Generasi millenials umumnya menganggap bekerja sebagai siksaan dan karenanya ingin kerja di urban lokasi yang megah dan mewah, tengah kota, yang akses kendaraan pribadinya mudah, cepat, dan dekat dengan pusat makan, pusat perbelanjaan dan hiburan malam sehingga habis bekerja dapat langsung mengakses tempat makan, belanja dan hiburan demi menghilangkan stress. Diproyeksikan, kecenderungan perusahaan-perusahaan berpindah ke kawasan CBD bisa meningkat tinggi dalam beberapa tahun ke depan. Tren ini mulai terjadi, meskipun perkembangannya masih lambat.
Tren ini sekaligus membalikkan tren yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan, khususnya pada era 2005 lalu, di mana perusahaan yang sebelumnya berkantor di CBD justru berpindah ke non-CBD karena alasan biaya yang lebih murah. Selain itu, ada pula pengaruh dari pimpinan direksi perusahaan yang didominasi kalangan baby boomers yang umumnya lebih praktis dan berproduktifitas tinggi/
Kalangan ini, lanjut Anton, memiliki karakteristik yang lebih menyukai kawasan pinggiran karena jauh dari kebisingan pusat kota, dekat dengan kawasan perumahan dan kualitas lingkungan yang cenderung lebih baik sehingga kualitas hidup dan produktifitas mereka dapat meningkat.
"Beberapa tahun terakhir ini kan banyak perusahaan minyak dan gas (migas) yang justru pindah dari pusat ke selatan, misalnya ke kawasan TB Simatupang," katanya.
Namun demikian, pola pergeseran penghuni perkantoran ini baru masif terjadi sekitar tiga tahun mendatang. Diperkirakan, terjadi berkat pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Misalnya, pembangunan jalur kereta Mass Rapid Transit (MRT) dan kereta ringan Light Rapid Transit (LRT) yang efektif sekitar satu hingga dua tahun ke depan.
Namun, di sisi lain, ia melihat, ecenderungan ini sebenarnya tidak merugikan. Sebab, sejalan dengan arah kebijakan pemerintah ke depan, seperti pembangunan kawasan hunian yang terhubung dengan sistem transportasi (Transit Oriented Development/TOD). "Tapi, kalau dilihat ini sejalan, karena pemerintah sedang bangun MRT, nantinya ada TOD. Sehingga, menghemat bahan bakar minyak (BBM), polusi, kemacetan, dan lainnya," jelasnya.
Sementara, tahun ini, data riset Savills Indonesia menyebut bahwa tingkat kekosongan gedung-gedung perkantoran di kawasan non-CBD masih dalam tren penurunan. Sebab, beberapa perusahaan yang semula berpindah dari CBD ke non CBD, kembali berbalik ke kawasan CBD. Di sisi lain, kondisi perekonomian justru sedang tidak menggairahkan yang membuat banyak perusahaan menahan ekspansi, termasuk untuk menambah luasan perkantoran mereka. Sehingga, pertumbuhan tingkat kekosongan di kawasan non-CBD meningkat.
"Penyerapannya hanya 79 ribu meter persegi, lebih kecil dari daerah CBD. Tingkat kekosongan non-CBD lebih tinggi mencapai 24,2 persen. Sedangkan, CBD hanya 21,5 persen sepanjang tahun ini," imbuh Anton. Secara total, ia menuturkan, jumlah pasokan baru dari perkantoran kawasan non-CBD sebanyak 151 ribu meter persegi. Hal ini membuat total pasokan keseluruhan mencapai 2,7 juta meter persegi. Namun, yang digunakan hanya 79 ribu meter persegi.
Sedangkan untuk kawasan CBD, jumlah pasokan baru sebanyak 515 ribu meter persegi, sehingga total jumlah ketersediaan mencapai 6 juta meter persegi. Namun, yang terisi hanya 85,5 ribu meter persegi. Dari sisi harga, perkantoran non-CBD menurun harga sewanya sekitar 1,3 persen per bulan. Sedangkan kawasan CBD turun 6,4 persen. "Secara keseluruhan, dua kawasan ini turun harganya karena memang tingkat keterisiannya rendah, sehingga mereka turunkan harganya," terangnya
No comments:
Post a Comment