Thursday, April 15, 2021

Plutokrasi Batas Kekuasaan dan Pengusaha Semakin Kabur Di Indonesia

 Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyebut tidak ada lagi batas antara kekuasaan dan pengusaha di Indonesia saat ini.Hal ini tercermin dari banyaknya pejabat publik yang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan BUMN dan swasta.

Contoh lain, kata Faisal, banyak pejabat pemerintahan yang merupakan pemilik perusahaan."Ini parah sekali, sekarang tidak ada batas antara kekuasaan dan pengusaha, itu semakin blur (buram)," ujarnya di diskusi virtual Transparency International Indonesia, Kamis (15/4).

"Di beberapa tempat, regulator itu merangkap sebagai pengusaha, kita tidak punya undang-undang anti conflict of interest," lanjut Faisal. Menurut dia, hal ini membahayakan karena bisa membuat kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak netral. Misalnya, kebijakan sengaja dikeluarkan untuk mempermudah bisnis perusahaan.

Salah satunya contoh konkretnya, kata Faisal, ada di sektor kelistrikan dan batu bara. Menurut catatannya, saat ini indeks cadangan batu bara Indonesia ada di angka 3,7 persen dengan tingkat produksi mencapai 7,5 persen pada 2019.

Hasil produksi tersebut kemudian mayoritas diekspor ke luar negeri dengan indeks ekspornya berada di kisaran 26 persen pada periode yang sama. Sementara, impornya nihil. Hal ini berbeda dengan China misalnya, yang memiliki indeks cadangan batu bara sebesar 13,2 persen dengan produksi 47,3 persen.

Kendati produksinya tinggi, namun negeri tirai bambu memaksimalkan cadangan yang dimiliki dan hasil produksi untuk kepentingan dalam negeri sendiri dan tidak semata-mata diekspor ke luar untuk mencari untung.

Hal ini bisa terlihat dari indeks ekspornya yang cuma 1 persen, sedangkan impornya 18,1 persen. "Artinya, kita tuh over (berlebihan) eksploitasi jadi cepat habis cadangannya, malah diekspor semua. Ini menjadi ancaman bagi Indonesia. Ini juga ada peran dari kebijakan yang memperbolehkannya," tuturnya.

Di sisi lain, merujuk pada data TI Indonesia, tercatat ada 40 dari 90 perusahan yang berbisnis PLTU yang memiliki direksi dan komisaris yang memiliki kepentingan politik. Lalu, 40 perusahaan atau 44 persen di antaranya tidak transparan mempublikasikan informasi mengenai perusahaan dan bisnisnya ke publik.

Faisal menduga salah satunya dilakukan oleh anak usaha PLN selaku perusahaan raksasa di bidang ketenagalistrikan di dalam negeri. Ia mengaku kecewa bila perusahaan pelat merah itu tidak transparan ke publik.

"Saya kecewa dengan PLN. Tadinya saya respect karena keterbukaannya dulu, tapi semua ini hilang, ini menunjukkan betapa kekuasaan itu sangat merepotkan. PLN kok kelihatannya tidak mau dibantu ya, terus terang sekarang saya jadi malas kalau kasih masukan, mau dibantu kok susah, tidak terbuka," ungkapnya.

Sementara, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan minimnya batas antara kekuasaan dan pengusaha saat ini rentan menimbulkan tindak korupsi. Sebab, petinggi perusahaan yang merupakan pejabat publik bisa dengan mudah mengutak-atik kebijakan dan langkah strategis di kedua belah pihak.

"Ini bisa mengindikasikan kerentanan korupsi, contohnya kasus antara Ibu Eni dan Pak Idrus Marham kemarin, jadi kalau sedikit-sedikit perusahaan dimainkan, dari hulu ke hilirnya itu bisa sangat mudah dikontrol," jelas Maryati pada kesempatan yang sama.

Masalahnya, kondisi seperti ini bukan cuma bisa berimplikasi pada tersendatnya ketransparanan. Tapi juga bisa mempengaruhi dinamika pasar, bahkan ekonomi negeri. Atas kondisi ini, Maryati memberi masukan agar pemerintah segera memberi batas dengan mengeluarkan aturan tentang batasan keterlibatan pejabat publik di perusahaan BUMN maupun swasta.

"Karena korupsi ini memang paling besar di korupsi politik-ekonomi dan sektor energi serta sumber daya alam menduduki peringkat pertama. Ini bisa menjadi tantangan ke depan untuk mengentaskan kemiskinan, ketimpangan, dan lainnya, termasuk untuk masuk ke industri 4.0 karena banyak conflict of interest," pungkasnya.

No comments:

Post a Comment