Beberapa minggu sejak pertama kali digulirkan oleh media, Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan) KUP yang dicanangkan oleh Pemerintah masih saja hangat diperbincangkan, baik secara mikro oleh ibu-ibu rumah tangga, oleh praktisi perpajakan, maupun dalam diskusi serius para pakar.
RUU KUP menyebutkan bahwa latar belakangnya adalah bahwa untuk pemulihan ekonomi diperlukan strategi peningkatan penerimaan pajak. Poin peningkatan penerimaan pajak ini tercermin di banyak sekali pasal yang, katakanlah, sapu bersih dan hajar saja untuk memperluas basis pemajakan.
Sejak tahun 1983 kita terbiasa pada kalimat indah pada Undang-Undang (UU) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak tidak kena pajak. Pada penjelasannya tertulis bahwa barang itu meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah, sayur. Ini jelas, yang dimaksud adalah barang non elastis yang berapa pun harganya rakyat harus membeli karena harus makan.
Narasi dari pemerintah saat ini adalah bahwa terdapat ketidakadilan penerapan PPN dengan adanya barang tidak kena pajak itu. Contohnya daging wagyu yang harganya sekilo Rp 1,8 juta yang dinikmati hanya oleh golongan kaya juga turut tidak dikenai PPN karena bentuknya adalah daging.
Mari kita bedah kembali narasi di atas. Syarat yang harus dipenuhi untuk tidak dikenai PPN adalah kebutuhan pokok, diperlukan rakyat banyak, berupa daging. Lantas kenapa wagyu jadi tidak dikenai PPN? Saya juga cukup heran (baca: tidak habis pikir) ada orang yang kebutuhan pokoknya wagyu.
Bilapun undang-undang dipandang tidak cukup jelas memberi "baju" pada wagyu, bukankah tinggal memperjelasnya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)? Atau kalaupun tarifnya terlalu rendah karena masih 10%, ada jalan di Pajak Penjualan Barang Mewah.
Coba bayangkan apa yang dirasakan rakyat kecil yang mendengar kata "wagyu" saja baru kali ini. Berbarengan dengan keluarnya kata "wagyu" itu harga barang akan naik semua. Memang katanya akan ada pengkategorian lagi dari segi jenis, mutu, harga, maupun sasaran. Namun highlight-nya adalah pada dari tidak kena menjadi kena PPN.
Ini belum kita membahas jasa-jasa yang dulunya tidak kena pajak menjadi kena. Perhatikan contoh jasa yang kena PPN berikut (urutan ke-9 akan membuat Anda tercengang!). Jasa dokter, pemadam kebakaran, pemakaman, jasa olah raga, jasa leasing, kartu kredit, asuransi, kegiatan keagamaan, konser kesenian, SPP, iklan layanan masyarakat, bus/kereta api, jasa outsourcing, menjadi kena PPN.
Sama dengan narasi barang kena pajak di atas, apa karena ada sekolah internasional, dokter bedah estetika, pemadam kebakaran (mahal?), olah raga golf, leasing mobil Ferrari, carter pesawat terbang pribadi, yang menyebabkan semua akhirnya ditarik menjadi jasa kena pajak?
Merusak Persepsi
Semua perubahan di atas bila untuk menciptakan keadilan menurut saya malah jauh panggang dari api. Bahkan wacana begini justru merusak persepsi masyarakat terhadap konsep keadilan pajak bagi rakyat kecil.
PPN adalah pajak atas objeknya. Beda lagi dengan Pajak Penghasilan yang merupakan pajak atas subjeknya. Atta Halilintar dengan saya tarif pajak penghasilannya jelas berbeda. Atta seharusnya sudah membayar pajak hampir sepertiga dari penghasilannya. Nah, kalau dia menyekolahkan anaknya ke pendidikan terbaik, masalahnya apa? Dia sudah membayar lunas Pajak Penghasilannya. Lantas kenapa juga karena anaknya dia sekolah mahal, anak saya jadi harus bayar PPN jasa pendidikan?
Saya dalam kapasitas sebagai sekrup sangat kecil sebagai wajib pajak yang juga staf pajak di sebuah perusahaan memang menunggu adanya perubahan arah perpajakan. Mungkin konkretnya dengan perubahan UU KUP. Bersama saya mungkin ada banyak juga pelaku pajak yang lain. Namun yang ditunggu bukan yang begini.
Saat ini yang menjadi kegusaran saya adalah warga negara yang menghindar dari kewajiban pajak dibiarkan saja. Justru warga negara yang sudah tertib menjalankan kewajiban perpajakan malah dikejar-kejar dengan segala macam teguran, imbauan, pemeriksaan.
Masalah lainnya adalah menjadi wajib pajak tertib itu susah! Mengisi laporan pajaknya sulit, membayarnya sulit, melaporkannya sulit. Peraturan yang ada juga cenderung tumpang-tindih. Mengenai peraturan yang tumpang-tindih itu berpotensi juga menyebabkan perselisihan pajak. Pernah dengar pemeriksaan pajak? Jangan keder, jangan sedih, jangan heran kalau menghadapi pemeriksaan. Di sini tidak ada kebenaran tunggal karena petugas pajak selalu benar.
Agak horornya adalah bahwa petugas pajak punya target berupa pemasukan ke negara yang harus mereka emban. Maka goal-nya adalah mencapai target itu dengan segera. Sedangkan hal kualitatif mengenai apakah sudah cukup adil cara mereka melakukan pengawasan dan pemeriksaan, malah tidak ada indikatornya.
Mengingat pajak adalah kewajiban warganya dalam pembiayaan negara, seharusnya semua wajib pajak membayar pajak. Yang menghindar, kejar! Yang belum masuk radar, masukkan! Ambil data dari mana pun yang bisa menjaring wajib pajak. Dengan begitu tanggung jawab mengisi kas negara dari pajak bisa ditanggung bersama.
Menunggu Kelanjutan
Seharusnya RUU KUP lebih fokus pada kerangka, konsep, aspek formal dalam memperluas basis pemajakan, memperbaiki regulasi, penyederhanaan, dan menciptakan rasa tenteram dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Bila dapat dipenuhi saya yakin juga akan meningkatkan kepatuhan sukarela dari wajib pajak dan otomatis akan meningkatkan penerimaan negara.
Bahwa pemerintah yang terdiri dari Menteri, Pejabat hingga Pegawai Negeri memilih memunculkan RUU KUP ini, yang highlight-nya adalah memperluas basis penerimaan pajak dengan menghapus barang dan jasa tidak kena pajak dan juga meningkatkan tarif, baiklah kita tunggu saja kelanjutannya.
Tahun 1983 kita ingat sebagai tonggak reformasi perpajakan. Dan baru tiga puluh delapan tahun kemudian reformasi besar terjadi lagi. Saat ini pembahasan di DPR sedang dilakukan. Suara sayup-sayup dari rakyat ini mungkin saja tidak terdengar, tapi bagaimanapun kita harus tetap bersuara, Semoga apapun hasilnya adalah kabar baik.
No comments:
Post a Comment