Keinginan pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara dari sisi pajak menjadi salah satu alasan kembali digelarnya program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III.
Ini sebagaimana telah masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
"Artinya negara memang lagi butuh cash flow. Nah, kalau cash flow, salah satu solusinya adalah tax amnesty," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi Amro di Gedung Parlemen, Jakarta
Dalam UU Tax Amnesty sebelum ada wacana perubahan itu, tujuan diselenggarakannya program amnesti pajak terdiri dari tiga aspek, salah satunya adalah meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain digunakan untuk pembiayaan pembangunan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Ayat 2 UU No 11/2016.
Tak heran memang, program pengampunan terhadap pengemplang pajak itu dijadikan alat untuk menaikkan penerimaan negara dari sisi pajak, sebab dari sisi rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax to GDP ratio Indonesia selalu stagnan di kisaran 10%.
Angka tax ratio Indonesia yang per 2023 sebesar 10,21% pun menjadi yang terendah dibanding negara-negara tetangga lain. Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Kamboja tax rationya mampu bergerak di kisaran level 18%, dan Thailand 16%.
Vietnam sendiri merupakan negara di Asean yang tidak pernah menggelar program pengampunan pajak terhadap para pengemplang. Namun, mampu menjaga level tax ratio nya di level yang tinggi.
"Sepengetahuan saya, di Vietnam belum ada tax amnesty," ucap pakar pajak yang menjadi Co Founder PT Botax Consulting Indonesia, kepada CNBC Indonesia.
Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan di Ditjen Pajak periode 2010-2014 itu mengatakan, Vietnam mampu menciptakan tax ratio tinggi karena berkembangnya industrialisasi.
"Tax ratio besar di Vietnam merupakan kontribusi dari industrialisasi di Vietnam. Banyak investor masuk ke Vietnam karena waktu itu banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah, salah satunya tax holiday," ucapnya.
Cara ini sebetulnya kata dia bisa ditiru Indonesia tanpa harus terus menerus memberikan pengampunan pajak kepada para pengemplang. Sebagaimana diketahui, Indonesia sudah menggelar tax amnesty pada 2016 yang dikenal dengan tax amnesty jilid I dan pada 2022 dikenal dengan tax amnesty jilid II atau yang disebut dengan nama program pengungkapan sukarela (PPS).
Namun, pemerintah harus lebih inovatif dalam meramu insentif pajak ke depan, karena bila mengandalkan tax holiday seperti Vietnam, saat ini sudah telah karena akan berlakunya ketentuan pajak minimum global atau global minimum tax sebesar 15% pada 2025.
"Indonesia mengikuti Vietnam di saat waktu yang tidak tepat karena tahun 2025 akan berlaku ketentuan Pilar 2 berdasarkan kesepakatan Global Forum dan G20," ucap Raden.
Pakar Pajak yang merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono juga mengungkapkan, sebetulnya tax amnesty merupakan cara instan negara untuk mencari pendapatan tambahan untuk menutup kebutuhan belanja negara.
"RUU tax amnesty (TA) menjadi sebuah keniscayaan ketika negara membutuhkan dana secara instan dari wajib pajaknya," kata Prianto.
Prianto mengakui, berdasarkan pengalaman selama ini melalui tax amnesty jilid I dan jilid II penerimaan pajak meningkat signifikan, namun ia mengingatkan, peningkatan tersebut tidak diikuti di tahun-tahun berikutnya setelah tax amnesty berakhir. Artinya, program it tidak berkesinambungan menaikkan penerimaan negara.
"Berdasarkan pengalaman selama ini melalui TA jilid I dan jilid II (berupa Program Pengungkapan Sukarela atau PPS), penerimaan pajak meningkat signifikan. Peningkatan tersebut tidak diikuti di tahun-tahun berikutnya setelah TA berakhir," tegas Prianto.
No comments:
Post a Comment