Thursday, April 29, 2021

Pengusaha Tolak Denda Kartel Lebih Besar Dari Laba Membuat Kartel

 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah mengajukan revisi UU Nomor 5 tentang Persaingan Usaha. Salah satu yang diajukan yakni terkait perubahan skema denda dari sebelumnya maksimal Rp 25 miliar, menjadi berdasarkan omset usaha.

Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono, mengatakan penggunaan omzet sebagai dasar pengenaan denda bisa mematikan usaha palaku kartel.

Dalam pembahasan revisi UU tersebut, sebelumnya KPPU mengajukan denda untuk pelaku kartel sebesar 30% dari omzet, namun belakangan diubah menjadi 3-5% dari omzet usaha. Sementara dari aturan yang ada saat ini, KPPU bisa menjatuhkan denda maksimum sebesar Rp 25 miliar.

"Denda omzet jadi 3-5% dari 30% itu ada perbaikan. Tapi itu masih tidak mengakomodir, karena itu omzet enggak bisa jadi cerminan keuntungan. Omset gede belum tentu untungnya gede juga, marginnya tetap sedikit," kata Sutrisno dalam diskusi 'Benarkah Yamaha dan Honda Melakukan Kartel' di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (1/3/2017).

Dia mencontohkan, usaha perdagangan beras dengan omzet sehari 1 ton, maka dalam setahun omzetnya sebesar 360 ton. Namun meski perputaran uangnya cukup besar dari penjualan beras, untung yang didapat pedagang beras tidaklah besar.

"Kalau denda 5% dari 360 ton itu saja sudah 18 ton. Padahal seharinya dia putar uang dari 1 ton saja. Denda segitu bisa bangkrut dia usahanya. Sama seperti handphone, harga satu handphone Rp 3 juta, tapi untungnya hanya Rp 25.000 per unit," jelas Sutrisno.

Ketimbang menggunakan skema omzet sebagai dasar denda, akan lebih baik jika KPPU dalam mendenda pelaku kartel dengan dasar jumlah keuntungan yang didapatkan dari perilaku kartel.

"Denda dihitung dari kelebihan profit karena dia melakukan kartel. Misal keuntungan normalnya Rp 10 juta, karena dia kartel untungnya Rp 15 juta. Nah kelebihan Rp 5 juta ini bisa dijadikan dasar denda. Agar kapok misalnya, jumlah denda ini bisa dikalikan 3, dikali 5, atau berapa sebagai efek jera. Di negara lain pun sama seperti ini," terangnya.

Selain itu, sambungnya, perlu ada perubahan struktur proses peradilan di tubuh KPPU. Selama ini, lembaga tersebut berfungsi sebagai pelapor, penyidik, penuntut, sampai pada hakim yang memutuskan.

"Jadi KPPU ini jadi pelapornya, jadi polisinya, jadi jaksanya, sekaligus jadi hakimnya. Ini akhirnya banyak putusan dari KPPU ini selalu menang. Seharusnya orang yang tugasnya cari kesalahan, jangan jadi yang memutuskan bersalah. Saya dukung KPPU diperkuat, tapi ini yang mesti dibahas di revisi UU Persaingan Usaha," ujar Sutrisno yang juga pernah menjabat sebagai Ketua KPPU ini. 

 Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Astra Honda Motor dan Yamaha Indonesia Motor Manufacturing. Alhasil, keduanya tetap dinyatakan terbukti melakukan kartel harga penjualan sepeda motor skuter sehingga memberatkan konsumen.

Kasus bermula saat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya praktik kartel sepeda motor skuter matik 110-125 cc di Indonesia. Praktik kartel itu mengakibatkan harga jual ke konsumen melambung tinggi. Konsumen pun dirugikan.

KPPU kemudian menggelar serangkaian sidang untuk memeriksa dugaan praktik kartel tersebut. Akhirnya, pada 20 Februari 2017, KPPU memutuskan bahwa benar terjadi praktik kartel antara Honda dan Yamaha. Sebagai hukumannya, Yamaha dihukum denda Rp 25 miliar, sedangkan Honda dihukum Rp 22,5 miliar.

Sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No 5 Tahun 1999, pelaku kartel dapat dikenai sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 25 miliar. "Majelis Komisi memberikan penambahan denda kepada Terlapor I (Yamaha-red) sebesar 50 persen dari besaran proporsi denda karena Terlapor I dalam proses persidangan ini telah memberikan data yang dimanipulasi," demikian bunyi putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016.

KPPU meyakini Yamaha-Honda melakukan kartel harga dengan tiga bukti, yaitu pertemuan petinggi Yamaha-Honda di lapangan Golf serta dua e-mail dari petinggi Yamaha-Honda di Indonesia pada 28 April 2014 dan 10 Januari 2015. Meski antara Yamaha dan Honda tidak ada bukti tertulis soal kesepakatan harga, KPPU menilai hal itu bukan syarat mutlak adanya kartel.

"Concerted dipersyaratkan bahwa action ada tidak suatu perjanjian tertulis yang mensyaratkan pihak-pihak yang melakukan concerted action tidak perlu dibuktikan seperti itu. Dalam concerted action itu, yang penting terjadi komunikasi," ujar majelis KPPU.

Atas hal itu, Yamaha-Honda tidak terima dan mengajukan permohonan banding ke PN Jakut. Pada 5 Desember 2017, PN Jakut menolak upaya banding tersebut. PN Jakut memutuskan menguatkan keputusan KPPU

Yamaha-Honda tidak terima dan mengajukan kasasi. Pada 23 April 2019, MA menolak kasasi Honda-Yamaha, Perkara Nomor 217 K/Pdt.Sus-KPPU/2019 itu diadili oleh ketua majelis Yakup Ginting dengan anggota Ibrahim dan Zahrul Rabain.

Dua tahun berselang, keduanya memilih mengajukan PK. Tapi usaha itu tidak membuahkan hasil. "Amar putusan Tidak Dapat Diterima," demikian bunyi amar putusan PK yang dilansir websitenya, Kamis (29/4/2021).

Duduk sebagai ketua majelis Prof Takdir Rahmadi dengan anggota Dr Nurul Elmiyah dan Dr Rahma Yuliati. Duduk sebagai panitera pengganti Selviana Purba dan diputus pada 21 Februari 2021 lalu.

No comments:

Post a Comment