Wednesday, December 20, 2017

Mall Salahkan Industri Toko Online Sebagai Penyebab Turunan Tingkat Sewa Mall

Maraknya peralihan belanja ritel masyarakat dari toko fisik (offline) ke perdagangan elektronik (online) disebut menjadi kambing hitam tingkat kekosongan sewa di pusat perbelanjaan (mal) naik, khususnya di DKI Jakarta pada tahun ini. Meskipun tingkat pendagangan online hanya baru 1 persen dibandingkan perdagangan fisik sedangkan tingkat kekosongan mall hampir 12 persen.

Lembaga riset dan konsultan Savills Indonesia mencatat, tingkat kekosongan pusat perbelanjaan meningkat menjadi 12,1 persen pada tahun ini dari sebelumnya sekitar 10,3 persen pada 2016.  "Selain karena ritel online, banyak juga ritel yang tutup, misalnya Debenhams, Lotus, dan Matahari. Belum lagi, yang nanti juga akan menyusul tutup," ucap Anton Sitorus, Kepala Departemen Riset dan Konsultasi Savills Indonesia, Rabu (20/12).

Di sisi lain, pengaruh juga datang dari kondisi perekonomian yang menurun karena masyarakat menahan belanja dan adanya kegiatan renovasi dari sejumlah mal di Jakarta.  Secara rinci, Savills mencatat, jumlah persediaan ruang sewa di pusat perbelanjaan meningkat sekitar 103,5 ribu meter persegi pada tahun ini. Hal ini membuat persediaan ruang sewa menjadi kurang lebih 3 juta meter persegi. Sayangnya, dari persediaan tersebut, hanya sekitar 37 ribu meter persegi yang terisi.

Kemudian, berdasarkan kelas, pusat perbelanjaan di Jakarta masih didominasi oleh mal untuk kalangan menengah ke atas sekitar 43 persen. Diikuti kelas atas sekitar 30 persen, kelas premium (high end) 14 persen, dan sisanya kelas menengah ke bawah 13 persen.  "Tapi tingkat kekosongan mal yang tertinggi di mal kalangan menengah ke atas sekitar 19 persen. Sedangkan yang terendah (tingkat kekosongannya) adalah mal kelas atas 6,0 persen," terangnya.

Sementara itu, tingkat kekosongan mal menengah ke bawah dan mal premium masing-masing sebesar 9,8 persen dan 6,4 persen. Angka ini relatif sama dengan tahun sebelumnya.  Lalu, dari sisi harga sewa, Savills menyebut, harga sewa secara rata-rata menurun 3,0 persen menjadi Rp356 ribu per meter persegi dari semula Rp366 ribu per meter persegi pada tahun lalu.

"Berdasarkan harga sewa, yang paling banyak menurun adalah kelas menengah ke atas dan menengah ke bawah. Untuk kelas atas dan premium masih cukup stabil," imbuhnya.  Sebagai gambaran, harga rata-rata ruang sewa mal premium di angka Rp823 ribu per meter persegi, kelas atas Rp517 ribu, menengah atas Rp294 ribu, dan menengah ke bawah Rp217 ribu.

Untuk tahun depan, Savills melihat, tingkat kekosongan sewa mal akan tetap sama seperti tahun ini. Dari sisi pasokan, dilihat akan meningkat sekitar 150 ribu meter persegi, seiring dengan adanya beberapa pembangunan mal baru saat ini.  Namun, pola pembangunan mal oleh para pengembang akan sedikit dimodifikasi. "Jadi strateginya, mereka bangun mal dengan apartemen, dikombinasikan, sehingga bukan stand alone shopping mall," tuturnya.

Hanya saja, dari sisi kekosongan dilihat akan naik tipis menjadi 13 persen. Adapun tingkat kekosongan ini dilihat akan berjalan konservatif pada kisaran belasan persen, setidaknya sampai tahun 2020.  Adapun dari sisi lokasi, kawasan Jakarta Selatan diperkirakan masih lebih menarik untuk pembangunan mal baru, diikuti oleh Jakarta Barat.

Ritel Jepang Jajal Peruntungan
Meski tren tingkat kekosongan sewa di mal meningkat pada tahun ini, namun Savills melihat, beberapa ritel asal Jepang justru tetap berani menjajal peruntungan di pasar Indonesia.  "Misalnya, Chateraise, Onitsuka Tiger, Miniso, AEON, Greyhound Cafe, Oysho. Khusus untuk Miniso ini mereka lihat pasar masyarakat sini yang suka harga menarik, tapi barangnya lumayan," katanya.

Hanya saja, ia belum bisa memberi prediksi lebih jauh untuk potensi pembukaan toko baru dari ritel-ritel asing. Namun, diperkirakan tetap ada pertumbuhan. Sebab, masyarakat dilihat terus memperhatikan merek ritel asing yang memiliki kualitas baik.

No comments:

Post a Comment