Wednesday, January 17, 2018

Laba Bersih BNI Naik 20 Persen Senilai Rp 13,6 Triliun Tahun 2017

PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mencatatkan perolehan laba bersih konsolidasi Rp 13,62 triliun di 2017, tumbuh 20,1% dibandingkan 2016 sebesar Rp 11,34 triliun. Direktur BNI Adi Sulistyowati menjelaskan, pertumbuhan laba bersih ini ditopang dari segmen business banking dan consumer banking dan perbaikan kualitas aset.

"Dengan perkembangan bisnis tersebut, BNI mampu membukukan laba bersih yang lebih besar daripada industri perbankan nasional yang hanya tumbuh 16,5%," kata Adi dalam konferensi pers tahunan di Gedung BNI, Jakarta, Rabu (17/1/2018).

Perolehan laba bersih ini ditopang dari meningkatnya pertumbuhan kredit yang mencapai 12,2%. Total penyaluran kredit BNI tecatat Rp 441,31 triliun. Sebanyak Rp 345,5 triliun atau 78,3% disalurkan ke segmen bisnis banking dan konsumer banking. Sisanya Rp 24,37 triliun atau 5,5% dari total kredit yang disalurkan melalui perusahaan anak.

Kualitas kredit BNI tercatat mengalami perbaikan. Ini ditandai dengan menurunnya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) menjadi 2,3% dari 2016 sebesar 3%.  Cadangan kerugian penyusutan nilai (CKPN) juga tetap terjaga dengan baik, tingkat coverage ratio naik 146% pada 2016 menjadi 148% pada 2017.

"Ini juga berdampak pada tingkat kecukupan permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) yang tetap terjaga baik pada level, 18,5% sebagai fundamental yang kuat," imbuh dia. Pendapatan non bunga BNI tercatat Rp 9,78 triliun atau tumbuh 13,9% dibandingkan periode 2016 Rp 8,59%. Pertumbuhan didukung oleh kenaikan pendapatan fee based income atau pendapatan non bunga dari transaksi trade finance dan remmitance.

Jumlah aset BNI per 2017 tercatat Rp 709,33 triliun tumbuh 17,6% dibandingkan periode 2016 sebesar Rp 603,3 triliun. Pertumbuhan aset ini terutama ditopang oleh DPK yang mencapai Rp 516,1 triliun pada akhir 2017, atau naik 18,5% dibanding tahun 2016.

BNI menargetkan pertumbuhan penyaluran kredit bisa tumbuh 15% tahun ini. Baiquni mengungkapkan sektor infrastruktur diharapkan bisa menjadi penopang pertumbuhan kredit pada 2018. Kemudian kredit investasi juga diproyeksikan bisa mendorong penyaluran kredit.  "Kita lihat perkembangan ekonomi di Amerika Serikat (AS) yang sudah mengalami perbaikan, meski sempat ada perlambatan di China ini merupakan sinyal investor untuk mulai berinvestasi di Indonesia, tandanya ekonomi membaik, kredit bisa lebih baik," kata Baiquni.

Sepanjang 2017, penyaluran kredit BNI tercatat Rp 441,3 triliun tumbuh 12,2% dibandingkan periode 2016 sebesar Rp 393,3 triliun. Sebesar 78,3% atau Rp 345,5 triliun dari total kredit BNI disalurkan ke segmen bisnis banking. Kemudian 16,2% atau Rp 71,4 triliun untuk konsumer banking. Kemudian 5,5% atau Rp 23,47 triliun disalurkan melalui perusahaan anak.

Untuk kredit segmen bisnis banking, sebesar Rp 134,4 triliun tumbuh 14,9% dibandingkan 2016. Untuk kredit debitu korporasi non BUMN ini termasuk dengan kredit debitur yang berdomisili di luar Indonesia.  Kredit sebesar Rp 84,37 triliun disalurkan pada debitur BUMN. Selebihnya, kredit pada segmen bisnis banking juga disalurkan pada debitur menengah dan kecil, masing-masing Rp 70,26 triliun tumbuh 14,6% dan Rp 56,48 triliun atau tumbuh 11,4%.

Sementara itu untuk pertumbuhan kredit pada segmen konsumer banking BNI didorong terutama pinjaman payroll yang tumbuh 47,1% dengan outstanding per 31 Desember 2017 mencapai Rp 17,7 triliun.  Pinjaman payroll dioptimalkan dengan memanfatkan database debitur korporasi terutama yang berasal dari BUMN dan institusi pemerintah. Selain itu, segmen konsumer banking BNI juga disokong oleh kredit pemilikan rumah (KPR) yang mencapai Rp 37,07 triliun dan kartu kredit Rp 11,64 triliun.

Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) BNI tercatat 2,3% lebih rendah dibandingkan 2016 sebesar 3%. Baiquni menjelaskan, penurunan rasio NPL dilakukan dengan cara hapus buku atau write off. Hal ini dilakukan, karena adanya debitur yang dianggap tidak mampu untuk membayar.  "Kami melakukan write off ini untuk yang gagal diserap sejak 2015. Kemudian dilakukan restrukturisasi dan dilakukan penagihan dan ada yang berhasil dan tidak," imbuh dia.

PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI membukukan laba sebesar Rp13,62 triliun hingga akhir tahun lalu. Kendati pertumbuhannya mencapai 20,1 persen kalau dibandingkan 2016 lalu, pencapaian laba perseroan meleset dari targetnya, yakni Rp14,7 triliun. Tidak hanya itu, pertumbuhan laba bank pelat merah ini juga menunjukkan tren perlambatan. Terbukti pertumbuhan laba 2016 dibandingkan tahun sebelumnya menyentuh 25,1 persen secara tahunan.

Direktur Keuangan BNI Rico Rizal Budidarmo mengungkapkan, ada beberapa hal yang menjadi penyebab tak terealisasinya target laba yang dicanangkan perseroan. "Faktor utama persaingan dengan pasar modal, bank harus bersaing (mencari dana) dengan kompetitif," ujarnya

Selain itu, ada pula faktor dari penurunan suku bunga secara bertahap yang dilakukan bank, sejalan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Secara rinci, pertumbuhan laba ditopang oleh pendapatan bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) sebesar Rp31,94 triliun atau tumbuh 6,5 persen dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp30 triliun. Lalu, pendapatan nonbunga sebesar Rp9,78 triliun atau tumbuh 13,9 persen dari tahun sebelumnya Rp8,59 triliun.

Sedangkan dari sisi beban operasional tercatat di angka Rp20,86 triliun atau meningkat 8,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp19,22 triliun. Dari sisi aset, tumbuh 17,6 persen menjadi Rp709,33 triliun. Lalu, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 18,5 persen menjadi Rp516,1 triliun. Dari total DPK tersebut, sekitar 63 persennya merupakan komponen dana murah atau tabungan dan giro (Current Account Saving Account/CASA).

Direktur Hubungan Kelembagaan dan Transaksional BNI Adi Sulistyowati mengatakan, pertumbuhan DPK tak terlepas dari berbagai pelayanan yang dilakukan perbankan. "Meliputi optimalisasi produktivitas outlet, meningkatkan fitur-fitur layanan pada e-channel, memperkuat hubungan baik dengan nasabah institusi, dan pengembangan branchless banking," tuturnya.

Sementara, dari sisi pertumbuhan kredit, emiten berkode BBNI mencatat pertumbuhan 12,2 persen. Namun demikian, realisasi itu masih lebih rendah dibanding pertumbuhan kredit pada 2016 sebesar 20,1 persen. Rico bilang, pertumbuhan kredit tak berhasil menyentuh target lantaran perusahaan ingin lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Sebab, di sisi yang bersamaan, BNI tengah gencar memperbaiki kualitas kredit. Sehingga, penyaluran kredit baru cukup ditahan oleh perusahaan.

"Sebenarnya, kami bisa tumbuh tapi kami ingin lebih hati-hati, terutama segmen bisnis menengah dan kecil. Permintaannya ada, tapi kami perlu lihat dengan matang," terang dia.  Adapun penyaluran kredit BNI mencapai Rp441,31 triliun pada tahun lalu. Kredit ini terbagi atas kredit ke segmen bisnis banking sekitar 78,3 persen. Lalu, sekitar 16,2 persen ke segmen konsumer banking, sedangkan sisanya, 5,5 persen disalurkan ke anak-anak usahanya.

Lebih rinci, penyaluran kredit segmen bisnis banking sebesar Rp134,4 triliun atau tumbuh 14,9 persen dari tahun lalu. "Kredit sebesar Rp84,37 triliun disalurkan pada debitur BUMN. Lalu, debitur menengah dan kecil masing-masing Rp70,26 triliun dan Rp56,48 triliun," katanya.

Sedangkan kredit ke segmen bisnis konsumer diberikan ke pinjaman payroll sekitar Rp17,7 triliun atau tumbuh 47,1 persen dari tahun sebelumnya. Pinjaman payroll ini berasal dari BUMN dan institusi pemerintah. "Sedangkan segmen konsumer banking BNI disokong oleh Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mencapai Rp37,07 triliun dan kartu kredit Rp11,64 triliun," imbuh Adi.

No comments:

Post a Comment