Pada tahun 2007, Sungkono mengubah nama perseroan menjadi PT Modern Internasional Tbk. Ia kemudian pada 2008 berangkat ke kantor pusat 7-Eleven di Dallas, Texas Amerika Serikat untuk menandatangani perjanjian awal (Letter of Intent/LoI) Master Franchise gerai 7-Eleven.
Satu tahun kemudian, Modern Internasional mendirikan anak usaha yakni PT Modern Putra Indonesia dan menunjuk Henri Honoris sebagai Direktur Utama. Entitas bisnis ini secara resmi menggenggam hak pendirian 7-Eleven di Indonesia. Gerai 7-Eleven pertama di Indonesia pun resmi didirikan di Bulungan, Jakarta Selatan di bawah naungan lisensi anak usaha.
Di tangan Henri lah, Sungkono mempercayakan keberlangsungan bisnis waralaba yang terkenal dengan produk minuman Slurpee itu. Pria kelahiran Jakarta 42 tahun silam itu merupakan lulusan Busines Administration in Marketing and Finance di Universitas Seattle Amerika Serikat.
Ia mengawali karier dengan bekerja di Fuji Photo Film di New York, Amerika Serikat sebagai market research analyst (1998-2000). Kemudian ia melanjutkan karier sebagai assistant manager di PT Modern Indolab (2002-2003). Kariernya makin melejit ketika ia juga merangkap sebagai Presiden Direktur PT Modern Putra Indonesia yang saat ini telah bersulih nama menjadi PT Modern Sevel Indonesia (MSI)
Namun bisnis 7-Eleven di Indonesia harus berakhir pada akhir bulan ini. Sesuai pengumuman dari PT Modern Internasional Tbk, seluruh gerai 7-Eleven resmi ditutup pada akhir Juni kemarin. Penutupan gerai disebut terpaksa dilakukan Modern Internasional antara lain karena gagalnya akuisisi 7-Eleven yang sebelumnya akan dilakukan PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI). Nilai akuisisi waralaba tersebut sebelumnya ditaksir mencapai Rp1 triliun.
Dalam laporan keuangan MSI, pada 2014 berhasil mengantongi penjualan sebesar Rp 971,8 miliar. Perseroan pun masih bisa mengantongi laba operasi sebesar Rp 83,8 miliar dan laba tahun berjalan sebesar Rp 5,18 miliar. Namun pada 2015 penjualan MSI mulai menurun ke level Rp 886,15 miliar. Kala itu perseroan mengalami kerugian operasional Rp 49,58 miliar dan rugi tahun berjalan sebesar Rp 127,7 miliar.
Kinerja MSI semakin terpuruk pada 2016, tercatat penjualan semakin turun menjadi Rp 675,27 miliar. Rugi operasional juga semakin besar menjadi Rp 695,78 miliar dan rugi tahun berjalan meningkat ke level Rp 554,87 miliar. Kinerja dari PT Modern Internasional Tbk (MDRN) selaku induk usaha dari PT Modern Sevel Indonesia (MSI) hingga saat ini masih terseok-seok. Hingga kuartal I-2017 perseroan mengalami kerugian hingga Rp 447,9 miliar.
Melansir dari laporan keuangan konsolidasian perseroan, Senin (3/7/2017), kerugian perseroan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi perseroan di kuartal I-2016 yang masih mampu membukukan laba sebesar Rp 21,3 miliar.
Rapor merah perseroan sepertinya juga dibebani dengan meningkatnya pos liabilitas atau utang. Tercatat total liabilitas MDRN meningkat dari Rp 1,34 triliun di kuartal I-2016 menjadi Rp 1,38 triliun di kuartal I-2017. Peningkatan total liabilitas terbesar terjadi di liabilitas jangka pendek yang naik dari Rp 1,03 triliun menjadi Rp 1,07 triliun. Sementara total liabilitas jangka panjang masih tetap sebesar Rp 305,01 miliar.
Total aset perseroan juga turun 20,84% dari Rp 1,98 triliun menjadi Rp 1,57 triliun. Di mana terdiri dari total aset lancar sebesar Rp 335,6 miliar dan total aset tidak lancar sebesar Rp 1,23 triliun.
Tidak hanya itu, tanah dan bangunan perseroan sebesar Rp 864,39 miliar digunakan sebagai jaminan atas pinujaman bank berjangka pendek dan panjang dari Standard Chartered Bank Singapore, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Permata Tbk dan PT BNI Tbk.
Selain itu berdasarkan akta fidusia, mesin dan peralatan sebesar Rp 580,6 miliar digunakan sebagai jaminan atas pinjaman bank jangka pendek dan panjang dari deretan bank yang sama. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau induk usaha 7-Eleven yakni PT Modern Internasional Tbk (MDRN) memberikan informasi lanjutan terkait penutupan gerai akhir Juni lalu.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Nurhaida mengatakan hal tersebut harus dilakukan oleh perusahaan karena telah terdaftar sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia (BI). "Hal ini sesuai dengan ketentuan, perusahaan harus menginformasikan terkait keputusan bisnisnya," kata Nurhaida di Gedung BI, Jakarta, Senin (3/7/2017). Dia menyebut, sesuai aturan OJK, perusahaan harus menyampaikan keterbukaan informasi setelah 2 hari kerja paska keputusan yang diambil perusahaan.
"Tapi karena kita kemarin libur 10 hari kalender jadi belum ada pemberitahuannya di OJK," ujar dia. Dia mengatakan, perusahaan harus segera mengeluarkan keterbukaan informasi karena sudah menjadi informasi publik. Nurhaida menambahkan, jika lewat 2 hari kerja sejak penutupan gerai, maka OJK akan mengirim surat kepada perusahaan untuk mengumumkan keterbukaan.
Sebelumnya pada 23 Juni lalu, MDRN sudah mengumumkan terkait penutupan gerai pada 30 Juni 2017. Penutupan dilakukan karena keterbatasan sumber daya perseroan untuk menunjang biaya operasional 7-Eleven. Saham PT Modern Internasional Tbk (MDRN) kini mendekam di harga terendah Rp 50 alias gocap. Emiten ini sendiri merupakan induk usaha dari PT Modern Sevel Indonesia sebagai pemegang master franchise 7-Eleven (Sevel) di Indonesia.
Kejatuhan saham MDRN paling dalam terjadi pada Senin 5 Juni 2017 sebesar 12,07% ke level Rp 51. Setelah itu, saham MDRN bergerak dalam rentang Rp 51-53 per saham. Pada 15 Juni 2017 saham MDRN sudah menyentuh level Rp 50, namun keesokan harinya kembali menguat 1 poin ke level Rp 51 per saham. Akhirnya pada 19 Juni 2017 saham MDRN kembali berpredikan gocap dan tidak bergerak hingga hari ini.
Menurut Analis Mina Padi Investama Christian Saortua sulit bagi saham MDRN untuk bangkit kembali. Sebab keputusan perseroan yang menyerah mengembangkan Sevel di Indonesia menimbulkan sentimen negatif besar bagi pelaku pasar. "Saat ini isu Sevel masih telalu mendominasi. Selama belum ada langkah kongkrit dari perseroan sepertinya sahamnya belum akan ke mana-mana," tuturnya kepada detikFinance, Senin (3/7/2017).
Menurutnya, jika ingin sahamnya kembali bangkit, perseroan harus menunjukan langkah kongkrit untuk menyelamatkan kinerja bisnisnya. Sementara hingga saat ini detikFinancebelum mendapatkan keterangan dari pihak MDRN terkait keberlangsungan bisnisnya. "Apalagi perseroan juga harus menanggung beban utang yang tinggi," tuturnya.
Sekedar informasi, sebenarnya saham MDRN pernah berjaya. Jika melihat sejarahnya, perseroan melakukan pencatatan saham perdana di Bursa Efek Indonesia pada 1991. MDRN melepas 4,5 juta lembar saham dengan harga penawaran Rp 6.800. Emiten yang kala itu bergerak dalam lini bisnis fotografi, alat percetakan dan perdagangan pada umumnya itu sahamnya cukup diminati. Bahkan pada November 1995 saham MDRN sempat menyentuh level Rp 13.700 per saham.
Namun perseroan juga beberapa kali melakukan aksi korporasi seperti penerbitan rights issue dan pemecahan nilai saham (stock split). Setidaknya MDRN telah melakukan 2 kali stock split yakni pada 22 September 1997 dan 3 Juli 2012 dengan rasio 1:5. Kalau itu saham MDRN langsung berubah dari Rp 3.100an menjadi Rp 700an per saham.
Sejak saat itu saham MDRN cenderung bergerak sideway di kisaran Rp 600-800 per saham. Namun pada Agustus 2015 saham MDRN jatuh ke level Rp 180 dan terus bergerak di kisaran Rp 100an, seiring dengan melesunya bisnis andalan perseroan yakni Sevel.
Ambruknya saham MDRN belakangan ini juga diawali dengan diumumkannya pembatalan akuisisi master franchise Sevel di Indonesia dari anak usahanya PT Modern Sevel Indonesia (MSI) oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI). Padahal PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) selaku induk usaha dari CPRI sudah menyiapkan Rp 1 triliun untuk mengakuisisi seluruh gerai Sevel beserta asetnya.
Lantaran batalnya akuisisi tersebut, kini MDRN mengumumkan akan menutup seluruh gerai Sevel. Terhitung per tanggal 30 Juni 2017 seluruh gerai Sevel di bawah manajemen MSI akan berhenti beroperasi. Saham PT Modern Internasional Tbk (MDRN) sebagai induk usaha dari PT Modern Sevel Indonesia (MSI) kini masuk dalam daftar saham paling murah yakni Rp 50 per lembar alias gocap. Biasanya saham-saham yang berada di level itu sulit bergerak dan akan tidur lama.
MDRN jatuh di level gocap sejak 19 Juni 2017 hingga pembukaan perdagangan hari ini. Hal itu seiring dengan pernyataan perseroan yang memutuskan untuk menutup seluruh gerai 7-Eleven (Sevel) sejak 30 Juni 2017 kemarin. Sebenarnya saham MDRN pernah berjaya. Jika melihat sejarahnya, seperti dikutip dari data perdagangan BEI Senin (3/7/2017), perseroan melakukan pencatatan saham perdana di Bursa Efek Indonesia pada 1991. MDRN melepas 4,5 juta lembar saham dengan harga penawaran Rp 6.800.
Emiten yang kala itu bergerak dalam lini bisnis fotografi, alat percetakan dan perdagangan pada umumnya itu sahamnya cukup diminati. Bahkan pada November 1995 saham MDRN sempat menyentuh level Rp 13.700 per saham. Namun perseroan juga beberapa kali melakukan aksi korporasi seperti penerbitan rights issue dan pemecahan nilai saham (stock split). Setidaknya MDRN telah melakukan 2 kali stock split yakni pafa 22 September 1997 dan 3 Juli 2012 dengan rasio 1:5. Kalau itu saham MDRN langsung berubah dari Rp 3.100-an menjadi Rp 700-an per saham.
Sejak saat itu saham MDRN cenderung bergerak sideway di kisaran Rp 600-800 per saham. Namun pada Agustus 2015 saham MDRN jatuh ke level Rp 180 dan terus bergerak di kisaran Rp 100-an, seiring dengan melesunya bisnis andalan perseroan yakni Sevel.
Ambruknya saham MDRN belakangan ini juga diawali dengan diumumkannya pembatalan akuisisi master franchise Sevel di Indonesia dari anak usahanya PT Modern Sevel Indonesia (MSI) oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI). Padahal PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) selaku induk usaha dari CPRI sudah menyiapkan Rp 1 triliun untuk mengakuisisi seluruh gerai Sevel beserta asetnya. Lantaran batalnya akuisisi tersebut, kini MDRN mengumumkan akan menutup seluruh gerai Sevel. Terhitung per tanggal 30 Juni 2017 seluruh gerai Sevel di bawah manajemen MSI akan berhenti beroperasi.
No comments:
Post a Comment