Saturday, August 5, 2017

Tidak Punya Data Transaksi Online ... Pemerintah Teliti Akar Penurunan Daya Beli

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengakui pemerintah belum berhasil menemukan akar penyebab lesunya daya beli masyarakat yang dikeluhkan oleh pelaku industri ritel di paruh pertama tahun ini.

Menurut Menteri PPN sekaligus Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memanggil seluruh menteri ekonomi di Kabinet Kerja untuk menganalisis kelesuan daya beli dari berbagai data ekonomi, baik secara makro maupun mikro. "Bahkan, presiden sudah panggil 18 menteri, untuk tanya kenapa daya beli ini turun," ujarnya di kantornya, Jumat (4/8).

Bambang menjelaskan, beberapa data telah ditelaah oleh pemerintah. Pertama, pertumbuhan ekonomi sampai kuartal I 2017 yang masih menunjukkan hasil positif di kisaran 5,01 persen, di mana capaian ini nyatanya masih lebih baik dibandingkan kuartal IV 2016 sebesar 4,93 persen.

Kedua, inflasi sepanjang Januari-Juli 2017 sebesar 2,6 persen. Capaian ini terbilang masih terjaga pada tingkat stabil rendah. Ketiga, pertumbuhan ekspor justru meningkat dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi, yakni tumbuh 8,04 persen di kuartal I lalu.

Keempat, data pertumbuhan industri manufaktur, seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), industri manufaktur besar dan sedang hanya tumbuh 4,0 persen di kuartal II 2017 dari sebelumnya tumbuh 5,01 persen di kuartal I 2017. Lalu, industri manufaktur kecil dan mikro hanya tumbuh 2,5 persen dari sebelumnya 6,36 persen di kuartal I 2017.

Kelima, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi semester I 2017 mencapai Rp336,7 triliun atau tumbuh 12,94 persen dari semester I 2016 yang hanya sebesar Rp298,1 triliun.  Keenam, jumlah tabungan yang ada di perbankan. "Saya sudah baca koran dan sudah dikonfirmasi ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah tabungan naik tajam dan jumlah pemilik rekeningnya pun naik tajam," kata Bambang.

Berdasarkan data LPS, jumlah tabungan di perbankan meningkat 2,8 persen per Mei 2017 menjadi 212,68 juta, dari bulan sebelumnya sebanyak 206,88 juta. Sementara, jumlah nominal simpanan meningkat 0,8 persen menjadi Rp2.142 triliun, yakni dari sebelumnya Rp2.125 triliun di April 2017.

Adapun, kenaikan jumlah rekening tertinggi berasal dari simpanan dengan nilai saldo di bawah Rp2 miliar, dengan jumlah mencapai 206,64 juta atau tumbuh 2,8 persen. Sementara, simpanan dengan nilai saldo di atas Rp2 miliar tumbuh 0,86 persen menjadi 241,27 ribu.  "Mungkin, mereka menghindari urusan (keterbukaan data nasabah perbankan). Jadi, dari Rp2 miliar mereka ke arah Rp1 miliar (buka rekeningnya). Ini tertinggi sepanjang sejarah kenaikannya," imbuh Bambang.

Ketujuh, pertumbuhan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningikat 13,5 persen di semester I 2017 dibandingkan semester I 2016. "PPN naik jauh dari tahun lalu, ini kan datangnya dari transaksi. Jadi, PPN ini pasti (mengindikasikan peningkatan) transaksi," jelas Bambang. Sayangnya, lanjut Bambang, masih banyak data-data ekonomi yang  terukur dan belum mampu dijangkau pemerintah, sehingga analisis terhadap lesunya daya beli masyarakat belum ditemukan akarnya.

Data tersebut di antaranya data transaksi dan penjualan toko dalam jaringan (online) yang melakukan perdagangan secara elektronik (e-commerce). "Yang masih jadi misteri, berapa data transaksi online. Jujur, kami tidak berdaya atasi ini. Karena saya punya keyakinan, statistiknya belum menjangkau online secara penuh," terang dia.

"Contoh, Instagram, sekarang kan dipakai untuk promosi. Statistik saja tidak merekam kejadian itu. Lalu, berapa kenaikan omset perusahaan logistik, seperti JNE dan Tiki? Satu lagi, taksi online, Go-Car dan GrabCar itu harus dilihat," imbuhnya.  Oleh karena itu, sambung dia, seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) masih memiliki pekerjaan rumah untuk menganalisa dan mendapatkan seluruh data tersebut

Sejumlah pelaku industri ritel mengeluhkan dampak pelemahan penjualan, baik industri makanan dan minuman maupun produk fesyen. Bahkan, momen ramadan dan lebaran yang digadang-gadang ampuh mendongkrak penjualan tak jua berhasil merangsang pertumbuhan industri ritel. Kondisi ini tak lazim, mengingat umumnya penjualan ritel pada ramadan dan lebaran mampu menembus 30 persen-50 persen dari penjualan pada bulan-bulan biasanya. Bahkan, tren penjualannya bisa mencapai 40 persen-45 persen dalam setahun penuh.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melansir industri ritel hanya mengantongi pertumbuhan di bawah lima persen sepanjang Januari-Juni 2017. Pencapaian ini turun jauh dibandingkan beberapa tahun terakhir. Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengungkapkan, ada tiga faktor yang memengaruhi penurunan pertumbuhan ritel. Pertama, tingkat inflasi yang tinggi dalam enam bulan pertama di tahun ini. Inflasi yang tinggi tak terlepas akibat komponen tingkat harga yang diatur oleh pemerintah (administered price) jebol akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL).

Kedua, perubahan perilaku belanja, yaitu dari yang sebelumnya giat berbelanja di toko ritel secara langsung (offline), kini bergulir ke pola belanja melalui aplikasi dalam jaringan (online store). Ketiga, masyarakat cenderung menahan diri untuk membelanjakan penghasilannya.

"Ada perubahan pola belanja, biasanya belanja dengan dana besar, tetapi sekarang secukupnya (melalui oflline store)," kata Roy beberapa waktu lalu.  Alih-alih menyalahkan laju inflasi yang tinggi, faktanya komponen gejolak harga (volatile foods) cukup mampu menetralisir laju inflasi secara keseluruhan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, laju inflasi Januari-Juli 2017 hanya sebesar 2,6 persen secara tahun berjalan. Torehan inflasi ini terbilang cukup baik dan melanjutkan tren inflasi rendah, meski sedikit meningkat dalam tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Adapun, inflasi Januari-Juli 2016 tercatat sebesar 1,76 persen, inflasi Januari-Juli 2015 sebesar 1,9 persen, dan inflasi Januari-Juli 2014 sebesar 2,4 persen. Sedangkan pada Januari-Juli 2013, inflasi masih bengkak di angka 6,75 persen.

Dengan melihat laju inflasi yang terjaga, BPS melihat daya beli masyarakat tak cukup suram karena ulah inflasi. Namun, indikatornya lebih kepada perubahan pola belanja masyarakat. Sebab, daya beli dinilai masih ada. "Memang, sekarang ini mulai marak yang online. Tapi kalau dilihat dari produksi, sama saja. Hanya cara beli saja yang berubah. Jadi, kalau dikaitkan dengan apakah daya beli turun? Tidak juga, hanya cara beli saja," kata Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Yunita Rusanti.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution emoh terburu-buru percaya diri bahwa inflasi yang cukup stabil berkat kerja keras pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mampu menjaga daya beli. Sebab, ia mengakui, memang ada indikasi lesunya daya beli. Hanya saja, masih perlu dilihat kembali apa penyebabnya. "Pada dasarnya, inflasi itu tidak bisa langsung dikenakan untuk mengukur daya beli karena pertumbuhan ekonomi sudah dikeluarkan inflasinya. Itu banyak hal masih harus kami cari dulu datanya, apa sih persisnya?" imbuhnya.

Kendati demikian, besar atau tidak dampaknya pada anomali daya beli saat ini, menurut Darmin, pemerintah dan BI akan terus mengupayakan inflasi terjaga di angka 4,0 persen sampai akhir tahun atau mentok di 4,3 persen sesuai asumsi makro dalam Anggaran Perubahan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017.

Asumsi lesunya daya beli masyarakat di sektor ritel tertuju pada perubahan pola perilaku masyarakat dari belanja offline ke online. Hal ini juga diungkap Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro. "Konsumsi itu banyak dipengaruhi online. Tapi, transaksi tetap jalan," tutur dia.

Senada, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara melihat bahwa daya beli masyarakat bisa saja benar beralih dari ritel ke online. Namun, hal ini masih perlu dianalisa kembali.  "Jangan-jangan ini perubahan perilaku dari belanja on site (di tempat), jadi lebih ke belanja online. Ini kami cari juga buktinya," ucap Suahasil. Pasalnya, di satu sisi, ia mengaku sangsi bila daya beli masyarakat dikatakan menurun. Sebab, dalam catatannya, sejumlah emiten di bursa saham dari berbagai sektor masih menorehkan pertumbuhan pendapatan.

Hal ini didukung pula dengan pertumbuhan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mencapai 13,5 persen secara tahunan di Januari-Juni 2017 dibandingkan Januari-Juni 2016. "Artinya, transaksi naik. Tidak mungkin PPN muncul kalau tidak ada transaksi. PPN itu bukan hanya ritel saja, tapi keseluruhan sektor naik," jelas Suahasil.

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Aulia Ersyah Marinto mengaku, berkaca dari fakta di lapangan, peralihan daya beli masyarakat tersebut belum bisa dibuktikan. Pasalnya, banyak pelaku e-commerce yang masih enggan berbagi hasil pertumbuhan penjualan dan transaksinya. Adapun hal itu juga didukung lantaran kebanyakan e-commerce bukan perusahaan terbuka di pasar modal.

"Mungkin, ada benarnya, karena rekan-rekan (pelaku e-commerce) mengakui ada pertumbuhan. Tapi kalau dibilang beralih, itu belum tentu juga. Datanya masih minim untuk membandingkan," kata Aulia.  Senada dengan Aulia, Blibli.com yang berada di bawah bendera PT Global Digital Niaga menilai, lesunya daya beli masyarakat secara keseluruhan tak bisa diasumsikan karena bola telah bergulir ke e-commerce.

"Saya tidak yakin bahwa e-commerce menjadi alasan utama lesunya ritel. Ada faktor-faktor lain juga menurut saya. Karena e-commerce juga masih kecil persentase pertumbuhannya dibandingkan total pertumbuhan ritel," kata CEO Blibli.com Kusumo Martanto. Namun, Kusumo bilang, Blibli.com masih mampu memperoleh pertumbuhan pada paruh pertama tahun ini, baik dari sisi pengunjung dan transaksi yang dilakukan.  Pertumbuhan bisnis juga mampir ke kantong pendapatan PT Bukalapak.com. "Semester I 2017 kami tumbuh," ucap CEO Bukalapak Achmad Zaky singkat.

Lalu, apa pelemahan daya beli masyarakat disebabkan sifat menahan belanja?

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, mungkin saja alasan ini yang paling kuat. Pasalnya, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang terkumpul di perbankan tetap mengalami pertumbuhan dalam enam bulan terakhir. Meski demikian, pertumbuhan DPK justru ditopang oleh simpanan jangka panjang, seperti deposito dan giro. Sementara, dana murah justru melambat. Ini juga bisa berarti bahwa masyarakat sengaja menahan konsumsi dan memilih mengendapkan dana mereka.

Berdasarkan data BI, jumlah DPK di perbankan di tahun ini per Juni 2017 mencapai Rp4.991 triliun atau tumbuh 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp4.456,8 triliun. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk tercatat menghimpun DPK sebesar Rp760,9 triliun pada kuartal II 2017 atau tumbuh 10,1 persen dari kuartal II 2016. Menurut Direktur Retail Banking Bank Mandiri Tardi, pertumbuhan DPK mengindikasikan perilaku masyarakat, terutama bisnis yang cenderung menahan ekspansi bisnis di tengah kelesuan ekonomi.

"Ini memang ada kecenderungan bukan melambatkan ekonomi, tetapi perilaku menahan sedikit untuk ekspansi bisnis," jelas Tardi. Sementara, DPK PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mencapai Rp463,86 triliun atau tumbuh 18,5 persen pada semester I 2017 dari periode yang sama tahun lalu. Kemudian, PT Bank Tabungan Negara (Persero) membukukan DPK sebesar 18,26 persen menjadi Rp159,12 triliun pada semester I 2017.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus juga meyakini. daya beli melemah lantaran masyarakat menahan diri untuk belanja. Hal ini terbukti pula dari lemahnya permintaan ke industri sebagai produsen barang dan jasa. "Memang, ada dugaan ini beralih ke toko online tapi yang perlu dilihat bukan hanya hilir tapi hulu. Nyatanya, produksi di hulu menurun," terang Heri.

Ini terlihat, sambung Heri, dari data pertumbuhan industri manufaktur kuartal II 2017 yang belum lama dirilis BPS. Tercatat bahwa pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil hanya sekitar 2,5 persen. Padahal di kuartal I 2017, pertumbuhannya masih sekitar 6,63 persen. Sementara, industri manufaktur besar dan sedang hanya mampu tumbuh 4,0 persen di kuartal II 2017 dari periode yang sama di tahun lalu yang tumbuh mencapai 5,01 persen. "Artinya, ada penurunan permintaan dari konsumen, dari masyarakat, mereka memang menahan," pungkas Heri.

Makanya, pemerintah diharapkan segera memberikan stimulus pada perekonomian agar daya beli masyarakat dan pertumbuhan industri tak melambat secara berkepanjangan. Hal ini dapat dilakukan dengan mempercepat aliran belanja negara, menggenjot investasi, dan memberikan insentif.

Sementara itu, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menilai, terlalu dini menganggap daya beli masyarakat lemah otot karena perubahan pola konsumsi masyarakat. "Ada faktor data-data transaksi secara daring yang secara statistik tak tercover. Kami sedang kaji dengan BPS. Kalau lihat kegiatan melalui online itu memotong rantai perdagangan, karena beberapa tahapan di tengah rantai hilang," terang dia.

Menurut Dody, untuk menilai terjadinya anomali ekonomi atau tidak harus melalui kajian menyeluruh, termasuk kajian dengan merekam karakter kegiatan-kegiatan ekonomi saat ini. Anomali ekonomi merupakan tren ekonomi yang diduga beberapa kalangan sedang terjadi saat ini karena data ekonomi makro membaik, namun daya beli masyarakat dinilai menurun.

Dody menilai, jika ingin menilai kondisi daya beli saat ini sebaiknya mencermati dua hal. Pertama, pada Juni 2017, kegiatan ekonomi memang mereda karena momentum libur panjang lebaran. Tak cuma itu, kegiatan masyarakat untuk bekerja dan sekolah hanya dilakukan secara aktif selama sepekan. Tiga pekan lainnya pada Juni 2017, konsumsi terutama dari swasta tertahan karena libur panjang.

Kedua, kegiatan konsumsi dalam jaringan (daring) di internet seperti pembelian barang belum terekam secara statistik. Kegiatan ini juga menghilangkan beberapa peran rantai ekonomi, karena masyarakat dapat langsung membeli barang melalui penjual tanpa adanya perantara seperti toko konvensional. "Bagi konsumen memang harga jadi lebih efisien dengan elektronik, harga lebih murah. Yang dulu di tengah memberi nilai tambah bisa hilang. Misalnya, perantara 1,2,3 yang dalam statistik PDB akan memberi nilai tambah," katanya.

Kondisi ekonomi secara keseluruhan akan terlihat dari pengumuman pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto kuartal II 2017 yang akan diumumkan BPS pada pekan depan. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2017 akan lebih baik dibandingkan kuartal I 2017 yang sebesar 5,01 persen. Namun, tetap lebih rendah dibandingkan perkiraan BI sebelumnya di 5,1 persen.

Untuk keseluruhan tahun, BI masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi di 5 persen-5,4 persen

Persoalan daya beli turun yang mencerminkan ekonomi Indonesia sedang lesu jadi perbincangan hangat. Menurut Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini, kondisi tersebut bisa dilihat dari penjualan di sektor ritel dan kendaraan bermotor. Didik menjelaskan, pada Juli tahun lalu penjualan ritel masih di kisaran double digit. Namun, pada April hingga Juni 2017 sektor ritel turun.

"Juli tahun lalu penjualan ritel tercatat masih di kisaran double digit yakni 16,43%. Namun pada April, Mei, Juni 2017 ini hanya 4%," kata Didik dalam diskusi bertema 'Daya Beli Menurun: Stagnasi atau Digitalisasi Ekonomi, di Jakarta, Sabtu (5/8/2017).

"Apakah ritel ini berpindah ke online? Saya kira sebagian saja beralih," lanjut Didik.

Selain itu, Didik menambahkan, perlambatan juga terjadi di penjualan kendaraan bermotor. "Nah bisa dilihat dari kendaraan mobil dan motor yang sangat merakyat kan ya, tidak tumbuh penjualan mereka, minus 13%. Apakah dengan data ini pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan masih baik baik saja? Ini harus ada yang dicermati," jelas dia.

Dia menambahkan, biasanya Lebaran adalah momen yang menjadi motor penggerak untuk daya beli. Namun tak bisa memberikan banyak kontribusi. Konsumsi pada lebaran tahun lalu naik 12% sedangkan tahun ini hanya 3%. Didik menganjurkan untuk menjaga pertumbuhan ini maka harus dijaga kondisi ekonomi politik.

"Jika semuanya dibereskan dan terjaga maka pertumbuhan bisa lebih dari 5%, tapi akan ada kesenjangan. Makanya harus diratakan pembangunannya," tambah dia

No comments:

Post a Comment