Sunday, July 23, 2017

Ekonomi Tumbuh Tapi Daya Beli Terjun Bebas

Ekonomi Indonesia disebut sudah mengalami perbaikan. Perlahan ekonomi terus menanjak, sesuai dengan data-data yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap periodenya. Hingga kuartal I-2017, ekonomi tumbuh 5,01%. Akan tetapi, kalangan dunia usaha, khususnya di sektor ritel mengeluhkan penjualan yang kian lesu. Asumsinya daya beli masyarakat ternyata terus menurun.  Kondisi tersebut memang membingungkan.

Asumsi pertama adalah cara mengukur pertumbuhan ekonomi itu sendiri yang didalamnya termasuk unsur financial capital yang memiliki konsekuensi setiap pertambahan modal masuk kedalam negeri (baca : uang yang masuk) akan secara otomatis membuat perekonomian naik. Tapi benarkah demikian? Pada sebuah contoh dimana seorang pemodal memasukan uangnya sebesar satu milyar dollar ke pasar uang dengan membeli saham dipasar modal, ekonomi memang tumbuh tapi tidak ada multiplier effect yang dirasakan masyarakat atau apabila pemodal tersebut hanya mengendapkanya pada instrumen deposito, bank tidak perlu gelisah untuk menyalurkan tambahal modal raksasa tersebut melalui kredit karena cukup dengan membeli SBI dari pemerintah yang memiliki imbal bunga lebih tinggi daripada suku bungan deposito. Bank sudah mendapatkan profit, disini ekonomi tumbuh diatas kertas tapi secara nyata tidak tumbuh.

Asumsi kedua adalah pertumbuhan ekonomi indonesia sjak sepuluh tahun terakhir ini selalu ditopang dengan belanja masyarakat yang berarti bahwa penambahan penghasil kaum pekerja (baca UMR) akan secara langsung mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang mana pertumbuhan upah telah dipatok sesuai dengan inflasi plus sekian persen. Kebijakan ini masuk akal selama pemerintah menerapkan rezim harga murah bukannya melakukan proteksi harga seperti penerapan batas bawah harga pada industri tertentu. Selama ini justru rezim harga murah lebih diterapkan pada bahan makanan yang tujuannya untuk mendukung harga tenaga kerja yang murah.

"Itu juga memang banyak yang mengatakan pertumbuhannya oke diatas 5% tapi daya beli rendah, indikatornya apa?," kata Darmin di kantornya, Jakarta, Minggu (23/7/2017). Begitu juga yang dirasakan oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution. Menurutnya, ritel tak bisa jadi rujukan kondisi daya beli masyarakat secara umum.

Darmin mengakui ada perlambatan pertumbuhan di sektor ritel. Artinya ada kenaikan, namun tidak sebesar 5-6 tahun yang lalu. Asumsi dunia usaha kata Darmin berdasarkan data pada akhir Juni 2017, saat Lebaran. "Siapa yg belanja saat Lebaran? tidak ada lagi yang beli baju waktu lebaran. lebaran itu libur selama 10 hari," jelasnya.

Asumsi lain menyebutkan ada peralihan ke belanja online. Darmin menyadari adanya peningkatan belanja dengan metode baru tersebut, akan tetapi hingga sekarang belum ada data transasksi dengan lengkap. "Saya tetap tidak bermaksud mengatakan pertumbuhan bisnis ritel yang menurun itu salah. Itu betul, tapi tidak sejauh itu," terang Darmin.

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) optimis, sektor ritel akan kembali tumbuh tinggi pada Juli 2017, di mana datanya akan keluar pada awal Agustus mendatang. "Apakah belanja turun atau pertumbuhannya turun apa enggak? Jangan buru-buru menyimpulkan, tunggu datanya selesai," tukasnya.

Tidak hanya itu, ekspor juga dimungkinkan kembali normal. Baik ekspor hasil industri maupun pertanian. Saat menjelang maupun setelah Lebaran, aktivitas perdagangan memang jauh berkurang. "Boleh jadi karena diukur di bulan syawal (momen lebaran), memang tidak terjadi transaksi. Tapi setelah syawal, kita percaya transaksi akan normal," pungkasnya

No comments:

Post a Comment