Riset Inventures Indonesia melansir, masyarakat semakin senang membelanjakan uang mereka untuk jalan-jalan. Toh, akses masyarakat untuk mendapatkan fasilitas jalan-jalan lebih mudah dan murah.Managing Partner Inventures Indonesia Yuswohady mengatakan, kondisi ini disebabkan lantaran banyak pelaku usaha yang berlomba-lomba menawarkan jasa melancong dengan tarif yang lebih kompetitif.
Kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk bisa merasakan jalan-jalan dengan konsep low cost tourism (biaya murah). Fenomena ini juga mementahkan anggapan bahwa jalan-jalan selalu dikaitkan sebagai aktivitas orang kaya semata.
“Saya lebih senang ini disebut sebagai 'Traveloka Effect', di mana hotel terbilang lebih murah, penerbangan bisa murah, dan semuanya dilakukan secara digital. Sudah gampang dan murah,” ujarnya. Secara lebih rinci, ia melanjutkan, fenomena low cost tourism ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Yang pertama, tingat okupansi budget hotel semakin meningkat dari kisaran 10 hingga 20 persen di 2013 lalu hingga melampaui angka 40 persen di tahun ini.
Selain itu, sebagian besar pemesanan tiket kini dilakukan melalui aplikasi. Sebanyak 65,77 persen pelancong memesan tiket hotel melalui aplikasi, sedangkan 18,81 persen pelancong lain yang memesan langsung ke hotel dan 17,31 persen pelancong memesan melalui agen wisata.
Adapun, sebagian besar responden enggan menggunakan agen travel karena dianggap terlalu mahal. “Kalau memang dari sisi suplai sudah begitu mengakomodasi orang untuk melancong dengan mudah, maka ini bisa mendorong permintaan konsumen yang lebih tinggi lagi,” ucapnya.
Tentu saja, fenomena low cost tourism ini tidak bisa berjalan tanpa ada permintaan masyarakat yang juga tinggi. Ia menuturkan, tren permintaan akan barang dan jasa demi kepuasan diri (leisure economy) akan terus melonjak seiring kenaikan pendapatan per kapita masyarakat. Ketika pendapatan meningkat, maka masyarakat sudah memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) dan mulai beralih ke kebutuhan sekunder, seperti leisure. Menurut dia, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun sebagian besar negara-negara yang masuk menjadi negara berpendapatan menengah (middle income countries) juga mengalami pergeseran kebutuhan yang serupa.
“Kebutuhan dasar mereka saat ini bukan lagi soal rumah yang muluk-muluk, menuntut harus punya kendaraan seperti apa, dan lainnya. Tapi mereka ini sebetulnya ingin punya experience, seperti makan di luar, nonton konser, sampai liburan. Dari sisi suplai sudah mendukung, permintaan juga tinggi, saya yakin tren ini akan terus berkesinambungan,” pungkasnya
Riset Inventures Indonesia melansir, ada 64 persen generasi millenials yang meluangkan waktu dan biaya untuk makan di restoran setidaknya satu kali dalam sebulan. Bahkan, 30 persen millenials di antaranya menyambangi restoran hingga lima dalam sebulan. Millenials merogoh kocek paling sedikit Rp50 ribu - Rp100 ribu untuk satu kali makan di restoran. Apalagi, aktivitasnya tak sekadar makan. Inventures menyebut 83 persen respondennya yang merupakan millenials bahkan pergi ke restoran untuk bersosialisasi.
Sementara, 48 persen responden mengaku sekadar menghabiskan waktu luang dan 24 persen responden lainnya hanya ingin berfoto mengambil gambar-gambar bagus. Managing Partner Inventures Yuswohady menuturkan, fenomena ini muncul sebagai imbas perubahan pola kebutuhan masyarakat dari kebutuhan dasar (basic needs) menjadi kebutuhan mengisi waktu senggang (leisure needs).
Saat ini, populasi masyarakat di kelas berpendapatan menengah kian menanjak dan sebagian besar kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Sehingga, mereka memilih mengeluarkan pendapatannya untuk kebutuhan yang bersifat sekunder.
“Apalagi, untuk generasi millenials, basic needs mereka sudah terpenuhi. Paling mudah, rumah sudah ada. Jadi, generasi millenials sebenarnya sudah enak dari dulu. Kondisi ini sangat berbeda dengan Generasi X, di mana untuk sekolah saja susah, rumah masih di kampung. Saat ini, masyarakat urban, kebutuhannya meningkat dan bergerak ke arah experience(pengalaman),” ujarnya
Lebih lanjut Yuswohady mengatakan, tren leisure economy ini sebetulnya sudah tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Di kuartal II 2015, pertumbuhan konsumsi leisure needs secara tahunan (year on year) ada di kisaran 4 persen. Namun, dua tahun berikutnya, pertumbuhannya melesat mendekati angka 6 persen. Jangan heran kalau kebiasaan masyarakat untuk makan di luar (dine out) semakin menjadi.
Meski demikian, kondisi ini disebut tidak hanya melanda Indonesia. Hampir sebagian besar negara-negara yang masuk golongan kelas menengah juga mengalami kondisi yang sama. “Dan, saya kira ini pun bukan tren sesaat, karena memang sejak 2010 lalu, di mana Indonesia sudah menembus Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar US$3 ribu. Itu trennya sudah mulai. Di seluruh dunia, dine out ini merupakan tren global,” paparnya.
Tak cuma untuk makan-makan, pengeluaran millenials juga habis untuk kegiatan leisurelainnya, seperti menonton konser dan penggunaan internet. Berdasarkan riset tersebut, 90 persen millenials setidaknya menonton konser satu-tiga kali dalam tiga tahun. Sementara, untuk penggunaan ponsel pintar, millenials menghabiskan waktu rata-rata 1,82 jam dalam satu hari.
Melihat kondisi ini, Yuswohady menyarankan, pelaku usaha untuk menangkap peluang tersebut. Pelaku usaha diminta mengubah produksi barang dan jasa dari yang bersifat kegunaan (utility) menjadi pengalaman dan interaksi antar manusia (connection).Ambil contoh, kedai kopi yang tadinya hanya menyediakan jenis minuman kopi, harus mulai bergerak menciptakan suasana menarik dan membuat konsumennya merasa istimewa.
“Saat ke kedai kopi, misalnya, orang ke sana kan tidak sekadar ngopi, tapi juga buat foto-foto dan dibagikan di media sosial. Di sini, mereka tergugah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, bisa dilihat dari likes di instagram, misalnya. Nah, intinya, nilai barang dan jasa yang ditawarkan harus bisa bergerak dari utility value ke arah experience dan connection value,” pungkasnya
No comments:
Post a Comment