Presiden Jokowi memperpanjang PPKM Darurat hingga 25 Juli 2021. Selanjutnya, pembukaan PPKM Darurat akan dilakukan secara bertahap mulai 26 Juli, dengan catatan kasus covid-19 menurun. "Jika tren kasus terus menurun, maka 26 Juli 2021, pemerintah akan melakukan pembukaan bertahap," ujar Jokowi melalui Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (20/7).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan perpanjangan PPKM Darurat selama lima hari, dari yang seharusnya berakhir 20 Juli menjadi 25 Juli, sebagai bentuk keragu-raguan pemerintah dalam menurunkan kasus covid-19.
Ia pun sangsi kasus covid-19 bisa turun dalam waktu kurang dari sepekan. Sebab, sekalipun angka kasus menurun, itu hanya angka semu mengingat jumlah testing spesimen ikut berkurang. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19, jumlah orang yang dites pada Senin (19/7) kemarin, terendah dalam sepekan.
Sebanyak 127.461 orang dites menggunakan PCR, TCM, dan antigen pada awal pekan. Satu hari sebelumnya, jumlah orang dites mencapai 138.046 orang. Lalu pada Sabtu (17/7) jumlah tes mencapai 188.551 orang. "Jadi, seolah ada penurunan kasus. Padahal, karena testingnya menurun. Justru itu berbahaya. Dalam jangka pendek terlihat semu, seolah situasinya membaik, nanti PPKM darurat dilonggarkan. Sehingga, nanti ke depan tiba-tiba bisa melonjak lagi karena situasinya tidak konsisten dikendalikan," ujarnya pada Rabu (21/7).
Berkaca dari pengalaman selama ini, ia menyarankan sebaiknya pemerintah fokus pada penurunan angka tambahan kasus secara nyata, buka angka semu. Langkah pengetatan juga diambil negara tetangga, yang mengalami lonjakan kasus, seperti Malaysia, yang sudah menjalani lockdown lebih dari satu bulan. Pasalnya, kondisi yang seolah membaik justru akan membahayakan baik sistem kesehatan maupun ekonomi. "Ini membuktikan pemerintah memang sangat sulit untuk mengambil sikap yang jelas, untuk memprioritaskan kesehatan, dengan pertimbangan utamanya karena faktor ekonomi," imbuh dia.
"Padahal, dengan mengulur waktu satu minggu ini belum menjamin penurunan kasus covid-19. Kemudian, juga belum menjamin ekonomi kita dalam seminggu ke depan bisa pulih kembali kalau kasusnya belum bisa diturunkan," lanjutnya. Jika pemerintah ingin menyelamatkan kesehatan dan ekonomi sekaligus, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet usul agar penyaluran bantuan sosial (bansos) dipercepat. Saat ini, dia menilai penyaluran bansos ke daerah kurang maksimal.
"Saya kira, kita harus jujur, banyak masyarakat yang tidak bisa. Artinya, tidak cukup kuat dalam menahan beban ketika PPKM Darurat berlangsung hampir satu bulan, karena di sisi lain bantuan pemerintah belum optimal. Secara penyaluran juga terhambat," katanya. Ia menduga penyaluran terhambat karena kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Meskipun, sebetulnya, dana bansos PPKM Darurat sudah dialokasikan oleh Kementerian Keuangan.
"Kalau tahun lalu, oke, masih bisa diterima karena bansos (pandemi) hal baru. Tapi, tahun ini seharusnya sudah jauh lebih matang untuk realisasi belanjanya. Makanya, proses komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah harus intens," jelasnya.
Adapun, pada perpanjangan PPKM darurat ini, pemerintah menambah alokasi bansos menjadi Rp55,21 triliun dari sebelumnya Rp39 triliun. Namun itu pun, Yusuf mengungkapkan nilai bansos masih bisa naik menjadi dua hingga tiga kali lipat. Pertimbangannya, ekonomi tidak serta merta pulih usai PPKM Darurat, sehingga masyarakat terdampak masih butuh bantalan. Pertimbangan lainnya, sasaran penerima bantuan perlu diperluas tidak hanya masyarakat tidak mampu dalam DTKS, tetapi juga masyarakat rentan dan hampir miskin.
Pasalnya, ia memperkirakan jumlah masyarakat rentan dan hampir miskin bertambah. Kondisi ini berangkat dari data penduduk miskin BPS pada Maret 2021 meningkat 0,36 persen dari sebelumnya 26,42 juta pada Maret 2020 menjadi 27,54 juta pada Maret 2021.
"Hitungan sederhana saya, sebenarnya jumlahnya (bansos) dikalikan dua atau tiga, kalau misal dimungkinkan, ditambah menjadi Rp100 triliun- Rp150 triliun," tandasnya. Abra juga sepakat bansos perlu diperluas hingga ke pekerja informal. Apalagi, kondisi sudah darurat, pemerintah harus secara proaktif membuka kanal buat masyarakat yang terdampak mendapatkan akses bantuan.
"Sekarang masyarakat pasif, mereka hanya terima bantuan kalau datanya masuk, itu juga ada lag waktu, sedangkan mereka butuhnya harian," ucapnya. Perpanjangan PPKM Darurat membuat pengusaha menagih kompensasi dan bantuan kepada pemerintah. Khususnya, pengusaha hotel dan restoran yang terimbas PPKM darurat.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyayangkan bahwa Jokowi tidak menyinggung sama sekali kompensasi kepada pengusaha hotel dan restoran selama perpanjangan PPKM darurat. Padahal, hampir sebulan lamanya para pengusaha tidak mengantongi pendapatan.
Ia berharap pemerintah bisa membantu meringankan pengusaha hotel dan restoran dengan memberikan pelonggaran pajak dan retribusi daerah, biaya listrik, kewajiban perbankan, subsidi gaji pegawai, tarif sewa, dan sebagainya. Sebab, meskipun tidak beroperasi, pengusaha tetap harus membayar semua biaya tersebut.
"Kami berharap mendengar ada satu kompensasi dari pemerintah khususnya pajak daerah, kok tidak ada sama sekali. Yang dikasih relaksasi oleh pemerintah itu cuma di jaring safety nett, masyarakat saja kan, justru sektor yang penting tidak ada," ujar Maulana. Berbeda dengan tahun lalu, kemampuan keuangan pengusaha tahun ini sudah habis karena mereka telah bertahan selama satu tahun lebih. Risiko terburuk jika uluran tangan pemerintah tidak kunjung datang adalah banyak hotel dan restoran gulung tikar.
"Risiko terburuk ya pasti tutup permanen. Karena dalam kondisi ini kan pengusaha punya permasalahan masing-masing, tapi secara umum permasalahan mereka sama," tuturnya. Meski mengaku keputusan itu sangat berat, ia memastikan pengusaha hotel dan restoran tetap akan mengikuti aturan pemerintah selama perpanjangan PPKM darurat. Bahkan, ia mengklaim selama ini hotel dan restoran sudah menjalankan protokol kesehatan ketat, meskipun selalu terkena imbas penutupan.
"Bagaimana pun kalau di sektor kami, di hotel dan restoran, kan tidak sama dengan sektor non-formal lainnya yang bisa melawan kebijakan pemerintah, mau tidak mau mereka akan nurut (aturan PPKM darurat)," tegasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terpaksa harus mengoreksi asumsi makro ekonomi di awal paruh kedua 2021. Ekonomi yang tadinya bisa tumbuh 5%, diperkirakan hanya mampu di level 3%. Hal ini tak lepas dari ledakan kasus covid-19, dipicu penyebaran varian delta yang katanya lebih ganas dan semakin kendornya protokol kesehatan oleh masyarakat.
Capaian perekonomian pada paruh pertama sebetulnya cukup gemilang. Kuartal I memang masih kontraksi, namun seiring peningkatan mobilitas masyarakat, ekonomi kuartal II diperkirakan tumbuh sampai 7-8%. Indeks kepercayaan konsumen meningkat hingga indeks produksi manufaktur bahkan mencapai level tertinggi sepanjang sejarah. "Kemudian kita melihat munculnya varian delta dari virus corona yang begitu dominan," ujar Sri Mulyani dalam CNBC Indonesia Economic Update dengan Tema "Kebangkitan Ekonomi Indonesia" pekan lalu. Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat dengan tujuan mengurangi 50% mobilitas masyarakat sehingga penyebaran covid bisa teredam.
Lebih dari seminggu kebijakan berjalan mobilitas memang turun tapi kasus covid tidak berhenti. Bahkan terus menembus rekor, seperti kemarin mencapai 40 ribu kasus positif dalam sehari. Begitu juga dengan yang meninggal dunia, sempat menembus 1.000 orang per hari.
"Hal ini yang mungkin perlu untuk kita di satu sisi memiliki alasan untuk memiliki harapan bahwa tahun 2021 tetap merupakan tahun pemulihan, namun kita tidak lengah dan tetap waspada. Seperti yang tadi juga disampaikan varian Covid-19 yang terus berubah dan ini menimbulkan ancaman," paparnya.
Atas kondisi tersebut, Sri Mulyani menyiapkan skenario moderat hingga berat. Diawali dengan PPKM Darurat dengan skenario moderat dan berat berjalan sampai dengan 4-6 minggu. Dengan skenario tersebut maka implikasi ke tingkat konsumsi masyarakat akan melambat. Pemulihan ekonomi akan tertahan, pertumbuhan ekonomi kuartal III diprediksi melambat ke 4,0 - 5,4% yoy dan kuartal IV 4,6 - 5,9%.
Pemerintah harus mengoptimalkan belanja agar ekonomi tidak kembali melemah seperti tahun sebelumnya. Di samping tetap mendorong pertumbuhan ekspor dan investasi. Bila tidak ada tekanan lagi, maka ekonomi sampai akhir tahun diproyeksikan di level 3,7-4,5%. Sri Mulyani mengakui skenario yang lebih berat tentu bisa saja terjadi. Hanya saja berdasarkan data terkini, skenario tersebut yang dimungkinkan terjadi.
"Jadi, (yang dibuat pemerintah) skenario moderat dan berat. Belum memasukkan skenario yang lebih berat," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR. Fitch, dalam laporan yang dirilis 9 Juli 2021 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,4% dari sebelumnya 5,1%. Proyeksi ini belum menyertakan kondisi di mana PPKM Darurat diperpanjang.
Dijelaskan, kebijakan tersebut tentu akan memukul perekonomian karena menurunkan mobilitas penduduk. Konsumsi rumah tangga yang pada paruh pertama 2021 sudah membaik dipastikan kembali tertekan.
Hal lain yang turut menjadi perhatian serius adalah vaksinasi yang masih lambat. Kini sudah berjalan sekitar 1 juta vaksin per hari. Bila ingin mencapai kekebalan komunal tentu vaksinasi digenjot mencapai 5 juta vaksin per hari.
Selanjutnya adalah kapasitas rumah sakit yang terbatas. Pada beberapa daerah situasi ketersediaan tenmpat tidur dan ruangan perawatan pasien covid sudah memasuki masa kritis. Pemerintah juga harus memperhatikan kondisi fiskal. Pada 2023 mendatang, pemerintah tidak lagi memiliki keistimewaan defisit fiskal di atas 3% dari PDB. Kecuali pemerintah berencana mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang yang baru untuk perpanjangan.
Agar kembali ke 3%, pemerintah perlu menurunkan defisit secara gradual. Kini defisit anggaran dipatok 5,7%. Di sisi lain, ekonomi harus dipastikan pulih. Sehingga apabila defisit turun dan belanja harus lebih kecil, maka perekonomian tidak terpengaruh signifikan. S&P Global Ratings merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 2,3 pada 2021%. Padahal sebelumnya S&P optimistis ekonomi tanah air bisa mencapai 3,4 - 4,4%.
Demikianlah diungkapkan Vishrut Rana, Economist Asia-Pacific dalam webinar, akhir pekan lalu. Menurutnya ini tidak lepas dari lonjakan penyebaran kasus covid-19 dalam beberapa waktu terakhir yang lebih parah dari tahun sebelumnya. Atas kondisi itu pemerintah implementasikan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat. Ekonomi pun menjadi tertekan karena semakin berkurangnya mobilitas penduduk yang diperkirakan S&P sampai dengan 30% untuk implementasi selama sebulan.
Moodys menilai pemulihan ekonomi nasional terhambat cukup signifikan akibat ledakan kasus covid-19 sejak sebulan terakhir. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini diperkirakan hanya 4,5%. "Kami memperkirakan PDB secara rill, pertumbuhan 4,5%," tulis Moodys dalam laporannya.
Dibandingkan dengan tahun lalu memang ada kenaikan cukup signifikan. Namun tetap lebih rendah dari perkiraan tahun ini yang sebesar 5%. Tekanan terbesar, menurut Moodys adalah di konsumsi rumah tangga. Lonjakan covid direspons dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat yang bertujuan untuk mengurangi mobilitas masyarakat.
Dari sisi sektoral, maka ritel, transportasi, hotel hingga restoran akan terpukul lagi. Sementara diketahui, sektor ini belum sepenuhnya pulih sejak hantaman covid dimulai pada tahun lalu. Moodys juga meminta pemerintah memperhatikan lebih serius sebab risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa jadi menjadi lebih masif.
Persoalan ini akan membuat kondisi fiskal semakin berat. Moodys memperkirakan defisit anggaran semakin lebar menuju 6,1% PDB atau di atas perkiraan pemerintah yang sebesar 5,7% PDB. Moodys sebelumnya memberikan peringkat BAA2 Stabil untuk Indonesia. Tantangan yang harus dihadapi ke depannya sangat berat. Maka dari itu pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Khususnya dalam pengelolaan fiskal, termasuk utang.
"Pemerintah telah berjanji akan kembali ke batas legal sebelumnya yaitu defisit fiskal 3,0% pada tahun 2023, strateginya terutama bergantung pada konsolidasi pengeluaran, yang kini semakin terancam karena langkah-langkah mitigasi yang diperkenalkan pada tahun 2020 tidak mungkin sepenuhnya terlepas," paparnya.