Penetapan upah minimum menjadi hal yang ditunggu-tunggu kaum pekerja menjelang akhir tahun. Sejak 2015, Indonesia pun akhirnya memiliki formulasi dalam menetapkan upah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Hasilnya, rata-rata Upah Minimum Upah Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2018 ditetapkan naik sebesar 8,71 persen.
Berdasarkan provinsi, upah minimum tertinggi memang didapuk provinsi DKI Jakarta sebesar Rp3,65 juta. Namun, berdasarkan kabupaten/kota, upah minimum tertinggi berada di Kabupaten Karawang dan Kota Bekasi yang mencapai Rp3,9 juta, padahal UMP Jawa Barat sendiri masuk dalam lima provinsi dengan upah minimum terendah yakni sebesar Rp1,54 juta.
Kenaikan upah tersebut, disebut pemerintah telah sesuai dengan PP Nomor 78 dengan rata-rata kenaikan sebesar 8,71 persen. Presentase kenaikan tersebut, berasal dari akumulasi data inflasi nasional sebesar 3,72 persen ditambah angka pertumbuhan ekonomi 4,99 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Gubernur sendiri diberikan ruang untuk menetapkan kenaikan UMP maupun UMK di atas persentase tersebut, berdasarkan rekomendasi dari bupati atau walikota dan pertimbangan dari dewan pengupahan provinsi. Hal itu juga harus berdasarkan pemenuhan kebutuhan layak dengan mempertimbangkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
Sesuai ketentuan, UMK yang ditetapkan harus lebih tinggi dari pada UMP di provinsi yang bersangkutan. Adapun besaran kenaikan UMK di Bekasi dan Karawang disebut ditetapkan berdasarkan rekomendasi bupati/walikota terkait. Kendati demikian, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Ferry Sofwan Arif, seperti dikutip Antara, menyebut kenaikan UMK pada 11 kota/kabupaten di Jawa Barat, termasuk Kota Bekasi masih di bawah usulan asosiasi pekerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menilai, UMK Bekasi dan Karawang untuk tahun depan terlalu tinggi. Bahkan, besaran upah tersebut berisiko mematikan industri dan membuat pelaku usaha hengkang.Terlebih, perekonomian nasional masih belum sepenuhnya pulih. Kekhawatiran Hariyadi beralasan. Terbukti, kata Hariyadi, beberapa perusahaan di Bekasi dan Karawang sudah ada yang pindah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau menutup pabriknya di Indonesia dan beralih ke negara lain.
Secara teori, jika beban upah membengkak maka profit perusahaan bisa tergerus hingga merugi. Untuk mempertahankan profit, dengan asumsi komponen lain tetap, perusahaan bakal menyesuaikan jumlah tenaga kerja, biasanya dengan memutuskan hubungan kerja atau memperlambat penyerapan tenaga kerja baru. Perusahaan juga bisa melakukan efisiensi di pos beban lain atau menaikkan harga jual.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai, tingginya upah di Bekasi dan Karawang merupakan sesuatu hal yang wajar mengingat keduanya merupakan sentra industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Kedua kawasan tersebut juga dekat dengan ibu kota. Kenaikan UMK, lanjut Faisal, dengan sendirinya akan menyeleksi jenis industri yang akan bertahan. Otomatis, industri-industri yang sangat sensitif terhadap upah, seperti alas kaki dan tekstil, akan mencari lokasi lain.
"Upah itu tidak terlepas dari sektor industri apa yang ada di sana. Memang, kalau Bekasi dan Karawang ini kan banyak sektor otomotif dan elektronika yang memang dari sisi produktivitas industrinya lebih tinggi dan profitabilitasnya lebih tinggi sehingga mengerek upah yang lebih tinggi," ujar Faisal. Seiring berjalannya waktu, meningkatnya kebutuhan tenaga kerja dari masuknya industri baru bakal meningkatkan upah pekerja di lokasi baru tersebut. Ia pun menilai, pelaku usaha sebenarnya lebih mementingkan adanya kepastian kebijakan yang sebenarnya telah diberikan oleh formula kenaikan upah yang tercantum dalam PP78/2015.
Kalaupun terjadi perbedaan pandangan antara pelaku usaha yang merasa upah minimum di Karawang dan Bekasi terlalu tinggi dan pekerja yang merasa terlalu rendah, hal itu pun menurut dia, wajar terjadi. Pasalnya, pekerja pasti selalu menginginkan upah yang setinggi-tingginya. Sebaliknya, pemberi kerja ingin upah bisa ditekan.
Senada dengan Faisal, Peneliti Institute For Development Of Economics And Finance (INDEF) Eko Listiyanto juga tidak mempermasalahkan tingginya UMK Karawang dan Bekasi yang melampaui UMP ibu kota. "Rumusan (kenaikan UMK) inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi sudah sesuai dengan ketentuan, sehingga seharusnya tidak perlu ada isu untuk (industri) pindah," ujarnya.
Namun, Eko mengingatkan, kebijakan upah bukanlah satu-satunya faktor yang membuat pelaku usaha betah di satu lokasi. Faktor lainnya bisa berasal dari keamanan, minim demo pekerja, ketersediaan infrastruktur, dan pengurusan izin. Oleh karena itu, Eko pun mengimbau pemerintah terus melakukan pembenahan. Jangan sampai, pelaku industri yang hengkang dari Bekasi dan Karawang pindah ke lokasi di luar Indonesia seperti Vietnam dan Myanmar.
Pemerintah sendiri tidak memandang negatif tingginya UMK Bekasi dan Karawang. Pemerintah pun belum ada rencana untuk segera merevisi formula kenaikan upah dalam PP78/2015. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, kenaikan UMK Bekasi dan Karawang sudah sesuai aturan yang dahulu telah disepakati oleh pemerintah dan perwakilan dunia usaha dan pekerja. Untuk itu, baik dunia usaha dan pekerja harus konsisten menerimanya.
"Kan, kenaikannya relatif sesuai dengan PP78/2015, berarti sudah dari dulu bukan sekarang-sekarang saja persoalan itu,"ujar Darmin. Kalaupun perusahaan memilih hengkang dari Bekasi dan Karawang, Darmin tak mempersoalkan. Menurut Darmin, perusahaan bebas memilih lokasi untuk menjalankan usaha sesuai kemampuannya.Pemerintah sendiri telah menyediakan berbagai kawasan industri di seluruh Indonesia, tidak hanya di Bekasi dan Karawang.
Kebijakan upah erat kaitan dengan kemampuan masyarakat untuk mendapatan penghidupan yang layak. Hal ini juga berpengaruh pada daya beli yang berujung pada tingkat konsumsi masyarakat. Di sisi lain, kebijakan upah juga berpengaruh terhadap jalannya aktivitas usaha, yang bisa mempengaruhi keputusan perusahaan untuk berinvestasi di suatu tempat. Oleh karena itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam menetapkan kebijakan upah agar optimal. Jangan sampai, keuntungan di salah satu pihak bakal merugikan pihak lain sehingga secara agregat bakal berdampak negatif terhadap perekonomian
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan atau Aher telah menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Provinsi Jawa Barat Tahun 2018. UMK Kabupaten Karawang dan Kota Bekasi tercatat paling tinggi mencapai Rp3,9 juta, bahkan di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp3,65 juta. "UMK Jabar 2018 tertinggi ialah Kabupaten Karawang yakni Rp3.919.291, terendah ialah Pangandaran 1.558.793," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Ferry Sofwan Arief dikutip dari Antara, Rabu (22/11).
Penetapan UMP tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor:561/Kep.1065-Yangbangsos/2017. Adapun penetapan UMK Tahun 2018 Jawa Barat tersebut, menurut Ferry dilakukan berdasarkan pada Pasal 44 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Selain Karawang UMK yang cukup tinggi ditetapkan pada Kabupaten Bekasi Rp3,91 juta, Kota Depok Rp 3, 58 juta, Kota Bogor Rp3,56 juta, Kabupaten Bogor Rp3,48 juta, Kabupaten Purwakarta Rp3,44 juta, dan Kota Bandung Rp3,09 juta.
Sementara itu, UMK Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang ditetapkan di kisaran Rp2,68 juta, Kabupaten Sukabumi Rp2,58 juta, Kota Sukabumi Rp2,16 juta, Kabupaten Cianjur Rp2,16 juta, Kabupaten Subang Rp 2.52 juta.
Lalu Kota Cirebon Rp1,89 juta, Kabupaten Cirebon Rp1,87 juta, Kabupaten Indramayu Rp1,96 juta, Kabupaten Majalengka Rp1,65 juta, Kabupaten Kuningan Rp1,61 juta, Kota Tasikmalaya Rp1,93 juta, Kabupaten Tasikmalaya Rp1,92 juta, Kabupaten Garut Rp1,67 juta, Kabupaten Ciamis Rp1,6 juta, serta Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran masing-masing Rp 1,56 juta
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri akan mengevaluasi batas bawah (baseline) Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Karawang dan Bekasi untuk tahun depan, lantaran nominalnya dianggap terlalu tinggi. Evaluasi dilakukan untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan UMK pada tahun-tahun berikutnya.
UMK Kabupaten Karawang dan Kota Bekasi untuk 2018 ditetapkan mencapai Rp3,9 juta per orang. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sebesar Rp3,65 juta per orang. “Kami akan lakukan evaluasi atas baseline upah minimum terhadap kenaikan per tahun, karena baseline yang dipakai itu pada upah yang berjalan. Kami evaluasi dari sisi apakah baseline-nya yang tinggi diturunkan atau yang di bawah dinaikkan,” ucap Hanif di kawasan Sudirman, Selasa (28/11).
Hanif bilang, evaluasi dilakukan karena nominal upah Karawang dan Bekasi memang terlalu tinggi, meski kenaikannya telah sesuai dengan formula pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Adapun formula tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
“Karawang agak khas karena sejarahnya sudah keliru, hasil tekanan politik yang sekarang ini diikuti terus. Formula di PP 78 itu sudah membuat segala sesuatunya lebih rasional dan lebih terprediksi, itu masih ada sisa-sisa di masa lalu yang belum ditangani lebih baik,” paparnya. Selain itu, evaluasi juga dilakukan lantaran Kementerian Ketenagakerjaan menerima banyak keluhan dari para pengusaha yang menjalankan bisnisnya di kawasan industri Karawang. “Saya tidak hitung banyaknya berapa, tapi ada beberapa yang mengeluh ke saya,” imbuhnya.
Namun, evaluasi tersebut tak serta merta dilakukan saat ini dan kemudian membuat besaran nominal UMK Karawang dan Bekasi tahun depan berubah. Sebab, penetapan telah diberlakukan, sehingga kalau pun ada perubahan tentu baru berlaku untuk tahun berikutnya. “Tapi untuk sementara ini yang ada ya kami terima sajalah bagi pekerja dan pelaku usaha. Mudah-mudahan nanti ada jalan baru,” pungkasnya.
Sebelumnya, dunia usaha memang melontarkan keluhan terkait penetapan UMK Karawang dan Bekasi yang dianggap terlalu tinggi, sehingga berpotensi membengkakan beban perusahaan. Bahkan, Asosisi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, besaran UMK yang terlalu tinggi bisa membuat pengusaha hengkang dari kawasan industri Karawang, mematikan industri, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja.
“Beberapa perusahaan sudah mulai banyak yang pindah. Ada yang pindah ke Jawa Tengah, ada yang tutup kemudian konsolidasi di negara lain," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kabupaten Karawang dan dan Kota Bekasi Tahun 2018 terlalu tinggi. Hal itu berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan mematikan industri.
Sebelumnya, berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor:561/Kep.1065-Yangbangsos/2017, UMK Kabupaten Karawang dan Kota Bekasi tercatat mencapai Rp3,9 juta, melampaui Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sebesar Rp3,65 juta. "Upah itu ketinggian, mati saja itu industrinya di sana," tutur Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani.
Jika upah pekerja yang terlalu tinggi, beban perusahaan bakal membengkak dan menggerus profit sehingga menghambat pengusaha untuk mengeruk kekayaan. Untuk mencegahnya terhambatnya laju pengumpulan uang pengusaha, pelaku usaha bakal menyesuaikan jumlah tenaga kerja dengan melakukan pengurangan tenaga kerja yang ada atau memperlambat penyerapan tenaga kerja.
Hariyadi menilai, penetapan upah di kedua kota tersebut tersebut tidak rasional. mengingat kondisi perekonomian masih belum sepenuhnya pulih. "Dunia usaha jadi berpikir bahwa daerah tersebut sudah tidak kondusif," jelasnya. Selanjutnya, tingginya UMK juga berpotensi mendorong terjadinya deindustrialisasi di Bekasi dan Karawang. Sekarang saja, lanjut Hariyadi, pelaku usaha mulai memindahkan pabriknya ke kota bahkan negara lain untuk menghindari beban tenaga kerja yang terlalu tinggi. Tak ayal, sekarang lebih banyak pembangunan properti komersial di sana.
"Beberapa perusahaan sudah mulai banyak yang pindah. Ada yang pindah ke Jawa Tengah, ada yang tutup kemudian konsolidasi di negara lain," ujarnya. Lebih lanjut, Haryadi menyarankan agar pemerintah seharusnya memperhatikan keberlangsungan industri saat menetapkan upah minimum. Dengan demikian, baik pelaku usaha, maupun pekerja tidak dirugikan dalam jangka panjang.
Selain Karawang dan Bekasi, UMK yang cukup tinggi juga ditetapkan pada Kota Depok Rp 3, 58 juta, Kota Bogor Rp3,56 juta, Kabupaten Bogor Rp3,48 juta, Kabupaten Purwakarta Rp3,44 juta, dan Kota Bandung Rp3,09 juta. epala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Karawang Eka Sanatha menilai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Karawang seharusnya ditentukan dengan perundingan secara bipartit antara pengusaha dan pegawai.
"Jadi kalau UMK ini, sebetulnya ya kalau saya lihat upah ini sebetulnya yang lebih pas itu ditentukan bipartit. Dalam arti, pemberi kerja dan pegawai," tuturnya di Jakarta, Kamis (30/11). Menurutnya, Pemerintah Daerah (Pemda) hanya bersifat memfasilitasi untuk perhitungan UMK tersebut. Ia menyebutkan Pemda berperan untuk menghitung tingkat inflasi dan juga tingkat kebutuhan hidup layak di Kabupaten tersebut.
Ia optimistis tingkat UMK yang tinggi di Karawang tidak akan membuat banyak pengusaha angkat kaki dari kabupaten yang juga merupakan menjadi salah satu kawasan industri di Jawa Barat tersebut. "Karawang sudah hampir 4 tahun UMK-nya tertinggi di Indonesia, tetapi bisa dihitung jari perusahaan yang pindah." tuturnya. Dengan regulasi yang ada saat ini, menurutnya, para pengusaha yang merasa keberatan untuk membayar upah minimum tersebut bisa meminta penangguhan kepada Pemda. Kendati demikian, ia melihat bahwa masih sedikit perusahaan yang meminta penanguhan tersebut.
Sebab, tingkat UMK tahun ini yang mencapai Rp3,9 juta per orang dikhawatirkan dapat membuat para pengusaha hengkang dari Karawang. Di sisi pemerintah, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyebut akan mengevaluasi batas bawah (baseline) dari UMK Karawang tersebut yang dinilai terlalu tinggi.
No comments:
Post a Comment