Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, industri ritel bisa jadi salah satu sektor yang masih lesu. Bahkan, sebuah jaringan convenience store terkemuka, 7-Eleven (Sevel), harus menutup semua gerainya lantaran biaya operasi yang tinggi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mande, mengungkapkan aturan larangan penjualan minuman beralkohol (minol) ikut berkontribusi pada penurunan omzet pelaku usaha ritel. Pihaknya mengusulkan pemerintah mencabut larangan tersebut.
"Itu termasuk (minol) salah satu tergerusnya penjualan. Tadinya ada tersedia di rak dan dilarang sehingga ini perlu dideregulasi lagi. Untuk minol kita minta RUU sampai sekarang belum keluar, ritel minta bukan pelarangan," kata Roy ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Ketimbang melarang, lanjutnya, lebih baik dilakukan pengawasan ketat pada penjualan minol di ritel seperti minimarket."Tapi pengawasan dan monitoring saja yang diperketat. Jangan pelarangan, karena itu mengurangi transaksi ekonomi," ucap Roy. Menurut dia, para pengusaha ritel sudah melayangkan usulan tersebut ke Kementerian Perdagangan (Kemendag), bahkan saat diluncurkan paket kebijakan ekonomi soal deregulasi. Seperti diketahui, aturan larangan penjualan minol di minimarket tertuang dalam Permendag Nomor 6/M-Dag/PER/1/2015.
"Kita sudah mintakan ada di paket regulasi pertama dari sekian yang dideregulasi di paket pertama, ada poin pengaturan revisi tentang Permendag 56 yang melarang minol. Jadi itu akan dibahas dalam rancangan UU akan menjadi satu aturan yang baku. Sampai hari ini kan belum tuntas," jelas Roy.
"Kita selalu harapkan adalah bukan pelarangan, karena seluruh dunia pun menjual. Tapi ini pengaturan atau monitoring atau pengawasan yang lebih diperbaharui. Kan sudah ada pengaturan terhadap minol di Permendag. Kalau ini mau perbaharui atau diperketat atau diatur sedemikian rupa, silakan. Tapi jangan pelarangan," pungkasnya.
Belum adanya penjelasan yang komprehensif dari PT Modern Internasional Tbk (MDRN) membuat banyak pihak bertanya-tanya apa yang membuat perseroan mengibarkan bendera putih dalam mengembangkan 7-Eleven (Sevel) di Indonesia. Salah satu lembaga pemeringkat terbesar di dunia Fitch Ratings menilai ada beberapa hal yang membuat Sevel harus tumbang di Indonesia. Salah satunya terimbas dari risiko regulasi yang dikeluarkan pemerintah.
Bisnis Sevel memang sedikit terguncang sejak keluarnya kebijakan pemerintah yang melarang penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat tertentu. Padahal mayoritas penjualan Sevel didapat dari penjualan bir dan camilan ringan. Peraturan pelarangan penjualan minuman beralkohol ditempat tertentu itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
"Rantai bisnis 7-Eleven di Indonesia memang terganggu dengan perkembangan peraturan yang kurang kondusif dari pelarangan penjualan minuman beralkohol, yang sebenarnya menyumbang 15% dari penjualan Modern Internasional," kata riset Fitch Ratings dilansir dalam keterangan tertulisnya, Senin (3/7/2017).
Alhasil gerai Sevel mulai bertumbangan sejak 2015 yang tutup sekitar 20 toko. Kemudian 2016 disinyalir Modern Internasional menutup 20 toko. Penutupan toko akhirnya menyebabkan penurunan penjualan sebesar 28% dan kerugian EBITDA di 2016.
Fitch juga meyakini tumbangnya Sevel di Indonesia juga diperburuk dengan tidak jelasnya model bisnis Sevel yang seperti perpaduan toko swalayan dengan restoran cepat saji sehingga harus menghadapi persaingan di dua lapangan berbeda. Risiko yang dialami Sevel juga sama dengan bisnis restoran cepat saji lainnya dengan persaingan yang sangat ketat.
Sevel juga sulit bersaing dengan minimarket lainnya karena beban biaya sewa yang lebih tinggi. Umumnya Sevel hadir lebih luas lantaran adanya area kursi dan meja sehingga membuat sewa lebih mahal dibanding minimarket lainnya yang lebih kecil. Selain itu jaringan toko Sevel juga sebagian besar ada di Jakarta dengan lokasi yang strategis. Sehingga biaya sewa tentu jauh lebih besar dibanding Alfamart dan Indomaret yang berada di wilayah terpencil dekat dengan pemukiman penduduk
Larangan penjualan minuman beralkohol (minol) di minimarket disebut-sebut jadi salah satu kontributor lesunya penjualan industri ritel di Indonesia. Pengusaha pun mengusulkan ke pemerintah agar larangan tersebut dicabut. Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mande, mengatakan pelarangan menjual bir di minimarket tak bisa jadi alasan pemerintah untuk pengendalian peredaran minol. Miras berbahaya yang bebas beredar di masyarakat jauh lebih berbahaya ketimbang minol yang dijual di gerai ritel.
"Bukan karena bir diperdagangkan, berarti mereka mudah dapatkan, kemudian mereka mengoplos akhirnya ada kematian dan meninggal, jadi bukan karena ada birnya. Karena bir sudah ada dari zaman dulu," ujar Roy ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (10/7/2017). Menurutnya, jauh lebih banyak miras dengan kadar alkohol yang lebih tinggi dan dijual bebas di masyarakat. Selain itu, lebih baik pemerintah memperluas edukasi bahaya minuman keras yang memang berbahaya.
"Bahkan di Indonesia sudah terkenal dengan daerah yang memproduksi minuman keras yang luar biasa dahsyatnya, luar biasa pengaruh alkoholnya di atas 8%. Tapi kalau di bawah 1% ini kalau dibilang penyebab kematian, penyebab pesta miras sebenarnya musti dilihat akar dari pesta miras itu apa," kata Roy.
"Kita harapkan adalah masyarakat bisa di edukasi untuk tidak melakukan oplosan. Karena pada saat itu berkembang seolah-olah penyebab miras oplosan itu karena bir yang dijual di minimarket. Tapi sebenarnya tidak hanya bir saja, dengan soda pun campur spirtus oplosan bisa berbahaya," tambahnya. Dia berujar, larangan penjualan bir di minimarket juga malah menciptakan peredaran minol di pasar gelap. Dampak lainnya membuat penerimaan pajak berkurang.
"Terciptanya black market, menjual bir di jalanan dengan mobil di bagasi, mereka parkir di minimarket. Jadi ada black market yang akan masuk, daripada black market mending terang-terangan toh pajaknya juga disetorkan ke negara. Pabriknya juga mengkontribusi tenaga kerja," tandas Roy.
Dia melihat, konsumsi bir dianggap lumrah di banyak negara. Ketimbang dilarang, pihaknya mengusulkan pada pengetatan pengawasan penjualan minol di minimarket. "Jadi bagi kami melihat bir Bintang itu yang biasa dikonsumsi mereka pernah hidup dan tinggal atau kuliah di luar negeri. Kemudian bagi ekspatriat karena memang sistem yang di sana, jadi mereka biasa minum itu. Kemudian wisatawan dan lain sebagiannya," pungkasnya
No comments:
Post a Comment