Thursday, April 29, 2010

Dua Perusahaan Farmasi Kimia Farma dan Indofarma Merger Tahun Ini

Penggabungan usaha PT Kimia Farma Tbk dan PT Indofarma Tbk diperkirakan selesai pada akhir tahun ini. Penggabungan dua badan usaha milik negara ini diharapkan bisa memberikan sinergi dalam pengembangan usaha kedua perseroan, baik dalam proses manufaktur obat-obatan maupun pemasaran dan distribusi.

Direktur Utama Kimia Farma M Syamsul Arifin di sela-sela penandatanganan nota kesepahaman pembangunan pabrik bersama dengan Tianjin King York, BUMN China, Rabu (28/4) di Jakarta, mengatakan, Kimia Farma dan Indofarma sepakat bergabung. Penggabungan bisa melalui proses merger atau membentuk satu holding.

”Tapi, biar cepat, sebaiknya merger dulu. Setelah itu baru bikin holding. Ini baru ide konsultan independen yang kami tunjuk. Kalau bisa merger tahun ini, awal tahun depan holding sudah bisa jalan,” kata Syamsul.

Jika rencana merger dapat diwujudkan, Kimia Farma ataupun Indofarma tidak akan menjadi pihak yang dominan karena masing-masing memiliki keunggulan berbeda. ”Untuk manufakturing mungkin dikelola Indofarma, sedangkan distribusi dan perdagangan menjadi fokus Kimia Farma,” ujar Syamsul.

Rencana penggabungan kedua BUMN mendapat dukungan dari Kementerian BUMN. Namun, proses penggabungan menunggu persetujuan Kementerian Kesehatan dan DPR. Wacana penggabungan BUMN farmasi ini telah ada sejak tahun 2005.

Sementara itu, kemarin Kimia Farma dan Tianjin King York menandatangani nota kesepahaman membangun pabrik yang memproduksi obat injeksi kortikosteroid di kawasan industri Lippo Cikarang, Jawa Barat. Nilai investasi 10-12 juta dollar AS atau sekitar Rp 100-120 miliar.

Pembangunan pabrik dilakukan oleh perusahaan patungan yang dibentuk Kimia Farma dan Tianjin di atas lahan milik Kimia Farma seluas 12 hektar.

Pabrik dengan kapasitas terpasang 30 juta ampul dan 10 juta vial untuk obat jenis injeksi kortikosteroid dan nonkortikosteroid, obat antibiotik, dan asam amino.

BUMN berpeluang

Sementara dari Hongkong, Deputi Bidang Privatisasi dan Restrukturisasi Kementerian BUMN Mahmuddin Yasin menjelaskan, aset dan kekayaan BUMN ditawarkan untuk dijadikan jaminan transaksi (underlying asset) dalam usaha menyedot modal asing sekitar Rp 200 triliun.

Underlying asset ini sebaiknya digunakan untuk menerbitkan exchangable bond (obligasi yang dapat dipertukarkan pada saham perusahaan penerbit obligasinya),” kata dia.

Menurut Yasin, saat ini jumlah aset yang dikelola 141 BUMN mencapai Rp 2.200 triliun. Jika 10 persen di antaranya dijadikan underlying asset dalam penerbitan sukuk atau obligasi nonsyariah, BUMN dapat memperoleh modal segar dengan sangat mudah. ”Jika ini bisa dilakukan, pengembangan BUMN tidak perlu mengandalkan lagi dana APBN,” ujar dia.

Namun, Kementerian BUMN tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk menjadikan aset BUMN sebagai underlying asset surat berharga. Kementerian BUMN butuh dukungan Kementerian Keuangan dan DPR.

No comments:

Post a Comment