Friday, July 21, 2017

Analisa Mati Suri Bisnis Retail dan Mall

Ramadan dan Idul Fitri biasanya menjadi dongkrak pertumbuhan ekonomi selama setahun. Pasalnya, kebutuhan yang tinggi membuat konsumsi masyarakat melesat, dan menggenjot roda perputaran uang. Namun nyatanya, pada Lebaran tahun ini kondisi permintaan barang dan jasa yang terjadi di masyarakat malah mengalami stagnasi bahkan cenderung turun. Hal tersebut terindikasi dari turunnya penjualan pedagang, perusahaan ritel serta permintaan kredit bank untuk segmen konsumer.

Fenomena ini menjadi lampu kuning bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, konsumsi masyarakat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Laju inflasi pada Juni 2017 sebesar 0,69 persen secara bulanan (month to month/mtm) merupakan yang terendah selama tiga tahun terakhir. Padahal, periode tersebut merupakan momen Ramadan dan Lebaran, di mana biasanya inflasi tinggi karena daya beli masyarakat yang juga meningkat.

Pelemahan daya beli masyarakat itupun diakui oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, ia mengatakan bahwa hampir semua perusahaan ritel mengeluhkan turunnya daya beli masyarakat. Tahun ini, menurut Hariyadi, daya beli masyarakat memang jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Ukurannya memang pada saat hari raya Idul Fitri. Hampir semua pengusaha menyatakan keluhannya bahwa ada penurunan yang cukup signifikan dibanding tahun lalu," ujar Hariyadi saat dihubungi, Senin (10/7). Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman juga menilai, pemerintah perlu mengantisipasi penurunan daya beli yang terus terjadi. Menurut dia, untuk menarik pertumbuhan diperlukan sinkronisasi antara kebijakan ekonomi makro dan mikro.

"Kenapa investment grade bagus, cadangan devisa bagus, pertumbuhan ekonomi bagus tapi kok ritelnya agak jelek. Nah, ini yang harus kita cari kenapa tidak ada hubungannya. Ini yang sementara belum terjawab," tanyanya.

Adhi melanjutkan, pemerintah harus sadar jika kondisi seperti ini sudah agak rawan sehingga perlu diantisipasi segera supaya tidak berkelanjutan. "Daya beli masyarakat ini yang perlu diantisipasi pemerintah. Kalau sudah terlanjur, agak berat untuk mengangkat lagi," ungkapnya. Adhi berharap tidak ada ancaman PHK bagi industri makanan dan minuman terkait imbas penurunan daya beli masyarakat.

"Saya dengar dari ritel beberapa sudah mengurangi. Untuk industri makanan minuman saya belum dengar ada PHK. Mudah-mudahan tidak terjadi, tapi kita harus antisipasi kelemahan ekonomi ini bersama pemerintah," katanya. Menurunnya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia selama semester I juga terlihat dari landainya permintaan kredit perbankan segmen khususnya segmen otomotif.

Direktur Konsumer PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan, mengatakan penurunan paling dalam untuk kredit konsumer terjadi untuk portfolio kredit otomotif kendaraan roda empat, penurunan permintaan kredit segmen tersebut pada semester I tahun ini diperkirakan bisa mencapai minus 10 persen.

Kendati demikian menurutnya, segmen kredit konsumer lainnya yakni Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan Kartu Kredit (KK) masih bisa diandalkan dengan masing-masing pertumbuhan mencapai 10 persen dan 15 persen. Optimisme itu terdorong berkat insentif yang datang pertengahan tahun ini dimana Bank Indonesia (BI) telah memberikan pelonggaran terhadap aturan bunga kartu kredit.

"Tapi kami juga monitor apakah akan ada perlambatan di kuartal III dan total semester II, karena adanya kekhawatiran daya beli masyarakat yang menurun. Dan kita lihat apakah penurunan bunga kartu kredit akan bisa tetap menggairahkan penggunaan kartu kredit sebagai metode pembayaran," ujar Lani.

Melemahnya sentimen konsumen terhadap ekonomi juga disertai peningkatan kekhawatiran langkanya lapangan kerja. Kekhawatiran tersebut terukur dalam Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Juni 2017 hasil survei Danareksa Research Institute turun sebesar 0,9 persen menjadi 98,2.

Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Damhuri Nasution mengatakan, konsumen merasa kondisi ekonomi saat ini melemah. Selain itu, konsumen merasa kelangkaan lapangan kerja di dalam negeri semakin meningkat. Pada IKK bulan Juni, persentase konsumen yang merasakan kekhawatiran pada kelangkaan lapangan kerja meningkat dari 32,1 persen pada Mei 2017 menjadi 32,7 persen selama Juni 2017.

Sementara itu, untuk komponen pembentuk IKK Juni 2017 tercatat menurun, yaitu Indeks Situasi Sekarang (ISS) yang turun sebesar 1,3 persen menjadi 78,7 dan Indeks Ekspektasi (IE) yang turun 0,7 persen menjadi 112,9. "Konsumen memberi penilaian yang lebih buruk terhadap keadaan ekonomi lokal dan ekonomi nasional saat ini. Selain itu, optimisme konsumen melemah pada lapangan kerja dan pendapatan keluarga enam bukan mendatang," ujar Damhuri.

Menurut Ekonom Indef Dzulfian Safrian penurunan daya beli masyarakat kali ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik sisi permintaan (demand) maupun penawaran (supply). Dari sisi demand, ia mengatakan penyebab pertama adalah tekanan kenaikan biaya hidup yang dialami masyarakat khususnya karena wacana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan juga harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Wacana kenaikan harga BBM dan TDL, saya duga membuat masyarakat menahan diri alias eman-eman mengonsumsi uangnya karena mereka berekspektasi akan terjadi kenaikan biaya hidup yang cukup signifikan dalam dua pos pengeluaran ini," jelasnya. Selain itu kenaikan dua biaya ini juga membuat masyarakat harus menata ulang pengeluaran mereka sebagai respon kenaikan biaya transportasi dan energi. Terlebih karena pendapatan mereka tidak ikut naik signifikan sehingga tidak ada jalan lain selain berhemat.

"Sepertinya tekanan inflasi paling kuat terjadi di kalangan masyarakat bawah, khususnya yang terkena dampak penyesuaian harga TDL untuk kelas 900 V dan sebagian kelas 450 V" katanya. Faktor lainnya, ia menduga terdapat perubahan perilaku masyarakat yang mulai beralin belanja menggunakan sistem online ketimbang ke pasar atau toko.

"Alhasil, sebagaimana dilaporkan oleh para bisnis retail terjadi pelemahan yang cukup signifikan dalam penjualan mereka, khususnya selama Lebaran kemarin jika dibanding Lebaran tahun sebelumnya," ujarnya. Perubahan perilaku ini adalah sinyal kuat yg harus ditangkap pemerintah bagaimana merespon perkembangan digitalisasi ekonomi, khususnya aktivitas ekonomi yang berbasis online. "Yang harus dilakukan pemerintah adalah menyediakan segenap peraturan untuk mengatur kompetisi dan berjalannya berbagai bisnis online yang sedang menjamur seperti ini," jelasnya.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan adanya penurunan penjualan ritel di beberapa pusat perbelanjaan. Pelemahan daya beli masih menjadi momok sepinya pusat perbelanjaan. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjelaskan, dirinya telah mendapat laporan ihwal penurunan daya beli ini dari pengelola pusat perbelanjaan di kota besar. Penurunan penjualan ini juga disebutnya terjadi di kota kecil, namun tidak setajam di kota-kota besar.

Memang, daya beli menjadi faktor utama. Namun, ia juga berharap pengelola pusat perbelanjaan mau melakukan inovasi agar pengunjung tak sepi, seperti mengubah tata letak dan pengaturan tenant (mixed use). "Dulu pernah ada pusat belanja yang dulu ramai terus turun. Siklus akan seperti itu jika tidak ada inovasi. Pusat belanja Indonesia sekarang itu harus ada perubahan mengenai mix-nya, misal perpaduan antara foodcourt dan sinema, bagaimana mix yang dilakukan," kata Enggartiasto ditemui Kementerian Perdagangan, Senin (17/7).

Namun, jika segala upaya telah dilakukan, ia berharap pelaku usaha tak perlu memaksakan diri untuk meramaikan tempatnya. Sebab, daya beli masyarakat tentu memiliki siklusnya masing-masing. "Memang tidak bisa diingkari ada yang menurun, tapi jangan dipaksakan karena konsumen sudah cerdas. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperbaiki daya beli, seperti nanti akan ada gaji PNS ke-13 dan selesainya pengeluaran keluarga yang besar-besar karena uang sekolah," imbuhnya.

Senada dengan Enggartiasto, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan menyebut bahwa pengelola mal harus sadar bahwa kini masyarakat tidak sekadar belanja di pusat perbelanjaan. Adapun, saat ini mal dianggap sudah menjadi pusat bermacam-macam kegiatan.

Menurutnya, mal dengan sifat ini yang disebut bisa bertahan. Bahkan, ia juga bilang ada beberapa mal yang tenant-nya sudah terisi penuh namun masih diminati penyewa. "Sebenarnya ini tergantung kreativitas kami, masyarakat itu datang ke mal untuk apa," jelasnya. Selain inovasi, pusat perbelanjaan juga dituntut untuk berkoordinasi dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) demi meladeni penurunan daya beli. Ia pun yakin solusi ini bisa jalan, mengingat 293 dari 312 mal yang ada di Indonesia merupakaan pusat perbelanjaan menengah ke bawah.

"Saya kira di sana kan bukan hanya orang sekadar belanja ya, jadi pengelola harus berpikir apa saja yang bisa dilakukan," pungkas Ridwan.  Para pedagang baju muslim di pusat perbelanjaan Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengaku omzetnya rontok 70 persen - 80 persen setelah lebaran berakhir.
"Kami bingung, penjualan turun 70 hingga 80 persen," tutur penjual pakaian muslim, sarung dan mukena, Devi (25 tahun) di Blok A Tanah Abang.

Ia mengeluhkan, omzetnya sebelum lebaran mampu mencapai Rp500 juta per bulan, namun setelah lebaran berakhir penjualannya bahkan tak mencapai Rp100 juta per bulan. Sebetulnya, penjualan pakaian muslim tahun lalu juga tercatat turun. "Dibandingkan tahun lalu, penurunan tahun ini cukup besar," katanya.

Hal yang sama juga dialami pedagang pakaian muslim, Dinny (20) yang omzetnya turun hingga 50 persen. Ia mengeluhkan, maraknya aktivitas penjualan daring yang membuat anjloknya omzet tahun ini dibandingkan tahun lalu. "Sekarang sudah zamannya jual beli dengan daring, pembeli juga sudah malas datang langsung ke toko," imbuh Dinny.

Makanya, ia pun memutuskan mencoba aktivitas jual beli daring untuk mengurangi omzetnya yang kurang. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku, mendapatkan laporan terkait penurunan daya beli yang menjadi momok sepinya pusat perbelanjaan di kota besar.  "Dulu pernah ada pusat belanja yang ramai terus turun. Siklus akan seperti itu jika tidak ada inovasi. Pusat belanja Indonesia sekarang itu harus ada perubahan mengenai mix-nya, misal perpaduan antara foodcourt dan sinema, bagaimana mix yang dilakukan," paparnya awal pekan ini.

No comments:

Post a Comment