Perekonomian Indonesia yang sebesar 5,01% pada kuartal II-2017 belum menunjukkan terjadinya penguatan daya beli masyarakat, meskipun konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh tipis dari 4,94% menjadi 4,95%. Momen Lebaran di Juni tahun ini harusnya menjadi ajang masyarakat belanja lebih besar dari hari biasanya. Namun konsumsi masyarakat saat Lebaran ternyata tak sesuai harapan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, tumbuh tipisnya konsumsi rumah tangga karena daya beli masyarakat kelas bawah sudah benar-benar tidak ada, ditambah lagi masyarakat kelas menengah ke atas yang cenderung menahan konsumsinya, dan memilih menabung. Dan ini terjadi akibat kecilnya kenaikan UMR (yang dibatasi sedikit diatas inflasi) sehingga tidak ada meningkatkan daya beli secara signifikan serta membuat masyarakat takut membelanjakan uangnya.
"Kelas menengah bawah itu enggak punya daya beli, sudah kering, jadi begini sebetulnya yang kelas menengah atas tentunya tidak masalah dengan daya beli, mereka karena masalah punya kepercayaan situasi seperti apa, itu yang membuat menjadi menahan belanja, sedangkan di bawah itu yang kemarin saya bilang sektor formalnya menyusut banget," kata Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani.
Penilaian Apindo soal pelemahan daya beli di kelas menengah ke bawah berdasarkan data laporan dari pelaku usaha ritel yang merupakan anggota Apindo. "Jadi saya bukan ingin berdebat, tapi saya ingin menyampaikan fakta saja, faktanya seperti ini, kalau saya lihat BPS ini mau menutup-nutupi padahal semua sudah tahu seperti ini, dan ini harus dicarikan solusi, tapi poinnya makin hari makin susah kita bisnis," jelas dia.
Lanjut Hariyadi, daya beli masyarakat yang lesu ini juga dampak dari langkah para pelaku usaha dalam menyesuaikan kondisi perekonomian nasional yang masih dibayang-bayangi ketidakpastian global, serta beberapa isu perpolitikan di dalam negeri yang dianggap memiliki risiko, bahkan penyesuaian dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah.
Dengan kondisi yang seperti ini, kata Hariyadi, maka pelaku usaha enggan mengucurkan dananya atau investasinya untuk meningkatkan produksi, justru sebaliknya produksi dikurangi bersamaan dengan pemangkasan tenaga kerja, dengan begitu maka penghasilan masyarakat mengalami penyusutan yang membuat daya beli melemah.
"Kita ini bisnis, manakala ditekan otomatis perusahaan akan survive, akhirnya kita potong-potong biaya, dengan kebijakan yang semakin menyulitkan itu membuat orang kepercayaannya tidak ada, kepercayaannya enggak ada dan melakukan perampingan, tidak ada ekspansi, ya bubarlah ekonomi ini," tambah dia.
Dia juga menganggap, fenomena lesunya daya beli masyarakat tidak ditanggapi dengan cermat oleh beberapa jajaran menteri kebinet kerja yang notabene berasal dari kalangan pengusaha. Seharusnya, pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pengusaha dapat bekerja sama dengan baik dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan, Jepang, Taiwan, di mana pemerintah dan pengusahanya bersatu untuk memakmurkan negaranya.
Menteri-menteri ini banyak yang pengusaha, tapi entah bagaimana setelah jadi menteri kok kayak tutup mata, kami itu kadang-kadang puyeng juga sebenarnya bagaimana sih, kalau negara lain itukan antara si pemerintah dan pengusahanya kompak bener, kalau di sini itu enggak pengusaha, apalagi kaum pekerja sektor swasta dan informal itu dianggapnya sapi perah, ini yang terjadi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara soal pertumbuhan ekonomi 5,01% di kuartal II-2017 atau setara dengan kuartal sebelumnya. Menurut Sri Mulyani ada sisi baik sekaligus sisi yang perlu diperhatikan dengan sangat serius. "Pertumbuhan ekonomi kuartal II ada hal yang positif dan ada hal yang perlu kami perhatikan serius," ungkap Sri Mulyani di Hotel Hyatt, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
Dari sisi investasi yang tergambar dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh cukup bagus dengan capaian 5,35%. Kemudian ekspor sedikit melambat 3,36% dan impor 0,55%. Konsumsi pemerintah negatif 1,93% dan konsumsi rumah tangga hanya naik sedikit menjadi 4,95%. "Konsumsi rumah tangga 4,95% itu dekat sekali dengan 5%, kami di satu sisi harus lihat itu positif dan tetap hati-hati karena konsumsi rumah tangga itu berdampak paling besar dari sisi permintaan ke PDB," jelasnya.
Sri Mulyani menyadari adanya pengaruh inflasi yang lebih tingi dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya terhadap konsumsi rumah tangga. Khususnya untuk masyarakat dengan pendapatan kelas menengah ke bawah. "Kami perlu perhatikan sesuai inflasi yang terjadi memang lebih tinggi dibanding tahun lalu, maka itu menekan kuartal II," imbuhnya.
Kesalahan yang sempat terjadi adalah keterlambatan penyaluran bantuan sosial seperti rastra kepada masyarakat kelas bawah, akibat perubahan mekanisme dari tunai menjadi non tunai. "Eksekusinya memang agak terlambat tapi itu bisa meningkatkan kapasitas masyarakat terutama untuk kelas bawah untuk bisa mendapatkan momentum untuk meningkatkan konsumsinya," terang Sri Mulyani.
Segala kekurangan yang terjadi pada kuartal II akan segera diperbaiki oleh pemerintah. Termasuk memberikan keyakinan kepada kelompok menengah ke atas agar tetap belanja seperti biasanya. Target pemerintah 2017 ekonomi tumbuh 5,2%. "Di (kelompok) menengah kami harap growth itu bisa memberikan confident yang bisa meningkatkan keinginan untuk berinvestasi dan konsumsi," pungkasnya.
Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengakui adanya perlambatan daya beli masyarakat bila dibandingkan dengan kondisi dua tahun yang lalu. Sekarang, pada kuartal II-2017 daya beli yang tergambar dari konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95%. "Dibanding dua tahun lalu mungkin sedikit melambat," ungkap Darmin, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
Alasannya, kata Darmin yaitu perlambatan ekonomi secara global yang kemudian berimbas kepada situasi nasional. Salah satunya harga komoditas yang anjlok, sehingga memukul ekspor Indonesia yang selama ini bergantung pada batu bara dan Crude Palm Oil (CPO).
"Dua tahun lalu ekspor impor sedang merosot," imbuhnya.
Banyak masyarakat yang kemudian mengalami penurunan penghasilan akibat penurunan ekspor. Maka dari itu daya beli juga tidak bisa setinggi dulu, sekitar 2009 hingga 2012. Kuartal I-2017 adalah titik terendah dari penurunan daya beli dengan realisasi pertumbuhan 4,94%. Periode sekarang kembali ada kenaikan meskipun tidak terlalu tinggi. Darmin tidak sepakat bila daya beli disebut melambat dibandingkan kuartal sebelumnya.
"Sedikit, tapi naik. Jadi jangan bilang melambat," kata Darmin.
Darmin memaparkan, Lebaran memberikan efek positif terhadap ekonomi nasional. Akan tetapi aktivitas belanja lebih banyak dilakukan masyarakat pasca Lebaran. Sehingga dalam hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), belanja masuk ke kuartal III-2017. "Pas orang siap-siap mau lebaran di tahun ini, datanya dikumpulkan. Dia mau pulang kampung, dia mau ngapain, maka dia simpan dulu duitnya. Masa dia belanjakan pas dia mau pulang. Dia kan mau gaya juga di kampung," terangnya.
Maka dari itu ada kenaikan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. Analisa tersebut, kata Darmin, akan dijawab sempurna ketika penjualan ritel selama Juli 2017 diumumkan. "Jadi supaya persoalan itu clear, melambat atau tidak, sebagian sudah tergambar dari data PDB," tandasnya.
No comments:
Post a Comment