Bank Indonesia (BI) menyatakan deflasi harga akan terjadi pada Agustus 2016 di level 0,04 persen (month-to-month/mtm) . Periode yang sama tahun lalu, tingkat harga di Indonesia masih mengalami inflasi sebesar 0,39 persen.
"Kami cukup senang karena Agustus ada deflasi 0,04 persen," tutur Gubernur BI Agus DW Martowardojo usai menghadiri Rapat Kerja dengan Pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR semalam, Selasa (30/8).
Menurut Agus, koreksi harga terus terjadi pasca perayaan hari raya Idul Fitri. Lebih lanjut, Agus mengungkapkan, deflasi Agustus semakin menguatkan perkiraan BI yang menyatakan inflasi tahun ini akan di bawah 4 persen atau sesuai target tahun ini yaitu 4 plus minus 1 persen.
Kendati demikian, Agus menilai, inflasi tahun ini masih relatif lebih tinggi dibandingkan inflasi di negara anggota ASEAN. Oleh karenanya, pengendalian inflasi masih perlu ditingkatkan. "Inflasi sampai Juli, year-on-year, 3,21 persen. Kalau dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, mereka rata-rata inflasinya di bawah 1,5 persen atau di bawah 2 persen, "ujarnya.
Ke depan, BI melihat ada potensi inflasi akibat fenomena hujan berkepanjangan (la nina). Fenomena ini akan mendongkrak harga pangan bergejolak (volatile foods) "Sekarang saja sudah terasa bagaimana di bulan Agustus hujan sudah begini deras. Ini akan berpengaruh kepada volatile foods atau harga pangan yang bergejolak, "ujarnya.
Perkiraan BI sejalan dengan proyeksi sejumlah ekonom. David Sumual, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia, Tbk., memperkirakan tingkat harga Agustus akan mengalami deflasi sebesar 0,1 persen (mtm). Hal itu sesuai dengan pola tahun-tahun sebelumnya, di mana level harga akan cenderung tertekan pasca lebaran. "Deflasi - 0,1 persen karena normalisasi harga setelah lebaran terutama harga pangan yang turun, " ujarnya. Secara tahunan (year-on-year/yoy),David memperkirakan, inflasi Agustus ada di level 2,9 persen. Sementara, inflasi akhir tahun akan ada di level 3,2 persen.
Josua Pardede, Ekonom PT Bank Permata, Tbk., memperkirakan deflasi bulan kedelapan ada di level 0,02 persen (mtm). Selain karena harga pangan yang turun, deflasi juga disumbang oleh turunnya tarif transportasi dibanding selama periode mudik lebaran dan liburan sekolah. "Tarif transportasi sudah kembali normal,"ujarnya. Namun demikian, secara tahunan, tingkat harga Agustus masih mengalami inflasi sebesar 2,96 persen.
Menurut Josua, BI masih memiliki ruang pelonggaran moneter untuk mendorong daya beli masyarakat. Pelemahan daya beli masyarakat tercermin dari inflasi inti Agustus diperkirakan hanya sebesar 3,34 persen atau lebih rendah dibandingkan Juli, 3,49 persen. "Ruang pelonggaran moneter oleh Bank Indonesia masih terbuka, " ujarnya.
Secara umum, Josua menilai inflasi tahun ini masih terkendali. Adapun perkiraan inflasi akhir tahun ada di kisaran 3-3,3 persen dengan asumsi pemerintah belum akan melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak. alam hitungan hari Badan Pusat Statistik (BPS) akan melaporkan laju inflasi bulan Agustus 2016. Seperti biasanya, rilis resmi BPS itu akan menjadi bahan pemberitaan media massa di awal bulan.
Namun, data penting itu seolah tak bermakna bagi tidak sedikit masyarakat Indonesia. Indikator perkembangan harga-harga barang dan jasa yang diistilahkan dengan "inflasi" itu menjadi kurang membumi karena dibungkus oleh bahasa akademi dan angka-angka statistik yang membingungkan bagi sejumlah kalangan.
Lina (39 tahun), misalnya, pedagang makanan di bilangan Jakarta Pusat. Dia mengaku pernah mendengar istilah "inflasi", tetapi ia tak tahu jenis makanan apa itu. "Saya tidak mengerti apa itu inflasi," katanya.
Namun kalau ditanya soal naik atau turun harga, Lina seolah lebih menguasai masalah dibandingkan dengan pejabat BPS sekalipun. Dia mampu merinci jenis sayuran atau makanan apa saja yang harganya megalami fluktuatif di pasar tradisional. Dia tidak peduli dengan angka-angka statistik yang kerap dipergunjingkan analis dan pelaku ekonomi tingkat tinggi. Yang penting menurut Lina adalah, harga barang-barang kebutuhan pokok jangan naik terus.
"Kalau harganya naik kan, saya tidak bisa menaikan harga jual makanan yang saya jual. Untung saya jadi semakin sedikit," ujarnya. Lebih parah lagi Ghozali (36 tahun), sopir Bajaj yang kerap mangkal tak jauh dari kantor pusat BPS di Jakarta Pusat. Dia sama sekali awam dengan inflasi.
Bahkan saking sibuknya menunggangi motor roda tiga di jalan-jalan Ibu Kota, ia sama sekali tak sempat mengikuti perkembangan harga kebutuhan pokok. "Saya tidak tahu (inflasi ataupun perkembangan harga)," katanya polos. Walaupun tidak mengerti, tapi Ghozali tidak senang kalau harga-harga naik. Berdasarkan analisa sederhananya, pelanggannya akan kabur karena anggarannya berkurang untuk naik bajaj akibat kenaikan harga barang dan jasa.
"Sekarang saja kita saingan sama angkot, sama Gojek. Nanti kita makin susah, setoran juga tidak kekejar," tuturnya. Lain halnya dengan pesaing Ghozali, yakni pengemudi ojek online Palmen Siringoringo (49 tahun). Dengan usianya yang semakin matang, cukup lumayan pengetahuannya tentang ekonomi.
Ketika ditanya soal inflasi, pria asal Medan, Sumatera Utara ini bisa mendefinisikan secara sederhana. "Inflasi naik karena harga kebutuhan naik. Kalau inflasi turun karena harga kebutuhan juga lagi turun," jelasnya. Menurutnya, naik dan turun harga barang dan jasa sesuatu yang lumrah di tengah kondisi ekonomi yang semakin dinamis. Dia tidak soal harga naik, selama pendapatan yang diterimanya ikut naik.
"Jadi kita bisa menyesuaikan. Kalau penghasilan tidak naik, ya susah untuk kita makan. Misalnya, saya narik Gojek, kalau tarifnya tidak naik, kan susah saya kasih makan istri dan anak," tuturnya. Pada kesempatan terpisah, Dewi Oktarina (37 tahun), ibu rumah tangga muda punya pemahaman yang hampir sama dengan driver ojek daring Palmen. Tren kenaikan harga dimaknainya sebagai inflasi, dan sebaliknya jika turun adalah deflasi.
Namun, Dewi sangat kesal jika inflasi terjadi tanpa dibarengi dengan kenaikan gaji suaminya. Pasalnya, dengan pengeluaran harian yang meningkat mengikuti tren harga, pendapatan yang disetor suaminya menjadi tidak cukup untuk bayar cicilan utang ke sana-sini.
"Kalau penghasilan suami saya tidak naik juga kan susah. Belum lagi bayar cicilan rumah dan lainnya yang rutin setiap bulan," ujarnya ketus. Hasil jajak pendapat singkat dari empat perwakilan masyarakat ini cukup memberikan gambaran seberapa efektif sosialisasi yang disampaikan BPS setiap bulannya dalam menjangkau tataran masyarakat hingga ke level terbawah.
Ini akan menjadi "Pekerjaan Rumah" bagi BPS sampai kapanpun untuk bisa mengedukasi pentingnya statistik inflasi bagi kehidupan sehari-hari.
No comments:
Post a Comment