Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menilai, Nyonya Meneer, produsen jamu, pailit karena ketidakmampuan perusahaan dalam mengembangkan manajemen menghadapi perubahan era.
Menurutnya, saat ini, telah terjadi perubahan era permintaan konsumen, dari yang sebelumnya secara tradisional, kini lebih modern dan cepat. Selain itu, permintaan konsumen di era saat ini turut dipengaruhi oleh teknologi dan gaya hidup, sehingga produsen perlu mengikuti keinginan pasar tersebut.
Jika tak diamini, bukan tak mungkin produsen jatuh pada keterpurukan, seperti yang terjadi pada Nyonya Meneer. "Jadi, memang ada proses perubahan atau kemajuan zaman yang menuntut manajemen mengikuti derap dari bisnisnya," tutur Bambang di kantornya, Jumat (4/8).
Adapun, menurut Bambang, latar belakang ini cukup kuat, melihat beberapa kompetitor Nyonya Meneer di sektor yang sama, masih mampu bertahan, di mana produksi masih berjalan baik dan masih mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang sebenarnya masih besar pada jamu.
"Soal jamu, kami melihat mereka lain, yang tidak bisa saya sebut, bisa melakukan adjustment (penyesuaian) dengan baik, keuntungan, dan omset pun meningkat," imbuhnya. Bersamaan dengan latar belakang manajemen dan perubahan era permintaan konsumen ini, Bambang menampik ulah dari lesunya daya beli masyarakat yang kerap dikeluhkan oleh pelaku industri ritel.
Sebab, ia lebih melihat latar belakang dari sisi datang dan perginya suatu perusahaan dalam sebuah kompetisi persaingan. Hal ini disebutnya merupakan hal lumrah dalam dunia bisnis. "Dunia usaha itu datang dan pergi. Di Amerika Serikat (AS) pun begitu, toko buku sebesar Barnes & Nobel sudah hampir menghentikan usahanya," katanya.
Seperti diketahui, Nyonya Meneer dinyatakan pailit pada Kamis kemarin (3/8), sehingga Pengadilan Niaga (PN) Semarang mengabulkan gugatan kreditur konkuren asal Turisari Kelurahan Palur Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah, Hendrianto Bambang, untuk membatalkan perjanjian perdamaian yang telah dilakukan kedua pihak.
Adapun perjanjian perdamaian sebelumnya diinisiasi pada dua tahun lalu, sebagai tindak lanjut proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebesar Rp7 miliar yang menjadi beban produsen jamu legendaris itu. Pada Juni 2015, Nyonya Meneer dikabarkan akan membayar utang tersebut melalui cicilan dalam jangka waktu lima tahun. Namun, sampai tahun ini, produsen jamu asal Solo yang berdiri sejak 1919 tersebut tak kunjung membayar utangnya.
Walhasil, Nyonya Meneer digugat ke PN Semarang dan akhirnya dikabulkan pembatalan perjanjian perdamaian tersebut.
No comments:
Post a Comment