Wednesday, August 31, 2016

Isu Rokok Mahal Rp 50.000 Murni Kampanye Persaingan Bisnis Untuk Tingkatkan Penjualan

Isu rokok mahal yang sempat ramai diperbincangkan belum lama ini disebut Pengamat Ekonomi dan Hukum Gabriel Mahal sebagai cara industri farmasi memenangkan persaingan bisnis.  Gabriel menyebut produsen produk kesehatan Nicotine Replacement Therapy (NRT), melakukan kampanye agar pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sehingga harganya relatif sama dengan produk NRT tersebut.

"Ini semua berawal dari agenda global yang didorong industri farmasi. Kelompok anti tembakau ingin supaya harga rokok bisa mendekati produk NRT yang saat ini dijual di kisaran Rp58 ribu, sehingga produk itu bisa kompetitif dengan harga rokok,” ujar Gabriel dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (30/8).

Ia menilai, salah kaprah jika kemudian harga rokok di Indonesia dibandingkan dengan Singapura yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap tembakau apalagi negara itu juga tidak punya petani tembakau.  Menurutnya, meski tak punya kepentingan terhadap tembakau, di Singapura dan Jepang, pemerintahnya menyediakan fasilitas tempat khusus untuk perokok. Sementara di Indonesia, industri hasil tembakau dipojokkan.

"Kampanye negatif terhadap tembakau ini semata kepentingan bisnis nikotin sintesis dengan dukungan perusahaan farmasi," tandasnya. Isu lain yang diembuskan kelompok anti tembakau menurutnya adalah terus mendorong pemerintah untuk meratifikasi FCTC. Di mana dalam regulasi FCTC, ada keharusan pemerintah untuk mensubstitusi produk nikotin sintesis untuk terapi berhenti merokok.

“Jika FCTC diratifikasi, maka mau tidak mau ada keharusan impor NRT sehingga Indonesia berubah menjadi importir," tandasnya. Ia mempertanyakan apakah pemerintah kemudian bersedia menyingkirkan rantai produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) yang melibatkan petani tembakau, cengkeh dan ribuan pekerja demi kepentingan perusahaan farmasi internasional tersebut. Laju saham emiten rokok terhambat akibat merebaknya isu kenaikan harga rokok secara signifikan. Tren negatif tersebut tercermin dari pergerakan saham dua perusahaan rokok terbesar, yakni PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) pada perdagangan hari ini, Senin (22/8).

Saham HMSP sempat anjlok ke level terendah pada sesi pertama di angka 3.930 sebelum akhirnya ditutup pada level 4.040, yang merupakan level yang sama saat pembukaan atau ketika ditutup akhir pekan lalu. Sementara, saham Gudang Garam terkoreksi sepanjang perdagangan sejak dibuka pada level 68.025, sebelum akhirnya ditutup turun 875 poin atau 1,29 persen menjadi 67.150.

Analis Minna Padi Investama Padi, Frederick Rasali menilai isu kenaikan harga rokok hingga menjadi Rp50 ribu per bungkus menjadi sentimen terkuat dari penurunan saham emiten rokok hari ini.  Menurutnya, sentimen negatif ini akan mempengaruhi pergerakan saham emiten rokok hingga beberapa hari ke depan. Hal ini karena harga saham merupakan cerminan dari ekspektasi pasar atau investor terhadap masa depan dari suatu aset.

“Jadi apabila pasar modal menilai bahwa industri rokok akan mengalami penurunan maka harga saham tentunya akan menurun juga,” jelasnya. Dia menduga, isu ini masih akan bergulir mengingat pemerintah belum dapat memastikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Namun, ia memastikan industri rokok tidak akan mati sekalipun harga roko0k dinaikan.

Pasalnya, lanjut Frederick, sensitifitas harga rokok dengan permintaan tidak terlalu besar sehingga beberapa konsumen yang terbiasa mengonsumsi rokok tidak akan mengurangi konsumsinya.

“Permintaan akan tetap turun, tentunya beberapa konsumen yang memiliki daya beli pas-pasan bisa jadi konsumsi rokoknya akan berkurang,” pungkasnya. Pelaku usaha dan tenaga kerja di industri rokok mengkritik pusat kajian ekonomi yang mendorong kenaikan drastis harga rokok tanpa perhitungan dan mekanisme yang jelas.

Salah satunya Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM), yang melalui ketua umumnya Sudarto, menilai kajian kenaikan harga rokok yang dihembuskan Pusat Kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM–UI) sebagai riset tidak jelas. menurutnya, jika riset tersebut diakomodir pemerintah, dapat dipastikan akan memukul industri rokok dan jutaan tenaga kerja yang mengadu nasib di dalamnya.

“Kenaikan cukai sebesar 11,7 persen saja sudah terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 32.279 orang pada kurun waktu 2012 sampai 2015. Apalagi bila dinaikan sampai Rp50 ribu harga per bungkus rokok, tentu kenaikan cukai berkali-kali lipat besarnya,” kata Sudarto melalui keterangan tertulis, Senin (22/8).

Menurutnya, tenaga kerja yang paling terpukul nantinya berasal dari industri kretek, yang merupakan industri padat karya. Mayoritas dari mereka adalah berpendidikan rendah, yang jika dirumahkan sulit bersaing dan bekerja di industri lain.  "Dan ini sangat berbahaya,” tegasnya.

Sebagai informasi, riset kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu dikeluarkan oleh Pusat Kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM–UI). Riset itu berkembang menjadi isu panas dan memicu kekhawatiran dari industri rokok, tenaga kerja, hingga petani tembakau. Sudarto menilai, riset seharunya mencari jalan keluar yang bijak, bukan menyudutkan pihak-pihak tertentu.

“Bila akibat riset itu banyak yang dirumahkan, siapa yang mau bertanggung jawab,” terang Sudarto. Selain faktor tenaga kerja, lanjut Sudarto, kenaikan signifikan harga rokok mengikuti riset kontroversi tersebut juga dapat memicu lonjakan peredaran rokok ilegal. Hingga saat ini, kata Sudarto, jumlah rokok ilegal sekitar 11 persen dari total peredaran rokok di masyarakat.

“Nantinya, tentu yang akan dirugikan adalah pemerintah karena penerimaan cukai akan turun,” ucapnya. I Ketut Budiman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) mengatakan, riset yang dilakukan oleh pihak-pihak yang kontra terhadap rokok tentu akan membuahkan ketidakadilan. "Fokus mereka kan kesehatan, tapi bagaimana dengan tenaga kerja dan petani, apakah mereka pikirkan?” katanya.

Budiman menegaskan, saat ini produksi cengkeh di Indonesia sekitar 100 ribu sampai 110 ribu ton per tahun. Sekitar 94 persen dari hasil produksi cengkeh setiap tahunnya diserap oleh industri rokok. "Jika nanti industri itu terganggu akibat kenaikan harga ini, mau dikemanakan hasil cengkeh ini?” lanjutnya.

Tak hanya itu, Budiman juga menekankan pentingnya memperhatikan nasib dari sekitar 1 juta petani cengkeh di Indonesia. Menurutnya, akan timbul masalah baru jika produksi cengkeh mereka terganggu. “Alangkah lebih baik bila riset seperti itu digunakan untuk solusi yang tepat. Jangan berat sebelah tanpa memperhatikan kehidupan orang lain,” tuturnya. Hasan Aoni Aziz, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menegaskan, industri tidak terpengaruh dengan isu tersebut,

“Sebab kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan harga secara semena-mena. Jadi isu mengenai kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu perbungkusnya itu kami anggap hoax,” ujarnya. Dia menilai, metode riset FKM-UI yang menggunakan survei persepsi kurang tepat untuk menentukan besaran kenaikan tarif cukai maupun harga eceran rokok. Selain efektivitasnya dalam menurunkan konsumsi rokok patut dipertanyakan, rekomendasi kenaikan drastis harga rokok seperti itu justru dapat menguntungkan para pemalsu rokok.

Aoni pun menyindir Hasbullah Thabrany selaku Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM-UI, yang menghembuskan wacana kenaikan harga rokok tiga kali lipat. Menurutnya, Hasbullah seharusnya tidak mengeluarkan usulan yang dapat merugikan banyak pihak, termasuk pemerintah maupun pelaku industri rokok.

“Kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan secara sekonyong-konyong, ada mekanismenya dalam menaikkan harga rokok. Jadi kami tidak mau berandai-andai jika rokok sampai dinakkan menjadi Rp50 ribu perbungkus,” sambungnya.

No comments:

Post a Comment