Namun, belum pas jika menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya sekadar hanya untuk mengurangi pengangguran. Belum tentu tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Yang diperlukan adalah desain atau strategi besar menyangkut pasar tenaga kerja karena dinamika yang terjadi sekarang menunjukkan penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh pekerjaan sektor informal.
Pekerjaan atau kegiatan informal, menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS), adalah merujuk pada kegiatan ekonomi yang pada umumnya bersifat tradisional, tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas, tidak mempunyai pembukuan, dan tidak mempunyai ikatan yang jelas antara pemilik (majikan) dan pekerja (buruh).
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan BPS selama tiga tahun terakhir menunjukkan jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal bertambah sangat lamban. Dalam waktu dua tahun hanya bertambah 1 persen, dari 36,9 persen tahun 2007 menjadi 37,9 persen tahun 2009.
Porsi jumlah yang bekerja di lapangan usaha informal masih mendominasi sekitar 62 persen. Kondisi ini diperkuat dengan profil tenaga kerja kita yang mayoritas berpendidikan rendah. Sebanyak 87,9 persen dari jumlah orang yang bekerja hanya berpendidikan tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Hanya 6,6 persen yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dari tingkat diploma sampai sarjana. Sisanya, 5,5 persen, bahkan tidak merasakan bangku sekolah.
Dari jumlah pengangguran terbuka yang jumlahnya 9 juta-10 juta, 7 persen hingga 12 persen adalah mereka yang menamatkan jenjang perguruan tinggi. Kecenderungan pengangguran tingkat tinggi ini pun meningkat. Jika pada Sakernas Februari 2007 terdapat 7 persen lulusan perguruan tinggi yang menganggur, dua tahun kemudian jumlahnya naik menjadi 12 persen. Hal ini menunjukkan, masih sulit bagi masyarakat untuk mendapat pekerjaan sektor formal.
Indikasi masih sulitnya mendapatkan pekerjaan sekarang ini juga tergambar dari hasil survei melalui telepon yang dilakukan Litbang Kompas, dua pekan lalu. Dari 784 responden yang diwawancarai, hampir separuh responden (48,6 persen) menyebutkan ada anggota keluarga mereka yang saat ini seharusnya bekerja, tetapi belum mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran yang sering diklaim pemerintah terus berkurang lebih ditandai oleh kecenderungan bertambahnya kaum perempuan yang masuk ke pasar kerja untuk membantu perekonomian keluarga yang mengalami guncangan akibat krisis. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah perempuan yang bekerja bertambah 2 persen atau sekitar 4,5 juta orang.
Secara umum, responden juga menilai, peran pemerintah masih kurang memadai terkait masalah ketenagakerjaan. Hal itu baik menyangkut upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja maupun peran pemerintah soal keberpihakan kepada pekerja dalam bentuk perlindungan dan pengawasan terhadap aturan ketenagakerjaan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 disebutkan bahwa kebijakan pasar tenaga kerja salah satunya diarahkan untuk mendorong terciptanya sebanyak mungkin lapangan kerja formal serta meningkatkan kesejahteraan pekerja di pekerjaan informal. Belum diketahui, bagaimana caranya meningkatkan kesejahteraan pekerja di sektor informal tersebut.
Mewujudkan dua hal yang sebenarnya bertolak belakang ini (formal-informal) tentulah sulit. Di satu sisi, lapangan kerja formal memang perlu lebih banyak diciptakan agar dengan status dan jaminan sosial yang lebih baik kesejahteraan pekerja menjadi lebih baik pula.
Tetapi, di sisi lain, lapangan kerja formal akan sepi peminat jika kesejahteraan di pekerjaan informal lebih menjanjikan. Orang akan lebih tertarik ke lapangan kerja informal karena pekerjaan jenis ini tidak membutuhkan syarat pendidikan dan keterampilan tinggi.
Jika kecenderungan jumlah orang yang bekerja di sektor informal meningkat, bisa dipastikan penguasaan teknologi untuk memacu pertumbuhan ekonomi akan stagnan. Selain itu, peluang pemerintah meningkatkan penerimaan negara melalui pajak (terutama pajak penghasilan) pun berkurang karena pajak sulit diterapkan kepada pekerja sektor informal.
Dari kondisi ini terlihat betapa pemerintah gamang dalam merumuskan kebijakan pasar tenaga kerja. Di satu sisi berpihak pada jumlah yang banyak (informal) karena di situlah penghidupan orang kecil atau di sisi lain memperbesar yang sedikit (formal) dengan titik lemah pada kualitas sumber daya manusianya.
Kondisi lain pasar tenaga kerja yang terkesan juga kurang diantisipasi pemerintah adalah pada perubahan struktur tenaga kerja. Menurunnya kegiatan industri (deindustrialisasi) dalam beberapa tahun terakhir perlahan mengubah struktur tenaga kerja. Terjadi pergeseran karakteristik pekerjaan yang tidak lagi sekadar dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa), tetapi dari sektor primer dan sekunder ke sektor tersier.
Data Sakernas tiga tahun terakhir memperlihatkan, tenaga kerja yang terserap di sektor primer menurun dari 43,7 persen tahun 2007 menjadi 41,2 persen tahun 2009. Begitu juga dengan sektor sekunder yang turun dari 18,2 persen menjadi 17,8 persen dalam kurun waktu yang sama.
Sebaliknya, penurunan di sektor primer dan sekunder ini masuk ke sektor tersier. Hal ini terlihat dari bertambahnya tenaga kerja di kelompok tersier, dari 38,1 persen menjadi 41 persen selama kurun waktu yang sama.
Jika tidak diantisipasi
No comments:
Post a Comment